Bab 6

1K 78 0
                                    

Beberapa bulan kemudian ....

"Pokoknya, di desa itu kalian pasti betah, aku jamin!" Indi, berucap dengan wajah serius, seolah apa yang dilontarkannya itu bukan isapan jempol belaka. Tak terasa, dua jam perjalanan telah mereka tempuh semenjak turun dari terminal.

Jarak antara terminal dan tempat tujuan mereka sangat jauh. Jadi, memerlukan waktu berjam-jam untuk sampai ke sana, belum lagi jalanan yang ditempuh berkelok-kelok, dengan aspal yang tak utuh lagi. Beberapa kali mobil terombang-ambing, menerobos jalanan itu.

"Gila, jadi gak sabar buat sampai ke sana. Masih lama gak, Ndi? Perut gue udah keroncongan, nih!" Wanita itu mengelus-elus perutnya yang telah kempes, mengingat selisih waktu yang ada cukup lama saat terakhir kali ia memasukkan sebuah asupan gizi ke perutnya itu.

"Pikiran lo makan terus, dasar rakus! Inget, kita ke sini buat kerjain tugas, bukan hunting kuliner." Lala menonyol kepala wanita yang ada di sampingnya, membuatnya terkekeh geli. Hanni, menggaruk kepalanya yang tak gatal, menyengir.

"Udah, gak apa-apa. Ni, sabar, ya, sebentar lagi kita sampai, kok. Nanti kalau udah di sana, kamu boleh makan sepuasnya! Jangan lupa, nasi putih di sana ngalahin enaknya nasi putih yang ada di mana pun!" ucap Indi, menyakinkan mereka.

Walaupun sebenarnya rasa lapar sudah tak terbendung lagi, Hanni mencoba untuk bersabar sekali lagi untuk tiba di kampung halaman temannya. Di sepanjang perjalanan, berjuta-juta keluhan terlontar dari mulutnya, membuat Lala menjadi risi dan sering menegurnya. Sebaliknya, Indi tak berhenti terkekeh, melihat tingkah lakunya yang seperti anak kecil itu.

Mobil setia melaju, menerjang jalanan yang mulai menyempit, pertanda akan memasuki wilayah yang terpencil. Pohon-pohon menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri jalan, menambah kesan keindahan di sore hari ini. Matahari memamerkan sinar jingganya, melewati puluhan pohon yang tumbuh itu, membuat bayang-bayang daun dan pohon terukur di setiap jalan.

Indi sengaja membuka salah satu kaca mobil yang ada di belakang, merasakan sepoi-sepoi angin yang jauh lebih nikmat dari sebuah AC. Tak terasa, saking menikmati suasana, Indi tak sadar jika mobil yang ia tumpangi telah memasuki ambang desa, tempat yang sangat tak asing baginya.

"Sip, kita udah sampai." Lala dan Hanni serentak memandangi sekitar mereka melalui kaca mobil. Hal yang pertama kali mereka lihat adalah papan nama yang besar, berada di atas jalan.

Selamat datang di desa Guyub Makmur

Mobil mulai memasuki desa perlahan, mengingat gang yang ia lalui agak sempit untuk ukuran kendaraan roda empat. Rumah para warga berjejer di kedua sisi jalan. Mereka melambaikan tangannya ke arah Indi, dibalas dengan anggukan serta senyuman dari gadis itu. Tampaknya para penghuni di sini sangat ramah, terlihat dari cara mereka untuk menyapa anak rantauan yang baru pulang itu.

"Kiri, Pak." kata Indi memberi arahan, diangguki oleh sang sopir. Mobil berbelok, terparkir di sebuah halaman rumah yang agak luas. Pintu mobil segera di buka. Ditariknya napas dalam-dalam sembari memejamkan mata, menghayati aroma yang mampu membuat pikiran Indi bernostalgia. Sungguh, ia sangat rindu akan suasana ini.

"Pak! Pak! Perawan e kene wes bali, Pak!" (Pak, anak gadis kita sudah pulang!) Seorang wanita paruh baya yang sedang sibuk mengambil beberapa jemuran yang tergantung di sana, meninggalkan kegiatan sejenak ketika melihat seorang gadis yang baru saja turun dari mobil, disusul oleh kedua gadis lainnya.

Wanita itu lalu keluar bersama dengan suaminya, menatap serentak ke arah Indi. Wajah mereka tampak bergembira, setelah sekian lama menanti-nantikan kehadirannya, kini semua itu membuahkan hasil.

Indi menghampiri kedua orang tuanya, memeluknya dengan erat. Isak tangis pun terdengar. Selama hampir dua tahun dirinya tak merasakan kehangatan pelukan mereka. Kini dapat merasakan kembali semua itu membuat Indi sangat bersyukur.

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu