Bab 05 •Let's Talk!•

Start from the beginning
                                        

"Beruntung sekali. Coba saja dulu aku masuk ekstrakulikuler jurnalistik ... ataupun lukis."

"Memangnya kau memiliki passion di kedua klub tadi?"

Cahya lantas menggeleng. "Setidaknya aku akan terhindar dari peran Ratu Valerie. Ya ampun, kenapa aku tidak menjadi pohon saja."

Kinnas memandang sahabatnya seraya berdecih. "Jadi, Raja Ratu Berlian akan ditampilkan? Dan kau mendapatkan peran salah satu tokoh penting? Itu sebuah keberuntungan!"

"Beruntung apanya? Ratu Valerie itu terkenal lemah lembut, anggun, baik, sedangkan aku--"

"Ya, kau bahkan terlihat seperti musang di musim kawin."

"Sialan!"

Kinnas tertawa sampai terbahak-bahak. Perutnya bergetar karena tak henti-hentinya ia tergelak, membuat Cahya mengerucutkan bibirnya karena sebal. Memang, bahagia sesederhana itu. Namun, mengingat legenda Raja Ratu Berlian, tawa Kinnas mendadak terhenti.

Cerita itu merupakan legenda terkenal masyarakat Tora mengenai batu Berliana Biru. Konon katanya, sebelum negeri ini bersatu dan di sebut sebagai Tora, dulu merupakan daratan luas yang terbagi menjadi empat kerajaan berbeda, di wilayah yang berbeda. Raja Alejandro dari wilayah Utara, Raja Gustav dari wilayah timur, Ratu Valerie dari wilayah Barat, dan Raja Paolo dari wilayah Selatan. Berliana Biru sendiri adalah warisan turun temurun milik kerajaan bagian Utara, yang waktu itu diperebutkan oleh tiga kerajaan sekaligus.

"Terima saja peranmu sebagai Ratu Valerie, Ya. Aku ingin melihatmu berjuang bersama Raja Alejandro dalam mempertahankan Berliana Biru," ungkap Kinnas.

"Lalu mereka berdua jatuh cinta, dan terjadilah perang,” sahut Cahya.

Bisa kita bertemu hari ini?

Kinnas memandang layar ponselnya dengan kening berkerut. Sejak kejadian ia menabrak Adrea di lorong dekat kamar mandi, Kinnas tiba-tiba mendapatkan pesan dari gadis berambut ikal itu berupa, Tolong simpan, ini Adrea. Entah mengapa, Kinnas masih merasa bingung. Bingung mengapa Adrea tiba-tiba mengirimnya pesan, bingung mengapa kemarin mendengar suara Hirawan Bulao, dan bingung ketika Kinnas menyadari suara yang seolah memanggilnya berasal dari dalam saku outer milik Adrea.

"Aku pulang sekarang, Kin. Belajarnya dilanjut besok saja." Cahya beranjak dari duduknya, membereskan buku-buku tadi untuk dimasukkan ke dalam tas.

"Aku tidak tahu harus merespon seperti apa." Kinnas lelah, dia sangat lelah. Tadi Cahya menerornya untuk mengajarinya belajar, tetapi setengah jam kemudian gadis berponi itu malah pamit, hendak pulang.

Cahya menyengir, tidak merasa bersalah. "Semua makanan serta minumannya sudah ku bayar, Kin, tenang saja."

Masa bodoh, Kinnas tidak menjawab. Membiarkan Cahya melangkah ke luar kafe, kemudian memasuki salah satu bus yang kebetulan mengarah menuju rumahnya. Jika ada lomba 'orang paling sabar' sepertinya Kinnas akan menjadi juara satu.

Maaf, tapi aku sedang berada di D' Caffe.

Send. Setelah memencet tombol kirim, Kinnas berdiri dari duduknya. Tangannya lebih dulu mengambil ponsel di atas meja untuk memasukkannya ke dalam tas jinjing yang ia bawa. Berlanjut, Kinnas hampir saja memegang kenop pintu sebelum suara notifikasi pesan mengambil alih perhatiannya untuk mengambil ponselnya kembali.

Aku akan ke sana.

Kinnas mengembuskan napas pelan, tak ayal kembali melanjutkan langkah untuk duduk di kursi bagian luar, kemudian memesan dua gelas kopi pada seorang pelayan. Sesuai pesan masuk tadi, Kinnas memutuskan untuk menunggu. Tidak terlalu lama sebab mobil mewah sudah terparkir di depan kafe.

Hirawan Bulao [End]Where stories live. Discover now