1. Dey La Lian

16 1 0
                                    

Pukul tujuh pagi. Setengah jam lagi aku sudah harus ada di Magoric, toko imajinasi, dan melayani berbagai pelanggan yang kebanyakan adalah anak kecil. Beberapa akan berlarian; yang lain diam-diam mengambil coklat terbang dan membuat Arghusky berdenging ribut karena ada pencuri; anak menyebalkan lain bahkan membuat kekacauan dengan memukul para peri yang suka mengejek di Fairzen. Membayangkannya saja sudah membuat wajahku terlipat.

"Masih mengantuk, Dey?" Ayah menyapa dengan pakaian kerja serba hitam. Ia meraih roti lapis abon lalu menyemprotkan api biru dari tangannya. Tampak sisa-sisa gosong kecoklatan di permukaan roti. "Libur panjang Wand

31 mungkin menyenangkan duduk di rumah, bermain bersama Ao. Tidak melulu harus bekerja."

Demi mendengar namanya disebut, Ao langsung mengeong, menduselkan kepala ke kakiku. Entah karena ingin bermain atau meminta makanan. Ao adalah kucing celengan berwarna putih dengan corak hitam. Ia seperti kucing pada umumnya, yang membedakan hanya label pabrik pemroduksi di telinga kiri. Tubuhnya masih kurus karena koin di dalam sana bahkan belum mengisi seperlima "perutnya".

Aku menggeleng. Buru-buru mengubah raut wajahku menjadi lebih berseri. Kulahap menu sarapan pagi ini yang setelah dipikir sama dengan pagi-pagi sebelumnya, roti lapis. Itu masakan paling simpel untuk dibuat di pagi hari, makan dua potong sudah mengenyangkan perut. Namun yang paling penting, ekonomis.

"Malam ini Ayah akan pulang larut. Biasa, menjelang turnamen, pabrik mendadak lebih sibuk dari biasanya. Mereka butuh mode pakaian baru untuk tampil sempurna di area nanti." Satu roti lapis habis dimakan Ayah, diraih satu yang baru. "Kamu mau ikut turnamen, Dey?"

Eh, aku menghentikan kunyahan.

"Turnamen? Ayah bergurau, ya?"

Ayah hanya menggeleng dan tertawa. "Impianmu kan, punya wand baru agar lebih leluasa 'mengeluarkan sihir'. Siapa tau kamu menang turnamen dan dapat Wand 31. Wah, kita pasti mendadak kaya raya. Kamu tidak perlu bekerja di Magoric lagi."

Aku melihat kerlingan mata Ayah. Ia hanya bergurau.

"Lagian kan, Dey. Wand 31 kesempatan terakhirmu ikut turnamen. Saat perilisan Wand 32 nanti, usiamu sudah dua puluh satu tahun, sudah lewat batas maksimal umur peserta. Kalau kamu ikut, Ayah rela bolos kerja untuk meneriakimu dari tribune."

Roti lapis sudah tandas. Hanya tersisa satu yang sedang dibungkus ayah menggunakan kertas buletin kemarin.

"Dey tidak akan ikut, Yah. Lagian, Turnamen 31 WM diikuti per-tim. Tidak ada yang bisa diajak."

"Sekarang per-tim?"

Aku mengangguk. Menyerahkan sisa robekan buletin yang kemarin diantar kurir terbang di kotak surat. Beberapa detik kemudian terdengar suara mencicit burung dan kegaduhan kecil di luar. Pasti kurir yang mengantar buletin hari ini. Burung hantu.

Ayah memindai isi buletin sambil meminum air putih. Wajahnya pucat. "Apa alasan Dewan Kota WM memutuskan tim yang mengikuti turnamen?" Kemudian ia menyeringai. "Oh, lihat! Mereka hanya menerima dua ratus tim. Kamu harus segera mendaftar, Dey, bersama temanmu di Magoric itu. Yang suka memakan kue organ dalam. Siapa namanya? Ah, si Ebi itu. Dia akan memakan habis lawan kalian di sana."

Aku tertawa mendengar kalimat Ayah. Bagaimana Ebi akan ikut, melihat kecoa terbang saja dia takut.

Setelah sarapan, kami keluar rumah bersama untuk berangkat bekerja. Kami berpapasan dengan Raic, witchy dengan riasan tebal yang sedang menggendong anak berusia dua tahun. Janda muda yang terus merecokiku agar mau menerimanya menjadi ibu sambung.

"Kalian mau berangkat kerja, ya? Wah, kebetulan sekali aku juga mau keluar membeli kebutuhan untuk Gied."

Aku hanya mengangguk menanggapi. Lihatlah, sekarang ia sedang genit memperbaiki rambut dan tersenyum lembut kepada kami, terutama Ayah. Tidak sepertiku, Ayah malah terlihat ramah. Ya, ia memang ramah pada siapa pun. "Mari keluar gang bersama."

Wand 31Where stories live. Discover now