ᴏʀʀɪɴ

342 46 51
                                    

ᴅ ᴇ ʟ ᴛ ᴀ | 01 - "ᴏʀʀɪɴ"
ʜᴀᴘᴘʏ ʀᴇᴀᴅɪɴɢ!

🌊

Pagi pukul lima, dua manik yang terkepung gelap dari semalam terbuka dengan resah menyerta di antaranya. Sebentar menyibak selimut yang merengkuh diri, Orrin bangkit melangkah pada pintu, membuka dan terburu keluar, menghadap pintu lain di ujung dekat dispenser, mengetuk permukaannya.

"Gia?"

Tak mendapati sahutan sang adik perempuan di dalam sana, tulang jemari telunjuk Orrin balik menutuk kayu itu. "Gianira?"

Lagi-lagi hanya ditanggapi senyap, Orrin menggigit bibir bawah sementara bayang negatif yang menyapa benak sedari kesadaran menjumpa diri kian merambat memenuhi. Dengan tangan gemetar, Orrin pun membuka daun pintu itu, yang benar sesuai dugaan, tak dikunci oleh si empunya lantaran sang adik memang tak berada di sana.

Refleks Orrin menutup rapat dua maniknya erat seraya kernyit bersinggah pada kening, sebelum kedua kuping itu menangkap samar suara deru motor di depan rumah. Tanpa pikir panjang, Orrin bergegas melekati jendela yang tak jauh dari pintu utama, berdiri menyaksikan dua orang remaja, yang salah satu di antaranya adalah Gia, sang adik yang menjadi sebab utama mengapa resah menghampiri. Sementara satu lagi adalah seorang pemuda sepantaran, yang kian memupuk penilaian negatif pada benak Orrin.

Begitu mereka saling mengibas tangan tanda mengakhiri pertemuan, pintu rumah Orrin buka, menunggu sang adik masuk ke dalam-yang terjadi tak lama usai pemuda itu menjarak.

Orrin membiarkan Gia yang tanpa sedikitpun menggurat roman bersahabat itu melewatinya, menganggapnya bak angin, lalu menutup kembali daun pintu itu.

"Kenapa baru pulang jam segini?" lontar Orrin dengan tangan bersedekap. Tubuhnya memang masih berada tak jauh dari pintu, namun patrian sorot tegas yang merancung pada pungkur sang adik sempurna menghentikan laju kaki itu.

"Apa chat aku semalem kurang jelas? Aku rapat OSIS, Mbak."

"Sejak kapan rapat OSIS SMA sampai sepagi ini?"

"Mbak tanya sendiri aja sama ketosnya. Orang dia yang ngusulin rapat tengah malem."

Belum juga Orrin menyahut, Gia sudah lebih dulu membuka mulut, menyambung perkataannya. "Lagian Mbak lebay, deh. Ini tuh hari Sabtu. Jadwal libur sekolah. Kita cuma memanfaatkan waktu kosong buat rembukin acara gathering day nanti biar nggak ganggu jadwal pelajaran di sekolah karena bentar lagi mau UAS."

"Memanfaatkan waktu luang untuk hal semacam musyawarah OSIS memang positif, Gia. Yang nggak positif itu pemilihan waktunya. Dalam sehari itu ada pagi, siang, sama sore. Kenapa nggak dipilih salah satunya? Kenapa harus malam-malam sampai kalian pulang sepagi ini?"

Gia memutar tubuh, menatap nyalang sang kakak perempuan yang berumur tiga setengah tahun lebih tua darinya itu. "Kan tadi aku udah bilang, karena hari ini libur. Mbak udah budek atau gimana, sih? Mending Mbak ke THT aja sana, daripada ngurusin hidup aku! Denger aja nggak becus pake sok-sokan ngatur hidup aku segala. Korek dulu tuh kuping Mbak!"

Ada perih yang dirasa hati Orrin usai kalimat sarkas Gia utuh ditangkap dua telinga. Namun sebisa mungkin, Orrin berusaha menahan amarah yang tengah mendobrak diri, meminta dibebaskan. Sebab melawan api dengan minyak tidak akan pernah bisa meredupkan kobarannya. Orrin harus bisa menempatkan diri sebagai air atau kain basah tiap kali berbicara dengan sang adik yang mudah tersulut emosi juga berwatak kepala batu itu.

"Bukan itu maksud Mbak, Gi. Fine, hari ini memang jadwalnya sekolah libur. Tapi bukan berarti kamu bisa bebas mau pulang jam berapapun. Apalagi sampai pulang pagi. Karena apa? Karena kamu ini seorang perempuan. Bahkan usia kamu belum genap 17 tahun. Semenjak Bapak meninggal dunia dan Ibu menikah lagi, kamu adalah tanggung jawab Mbak, Gia."

DELTADonde viven las historias. Descúbrelo ahora