Takut Menikah

42 3 0
                                    

Ada yang takut menikah lantaran trauma dengan perceraian kedua orang tuanya.

Trauma melihat KDRT yang dilakukan anggota keluarganya ataupun pernah menjadi korban kekerasan dari orang yang seharusnya menyayanginya.

Dia kehilangan kepercayaan kepada orang lain dan memutuskan untuk memenuhi hatinya dengan kemarahan selama bertahun-tahun.

Ada yang belum merelakan seseorang yang tak dapat dimiliki, sehingga belum mau membuka hati untuk siapapun.

Ada yang takut menikah karena menganggap menikah akan membuatnya meninggalkan semua kesenangannya, belum siap menghadapi konsekuensi mengorbankan kebahagiaan pribadi demi kebahagiaan bersama.

Ada yang selalu pesimis. Merasa belum mampu menjadi pasangan yang baik untuk seseorang.

Memikirkan beratnya tanggungan finansial yang membekak ketika menikah, pengasuhan anak, dan lainnya sudah sanggup membuat stress bahkan sebelum menjalani pernikahan itu sendiri.

Belum lagi media yang semakin banyak memuat curhatan mengenai pengalaman tidak menyenangkan setelah menikah, mendramatisir kasus KDRT, memberitakan maraknya kasus perselingkuhan dan perceraian, dll.

Tak ada yang salah dari orang yang belum menikah. Karena orang yang belum menikah pasti memiliki alasannya masing-masing, tapi yang salah adalah takut menikah sampai tak ingin memikirkan jenjang tersebut bahkan bersikap anti.

Tanyakan pada hatimu, apa alasanmu takut menikah?

Analisislah penyebab ketakutanmu. Jika kamu tahu penyebabnya, maka kamu pun dapat memilih cara penanganan yang tepat.

Umumnya takut menikah ini hampir dialami oleh semua orang. Pria dan wanita memiliki ketakutannya masing-masing. Ini karena kesadaran penuh bahwa menikah itu tidak hanya persoalan merubah status dan romantisme semata. Pernikahan lebih dari itu dan memiliki konsekuensinya.

Namun, ada tiga hal wajib yang perlu dimiliki dalam upaya meminimalisir ketakutan tersebut.

Satu, niat. Benarkan niat menikah. Tidak hanya karena ingin memiliki pasangan, melegalkan apa yang terlarang bagi orang yang belum menikah, dll. Tapi, niat menikah adalah ibadah. Ada alasan yang lebih kuat dari alasan-alasan yang selama ini ada, yaitu ibadah yang diharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan menyempurnakan separuh agama.

Niatnya karena Allah Ta'ala biar diberkahi dan ditolong selalu oleh-Nya dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Dua, memiliki kesiapan. Kesiapan secara ilmu, mental, finansial, dll. Semua harus dipersiapkan. Tidak hanya bermodalkan cinta. Layaknya menuju medan perang, siapkan senjata dan strategi yang dibutuhkan dalam menghadapi musuh. Harus siap. Tidak harus sangat sempurna karena tidak ada manusia yang sempurna, tapi setidaknya hal-hal yang diperlukan harus dipersiapkan.

Tiga, ilmu. Kenapa beberapa orang overthinking tentang kehidupan setelah menikah akan begini dan begitu? Karena belum ada dasar ilmunya. Ilmu agama, apa yang menjadi kewajiban suami dan istri, manajemen konflik, pengelolaan emosi, perencanaan keuangan, parenting, dll. Kalau seseorang memiliki kesiapan secara ilmu, maka ketika dia menghadapi permasalahan di dalam pernikahan, solusinya dicari melalui jalur ilmu bukan jalur hawa nafsu.

Kalau ketiga hal di atas sudah dipersiapkan, maka sebenarnya sudah cukup siap. Hanya perlu menambahkan solusi untuk penyebab ketakutan menikah yang sifatnya spesifik. Seperti jika memiliki trust issue ataupun trauma tertentu, maka akan lebih baik untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.

Apabila ketakutan muncul dari asumsi pribadi, seperti khawatir meninggalkan kesenangan yang dilakukan saat masih sendiri setelah menikah, maka asumsi tersebut harus dibenahi. Tidak semua kesenangan akan ditinggalkan justru malah lebih menyenangkan karena bisa menjalani berdua dengan pasangan.

Pengalaman pernikahan yang tidak menyenangkan milik orang lain mungkin bisa dijadikan pelajaran untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, tapi bukan sebagai bahan ketakutan yang membuatmu merasa akan berakhir dengan nasib yang sama. Perbedaan individu yang menjalani suatu proses akan menghasilkan perbedaan cerita.

Sekali lagi, ketakutan akan kehidupan setelah pernikahan adalah hal yang wajar. Tapi sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar 100% siap ketika menikah. Seperti apa pun dia mempersiapkan semuanya, berbagi hidup dengan orang lain itu sifatnya sangat kompleks. Akan banyak persoalan yang dihadapi. Karena pernikahan sejatinya adalah proses belajar. Sehingga rendah hati untuk mau belajar dan menyingkirkan semua ketakutan itu adalah hal yang patut dilakukan.

Hal ini seperti ketika saat kamu menghadapi pelajaran di sekolah yang menurutmu sulit. Kalau kamu mau tetap mengikuti pelajarannya, akan selalu ada kesulitan yang kamu temui, tapi kamu juga belajar cara menyelesaikannya. Kalau kamu tidak pernah ingin mengikuti pelajarannya, kamu mungkin aman dari setiap kesulitan, tapi kamu tidak pernah belajar apa pun.

Setiap permasalahan yang dihadapi adalah suatu hal yang baik. Tidak buruk.

Lagipula ketakutanmu seharusnya dihadapi bukan dihindari, kan?

Satu lagi, pernikahan itu Insyaallah indah -mau suka dan dukanya dalam pernikahan- jika dijalani bersama dengan orang yang tepat.

Takut Pada Masa Depan Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz