🌼14🌼

2.4K 314 78
                                    


Hidup lelaki itu sangat sibuk.

Setelah menikah, kami tidak langsung mengadakan pesta atau pun berbulan madu. Jadwalnya yang padat membuat kami harus merencanakan segala sesuatunya dari jauh-jauh hari. Acara kami sepertinya baru bisa digelar satu atau dua bulan ke depan. Sebab belakangan ini dia masih disibukkan oleh berbagai acara ilmiah.

Selama Rodie tidak mengijinkanku mengumumkan hubungan kami, maka aku akan menurutinya. Dia belum mengubah keputusannya terkait itu. Jadi kami masih merahasiakan hubungan kami dari khalayak. Aku juga belum siap mengatakannya pada orang-orang kendati sangat ingin, karena bagiku ini berita yang sangat membahagiakan.

Hari ini masih seperti biasanya. Aku telah datang ke rumah sakit lebih dulu dengan motorku. Sementara Rodie datang kemudian, mengenakan kemeja kotak-kotak perpaduan warna kelabu yang mengecap tubuhnya dengan gagah. Dia melintas di hadapanku tanpa melirik sama sekali, dan jantungku masih berdebar seperti saat pertama kali jatuh cinta padanya.

Aku dinas sore, jadi ada lebih banyak waktu bertepatan dengan kehadiran Rodie di rumah sakit ini ketimbang waktu dines pagi. Kabarnya, Enin Rini seringkali berulah ketika poli dokter umum berdinas satu waktu dengan poli obgyn. Aku tidak tahu kebenarannya, jadi sekarang aku akan buktikan.

"Nana, Rodie sudah datang?"

Aku terperanjat ketika melihat kehadiran ibu dengan nenekku di depan nurse station. Nenek akan kontrol pada Rodie hari ini untuk yang keempat kalinya.

"Eh, udah, Ma. Dia baru datang. Tunggu aja dulu. Nanti juga dipanggil. Nenek kebagian nomor lima. Yang di dalem baru nomor satu."

"Oh, iya. Mama sama nenek nunggu di sebelah sana, ya."

"Iya."

Aku segera memberitahu Itoh kalau nenek sudah datang. Itoh pun segera mengabari Enin Rini di dalam agar nanti nenek bisa segera dipanggil sesuai urutannya.

Selama tiga kali konsultasi ke belakang, nenek selalu membayar Rodie karena memang ditarif. Rodie memang kaget ketika mengenal keluargaku, sebab melihat kehadiran nenek dan ibu yang menurutnya tidak asing. Seperti pernah bertemu entah di mana. Aku mengingatkannya bahwa nenek adalah pasiennya.

"Kunaon teu nyarios?" (Kenapa nggak bilang) tanyanya dengan raut kaget, tapi masih berbahasa sunda halus.

"Aku sudah bilang ke Itoh dan Enin Rini juga tau dari Itoh. Aku kira Enin Rini udah ngasih tau."

"Tidak. Dia tidak bilang apa-apa. Kalau saya tau itu calon mertua saya, sudah pasti saya gratiskan. Saya jadi tidak enak sama mama dan Ene. Maaf ya."

"Nggak apa-apa. Lagian waktu itu kita tidak saling kenal."

"Tapi, kenapa Enin Rini tidak memberi tahu saya, ya?"

Saat itu aku hanya menggeleng. Aku sendiri tidak mengerti kenapa Enin Rini melakukannya. Dia seperti sangat membenciku.

Hari ini nenek dan ibuku datang lagi, tapi kami menolak untuk diistimewakan. Nenek tetap menunggu sampai nomor urutnya tiba. Dengan sabar mereka duduk di kursi tunggu sambil sesekali mengobrol.

Aku melirik daftar pasien dokter obgyn yang hadir untuk memantau giliran nenekku. Sudah ada empat pasien yang diperiksa, selanjutnya giliran nenekku.

"Atas nama Nabila."

Aku tercengang ketika nama nenekku dilewat dan Enin Rini justru memanggil nama pasien setelahnya.

"Ih, Teh Itoh. Kenapa nenek aku dilewat?"

"Nggak tau. Padahal tadi aku udah kasih tau ke dia kalau neneknya Teh Nana udah datang. Kan! Nyebelin dia mah."

Tubuhku langsung terasa panas karena menahan amarah. Tapi aku belum mau melayangkan protes. Aku ingin lihat sejauh mana Enin Rini berbuat.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang