Bab 2

1.3K 94 3
                                    

"Durung bali, Pak?" (Belum pulang, Pak?) Seorang wanita paruh baya itu berdiri di samping suaminya, memasang ekspresi yang tampak sangat khawatir. Berkali-kali menggigiti kuku di jarinya, berusaha menenangkan pikiran dengan ribuan bayangan negatif yang berputar di sana.

Pria yang merupakan suaminya hanya bisa menggeleng pasrah, terlihat wajahnya sangat pucat, ditambah dengan kondisi tubuhnya yang masih melemah. Keletihan dapat dirasakan hanya dengan melihatnya saja. Walaupun begitu, ada hal lain yang sedang dipikirkan olehnya, membuat sakit yang dirasakan di tubuh menjadi hilang sejenak.

Ibu Rumi, menutupi wajah dengan kedua tangan, menangis sesenggukan. "Ya Allah ...." Kalimat yang diucapkannya. Segala harapan digantungkan agar putrinya itu segera menginjakkan kakinya di rumah. "Pie iki, Pak?" (Bagaimana ini, Pak?) Dengan nada bergetar. Ketakutan menguasai hatinya, memikirkan beberapa hal yang mungkin terjadi kepada anaknya. Tentu semua hal itu bersifat negatif.

"Wes, seng tenang. Adi iseh keliling luru Lastri, pasti ketemu!" (Sudah, yang tenang. Adi lagi keliling mencari Lastri, pasti ketemu!) Pak Joko berusaha mencairkan suasana tegang. Tak urung dirinya juga merasa khawatir dengan ketidakhadiran Lastri di rumah, padahal adzan magrib telah usai berkumandang beberapa menit yang lalu. Cahaya matahari juga hilang total, digantikan oleh cahaya-cahaya dari rumah warga yang telah menyala.

Tak bisa terus-menerus menunggu kabar, Pak Joko menatap istrinya itu, lalu mengatakan suatu hal. "Bu, Bapak pamit sek, yo, nyusul Adi. Assalamualaikum!" (Bu, Bapak pamit dulu, ya, menyusul Adi) ucapnya. Tanpa menunggu balasan, Pak Joko langsung berjalan keluar rumahnya dengan terburu-buru. Kegelisahan di hatinya mengobar semangat pria itu untuk mencari di mana keberadaan putrinya, meski saat ini keadaan tubuhnya belum pulih total.

"Waalaikumsalam, Pak, ati-ati!"

~~~•~~~

"Danan! Danan!" Suara itu menggema di bagian depan rumah, membuat anak yang namanya terpanggil keluar dari kamarnya. Dua kaki itu berjalan beriringan disertai derit lantai kayu yang berbunyi, menuju ke teras rumah dengan rasa penasaran, melihat suasana ricuh yang ada di sana.

"Iyo, Bu?"

Sang ibu menatap putranya itu, lalu memegangi kedua pundaknya. "Danan, reti Lastri reng ndi? Jare Mas Adi Lastri terakhir dolanan iku sama Danan," (Danan, tahu Lastri di mana? Kata Mas Adi, Lastri terakhir dolanan itu sama Danan) katanya dengan nada panik.

Jantung Danan berdegup dengan kencang, tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh ibunya itu. Tanpa diberitahu pun, Danan telah mengetahui bahwa Lastri tak juga menampakkan batang hidungnya hingga saat ini.

Walaupun wajah Danan berubah menjadi panik, Danan tetap berkata dengan nada tenang, sedikit tergugup. "G–gak reti, Bu. Mau Danan emang dolanan karo Lastri, tapi D–Danan bali sek. D–dadi, Danan gak reti Lastri reng ndi," (T–tidak tahu, Bu. Tadi Danan sempat main sama Lastri, tapi Danan pulang duluan. Jadi Danan tidak tahu Lastri di mana) jelas Danan. Dirinya menoleh ke arah pria dewasa yang ada di sana, Mas Adi, tampak wajahnya yang memancarkan aura kekhawatiran yang pekat.

"Aduh, nangdi, yo?" (Aduh, di mana, ya?) gumam ibu Danan, menatap ke arah Mas Adi sembari menggelengkan kepala pelan, pertanda jika ia pun tak memiliki informasi apa pun terkaitnya.

"Y–yowes, Bu, maturnuwun, yo!" (Y–ya sudah, Bu, terima kasih, ya!) Mas Adi berpamitan, sebelum ia melangkah meninggalkan keduanya dengan gerak-gerik panik.

Dengan perasaan bersalah yang ada di hatinya, sebuah inisiatif muncul di benak Danan. Ditolehkannya kepala ke arah sang ibu, sebelum mengucap sebuah kalimat. "Bu, Danan pamit sek, yo, melu Mas Adi." (Bu, Danan pamit dulu, ya, ikut Mas Adi).

Tangan Danan serasa dicengkeram, sebelum ia menolehkan kepala ke belakang, melihat siapa yang telah melakukan hal itu. "Ojo, bahaya! Ben iku kabeh dadi urusan wong tuo. Cak cilik ora usah melu-melu!" (Jangan, bahaya! Biar itu semua jadi urusan orang dewasa. Anak kecil tidak usah ikut-ikutan!) seru sang ibu yang sangat khawatir terhadap putra semata wayangnya.

Danan menatap wajah sang ibu penuh arti. "Lastri juga koncone Danan, Bu. Danan khawatir. Tolong, Bu." (Lastri juga temannya Danan) Berusaha menyakinkan ibunya yang masih diam tak bergeming, bingung harus mengatakan hal apa untuk merespons ucapan putranya. Akhirnya, sang ibu hanya bisa pasrah.

Danan mengangguk pelan dengan wajah yang serius. Kemudian, mengalihkan pandangannya ke arah depan. "Mas Adi!" Anak itu menghampiri, membuat langkah Mas Adi terhenti. "Danan tak melu golek i, yo!" (Danan mau ikut mencari, ya!) ucapnya tiba-tiba. Mas Adi menatap ibu Danan sejenak, lalu mengembalikan pandangannya ke arah Danan, mengangguk mantap.

"Danan, ati-ati, ya!"

Mereka berdua berjalan di bawah kegelapan yang mulai menjajah langit. "Mas, pak golek i rengdi sek?" (Mas, mau cari di mana dulu?) tanya Danan dengan nada terburu-buru.

"Umah e Pak RT, Nan," (Rumahnya Pak RT, Nan) jawab Mas Adi. Danan kembali menatap pria dewasa itu, bingung.

"Pak RT, Mas?"

"Iyo, kene kudu golek bantuan. Percuma, digolek i rengdi bae gak bakal ketemu. Ilang e, ilang ora biasa!" (Iya, kita harus cari bantuan. Percuma, dicari di mana saja tidak akan ketemu. Hilangnya, bukan hilang biasa!) seru Mas Adi. Seketika sekujur tubuh Danan menjadi merinding, mendengar bagian terakhir dari kalimat yang diucapkannya itu.

Danan mengangguk mantap. Namun, sebuah pikiran terbesit di otaknya. "Mas, Mas, aku reng umah e Fajar sek, yo!" (Mas, Mas, aku mau ke rumah Fajar dulu, ya!) ucapnya.

Mas Adi mengangguk. Kini mereka berdua pun berpisah di antara jalan yang bercabang dua. Danan membelokkan langkahnya ke arah kiri, menuju rumah salah satu temannya itu. Mau bagaimana pun, Fajar juga sempat terlibat masalah tadi sore. Jadi, ia juga harus mengetahui hal ini, pikir Danan.

"Assalamualaikum, Fajar!" teriak Danan, mengetuk-ketuk pintu rumah Fajar. Kini napasnya menderu, seluruh keringat mengucur deras di antara pori-porinya. Tak lama kemudian, anak laki-laki berbadan gempal itu keluar dari huniannya, menatap bingung temannya yang ngos-ngosan itu.

Dipeganginya kedua pundak Fajar, mengguncang kuat-kuat. "Jar, Lastri ilang, Jar!" (Jar, Lastri hilang, Jar!) seru Danan dengan raut wajah panik. Kemudian, ia pun menjelaskan kronologi yang terjadi malam ini. Fajar terperangah, merasa sangat ngeri. Ternyata firasat buruk yang sempat dirasakannya menjadi kenyataan.

Tanpa basa-basi, Fajar pun tergabung dalam misi pencarian Lastri. Kedua anak itu berlari beriringan, menuju rumah Pak RT yang tak jauh dari tempat itu. "Nan, kiro-kiro Lastri nangdi, yo?" (Nan, kira-kira Lastri di mana, ya?) tanya Fajar di tengah-tengah pelarian mereka.

"Yo gak tahu aku, Jar, wong aku juga bingung." (Ya tidak tahuz Jar, aku juga bingung).

"Opo ojo-ojo Lastri kui diculik demit, Nan? Wah, bahaya iku!" (Apa jangan-jangan Lastri diculik setan, Nan? Wahz bahaya itu!) Fajar bergidik ngeri, membayangkan kejadian yang bisa saja terjadi itu.

Lagi-lagi sebuah telapak tangan mendarat di anggota tubuhnya. Namun, kali ini yang menjadi sasarannya adalah pipi. "Hust, ojo mikir macem-macem, ah! Mungkin Lastri mampir sek neng umah e koncone. Pikiran e mbok yo seng apik-apik gitu, lho!" (Hust, jangan mikir macem-macem, ah! Mungkin Lastri mampir dulu di rumah temannya. Pikirannya yang bagus-bagus gitu, lho!).

"Gak mungkin, Nan, Lastri mampir nang umah e koncone, nek wes maghrib pasti anak iku bali. Tapi Iki, anak iku gak bali blas! Opo maneh ora ono reti nangdi lungo ne!"

Danan bungkam, memikirkan kalimat yang baru saja diucapkan Fajar. Jika dipikir-pikir, besar kemungkinan yang dikatakannya adalah benar. Namun, Danan masih berusaha berpikir positif, menganggap bahwa Lastri tidak benar-benar hilang.

Tapi ... apa alasan kuat yang bisa menopang itu semua? Tak ada satu pun pikiran positif yang bisa diterima di otak Danan. Seberapa besar anak itu berusaha, aura-aura negatif selalu saja dirasakan olehnya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now