🌼38🌼

2K 291 89
                                    


Tidak ada yang kulakukan selain mengurus proses perceraianku dengan Rodie. Itu yang jadi fokusku sekarang. Masalah lain seperti Yati, pesan Issa, biaya hidup Rora, kelanjutan hubunganku dengan Iandi akan kukesampingkan dulu. Aku bisa memikirkan semua masalah itu lain kali.

Sehari setelah tragedi penonjokan Yati, aku memang mendengar bahwa wanita itu sempat dilarikan ke spesialis ortopedi karena khawatir ada keretakan tulang tengkorak. Rodie pasti sangat marah padaku karena istri tersayangnya kulukai. Tapi aku tidak mau memikirkannya lebih lanjut. Aku hanya akan fokus pada tujuanku untuk keluar dari neraka ini.

Selama proses perceraian kami, aku melihat perubahan dari diri Rodie. Kulihat dia datang ke rumah sakit dengan kantung mata yang tebal. Pandangannya seperti benar-benar lelah. Wajahnya kusut. Aku sempat mengasihaninya, tapi lantas aku menggeleng... meyakinkan diriku bahwa dirikulah yang lebih patut dikasihani.

Rodie sempat memohon padaku. Bahkan dia bersimpuh di kakiku, memohon agar kami tidak bercerai. Tapi sekarang aku tidak akan terayu omongannya lagi.

"Jadi kamu bener-bener nggak ada perasaan lagi sama saya?"

"Nggak ada. Cinta itu udah hilang."

Lelaki itu terdiam dengan mata berkaca-kaca.

"S-Saya mohon. Kita coba sekali lagi aja, ya?"

Aku menggeleng.

Tangis lelaki itu pecah.

"Gitu ya? Kita udah nggak ada jalan buat bersatu lagi ya, Non? Kamu udah nggak cinta saya lagi, ya?"

"Iya."

"Kamu bahagia kalau pisah dari saya?"

"Bahagia."

Rodie terdiam cukup lama. Setelahnya dia terisak seperti benar-benar kesakitan. Aku tidak menenangkan tangisnya. Aku hanya berdiri memandang dia tanpa kata. Hatiku seperti sudah mati rasa.

"Kalau berpisah bisa bikin kamu bahagia, maka akan saya lakukan. Tapi kamu harus tahu, saya masih sangat cinta sama kamu. Perasaan saya tidak pernah berubah. Masih sama seperti pertama saya bertemu kamu. Saya selalu suka sama kamu."

Aku memandang ke arah lain untuk menghindari tatapan matanya. Supaya aku tidak terbujuk matanya yang memelas. Supaya dia juga tidak bisa melihat mataku yang mendadak berkaca-kaca.

"Saya boleh pegang tangan kamu untuk yang terakhir kali? Atau saya boleh peluk dan cium kamu sebelum kita pisah?"

Aku menggeleng.

"Maaf aku nggak mau."

"Tapi—Non."

"Nggak. Aku nggak mau."

Lelaki itu menangis.

"Ta-Tapi saya boleh pegang Rora nanti? Saya boleh jenguk dia kapan pun saya mau, kan?"

"Iya. Boleh."

Aku menarik napasku dalam, lantas beranjak dari tempatku berdiri sebagai isyarat bahwa diskusi ini telah berakhir.

"Terima kasih udah menjaga aku selama ini. Maaf kalau ada perbuatan atau perkataan aku yang bikin sakit hati. Maaf kalau selama ini aku selalu gampang marah dan nggak sopan sebagai istri. Aku titip maaf juga buat Bu Yati. Makasih ya."

Aku membuka pintu rumah, mempersilakan Rodie keluar. Lelaki itu mengangguk samar dengan wajah merah karena tangis. Kulihat dia berjalan semakin jauh meninggalkanku dengan punggung yang bungkuk, begitu ringkih. Aku melamun menyaksikan kepergiannya, memikirkan bahwa dulu dia adalah orang yang paling kuinginkan, kukagumi, dan segalanya bagiku. Hatiku seakan terhenyak mendapati keadaan kami sekarang.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang