Bab 16

716 61 3
                                    

"Kamu yakin mau tetep ikut penelitian?" Raut wajah risau terukir di wajah gadis itu. Lala, menatap Indi dengan prihatin, apalagi ketika melihat luka-luka yang ada di tubuhnya.

Indi mengangguk pelan, meski sempat mengernyitkan dahi, menahan sakit yang tak kunjung reda itu. "Padahal kamu masih perlu istirahat, lho, Ndi. Aku dan Hanni juga bisa ngerjain ini berdua, kamu gak usah ambil peran terlalu banyak. Toh, kamu juga udah banyak membantu, dengan nawarin kita berdua buat jadiin desa kamu sebagai objek penelitian dan kasih kita tempat tinggal selama di sini." Lala menjelaskan panjang lebar.

Indi tersenyum simpul. "Ini tugas kelompok, La. Mau bagaimana pun, aku harus ikut ambil peran sampai akhir. Jadi ... aku gak merasa cuma numpang nama doang ...." Indi masih kekeh dengan pendiriannya. Ia merasa tak enak kepada kedua temannya itu jika mengerjakan tugas penelitian ini tanpa dirinya.

"Kalau aku jadi kamu, aku bakal milih tidur seharian, Ndi." Tiba-tiba saja Hanni menyela pembicaraan. Lala mengalihkan pandangan dengan gesit, menatap sinis temannya itu, membuat Hanni menjadi salah tingkah. "Bercanda ...."

"Udah, kalian gak perlu khawatirin aku. Aku masih bisa beraktivitas, ko-akh!" Indi memegangi kepalanya, mendapati sakit yang tiba-tiba saja muncul.

"Sakit lagi, Ndi? Bukannya tadi udah minum obat?" Lala memasang wajah panik, disusul oleh Hanni. Mereka berdua terperanjat melihat reaksi yang ditimbulkan oleh Indi.

Lala meraih gelas berisi air putih yang ada di meja, lalu meminta Indi untuk meneguknya. Kemudian, Lala membaringkan kembali tubuh Indi. "Tuh, 'kan, kamu belum sembuh total, aku takut kamu kenapa-kenapa, Ndi ...," ucap Lala. Indi tak menjawab, fokus menahan sakit yang tak karuan. Kini, ia sadar jika dirinya harus menarik kata-katanya tadi.

"Kalau gini terus, tugas kita gak akan selesai, La, apalagi deadline kita udah mepet ...." Lala berpikir sejenak, apa yang dikatakan oleh temannya itu benar juga. Masih ada waktu satu minggu lagi untuk mereka menyelesaikan tugas kuliah ini. Namun, mereka semua bahkan belum menyentuh tugas sama sekali.

"Kenapa gak menghubungi Pak Reno aja, La? Mungkin Pak Reno bisa kasih solusi buat kita, misal mundurin deadline?" Kalimat Hanni seolah membuka pikiran Lala. Tanpa pikir panjang, Lala meraih ponselnya, mencari-cari nama di daftar kontak, lalu menghubungi dosen pembimbing mereka.

Selama beberapa menit, hanya ada suara dering telepon, menunggu balasan dari seberang sana. "Selamat malam, Pak, maaf menganggu waktunya ...." Lala melangkah keluar begitu panggilannya tersambungkan, sementara Hanni dan Indi masih berdiam diri di dalam kamar.

Canggung, hal yang dirasakan oleh keduanya saat ini. Walaupun tampak ragu, pada akhirnya Hanni mengungkapkan apa yang mengganjal di pikirannya. "Ndi ...." Sontak Indi pun menoleh, mendapati Hanni yang menatapnya dengan serius. "Dengan semua luka serius ini, lo yakin yang lakuin ini semua cuma anak kecil?" Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari mulut Hanni.

Indi menggeleng pelan. "Gue gak tahu, Han. Yang pasti, gue ngerasa kalau tenaga anak itu bener-bener di luar nalar, bahkan empat kali lipat di atas gue ...." Indi menjeda kalimatnya sejenak. Bayang-bayang akan kengerian Lastri berputar kembali di otaknya. "Gue ... gue ngerasa kayak ada sesuatu lain di dalam anak itu, mirip-mirip ...."

"Kesurupan?" Buru-buru Hanni menebak dengan antusias. Indi diam sejenak, menundukkan pandangannya. Meski tak yakin dengan semua ini, Indi tak punya alasan lain lagi untuk menjelaskan kejadian ini. Oleh karena itulah, ia mengangguk, menganggap jika apa yang dikatakan oleh Hanni masuk akal untuk sekarang ini.

"Dari dulu, gue gak percaya sama hal-hal begituan, hantu, kesurupan, dunia lain ...." Indi kembali membuka suara. "Tapi ... apa yang gue alami hari ini bener-bener membuka sudut pandang baru tentang itu semua." Indi menatap Hanni kembali, kali ini dengan ekspresi yang sangat serius. "Lo percaya, Han, di luar sana ada sebuah dimensi lain yang hidup berseberangan dengan kita. Dimensi yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu. Dimensi tempat berkumpulnya makhluk-makhluk tak kasat mata."

"Gue, sih, percaya aja kalau ada yang begituan, Ndi. Awalnya, gue sama kayak lo, menganggap kalau semua itu cuma isapan jempol doang, tapi ... waktu SMA, gue pernah mengalami kesurupan waktu malam persami di sekolah, gue bener-bener lihat wujud mereka yang sebenarnya, dan ... itu buat gue semakin yakin kalau dunia gaib itu memang ada."

Indi mengangguk pelan, mencerna semua jawaban yang keluar dari mulut Hanni. Setelah semuanya informasi itu terbentuk matang di otaknya, sebuah pertanyaan lain muncul, pertanyaan yang mungkin berhubungan dengan semua kejadian yang ada akhir-akhir ini.

"Han, menurut lo, apa yang mereka lakukan di alam kita, itu semua ada motifnya? Sama seperti seorang penjahat di dunia ini. Ada sebuah alasan kenapa mereka melakukan itu, alasan yang membuat mereka marah dan ingin balas dendam." Indi menautkan kedua alisnya, mencoba berpikir keras. Satu per satu tebakan mulai digali olehnya, berujung di sebuah dugaan yang memiliki aura yang sangat kuat, dibandingkan lainnya. Bersamaan dengan semua itu, samar-samar perkataan Lastri tentang dirinya terngiang-ngiang kembali.

"Menungso-menungso bejat iku bakalan keno sibat e. Perilaku seng dilakoni bakalan balik reng awak e dewe."

"Han." Hanni menoleh, memasang ekspresi siap menerima kesimpulan yang akan Indi lontarkan. Indi menarik napas dalam-dalam, lalu menumpahkan seluruh hasil pemikirannya. "Apa mungkin ada sesuatu yang dilakukan warga desa ini di masa lalu, yang menjadi dasar kuat, kenapa motif itu terbentuk." Indi menelan ludah. "Kalau bener, berarti ...."

"Cuy!" Kedatangan Lala menjadi kejutan, memecah atmosfer serius yang diciptakan. Buru-buru Indi dan Hanni bersikap normal kembali, seolah pembicaraan yang baru saja mereka lakukan tak pernah terjadi.

Lala menatap keduanya dengan ekspresi bingung. Namun, ia segera menepis semua pikiran itu, fokus untuk membahas hal lain yang menurutnya lebih penting. "Kabar buruk, Pak Reno bener-bener gak ngasih kita kesempatan." Kekecewaan terpampang jelas di wajah Indi dan Hanni.

"Lo udah coba bujuk dia?" Kini, giliran Indi yang menanggapi hal itu. Lala mengembuskan napas kasar, menggelengkan kepala pelan.

"Berkali-kali gue udah coba bernegosiasi sama dia. Percuma, semua ucapan gue gak digubris." Tubuh ketiganya mendadak lesu. Kabar yang disampaikan oleh Lala, mengharuskan mereka semua untuk mengerjakan tugas penelitian ini secepat mungkin. Jika tidak, mereka semua akan berada dalam masalah.

Lala kembali mengembuskan napas, menatap iba ke arah Indi. Ia tahu jika pikiran temannya itu sedang berkecamuk, memikirkan antara kondisi tubuhnya dan juga tugas mereka yang belum terjamah. Lala duduk di sampingnya, mengusap-usap pundak Indi. "Gak apa-apa, besok gue dan Hanni yang akan ngurus ini semua. Lo tetep di rumah aja. Mengingat kondisi tubuh lo yang belum pulih, gue rasa lo bisa bantu revisi laporan yang kita buat, gimana?"

Indi tersenyum simpul, mengangguk setuju dengan ide yang Lala berikan. Lala pun merangkulnya dengan lembut, merasa senang jika Indi mau menerima tawaran itu. Lala tak sadar, tugas kuliah mereka tak terlalu dipikirkan lagi oleh Indi. Kini, separuh otak wanita itu dipenuhi dengan berjuta-juta misteri yang ada. Semakin dalam Indi menyelami lautan misteri itu, semakin besar pula api semangat yang berkobar di dalam hatinya. Dari setiap sel di ujung kepala hingga pangkal kaki, seolah memintanya untuk mengungkap semua misteri itu.

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now