twenty-one

2.4K 170 116
                                    

Saat kandungan berumur tujuh bulan, Dewi pernah meminta beberapa kali kepada Aaron untuk memindahkan kamar mereka tapi pria keparat itu menolak mentah-mentah beralasan demi kesehatan Dewi yang malas berjalan tidak sudi olahraga. Dewi akui jika dirinya memang menjadi super malas dan lebih baik menuruti apa kata Aaron yang ada benarnya juga.

Dewi menuruni tangga, berjalan seperti pinguin lucu dengan perut buncit bulat sempurna. Dewi harus extra hati-hati memperhatikan setiap langkah kaki meminimalisir hal buruk, sangat merepotkan juga menyiksanya.

Duduk di sofa panjang mencebik melihat malas pada televisi berukuran tiga meter di hadapannya. Dewi menahan nafas saat merasakan mulas seperti ingin buang air besar tapi sedari subuh bolak balik ke toilet urung melakukannya. Keringat dingin mulai bercucuran.

Kata Arlan, waktu persalinan tidak harus sama dengan hari perkiraan lahir yang diprediksi oleh dokter kandungan, karena HPL dihitung dengan patokan 40 minggu, sehingga persalinan yang terjadi 3 minggu lebih awal sampai 2 minggu lewat dari HPL masih termasuk kondisi yang normal. Tidak mungkin Dewi melahirkan sekarang karena waktu yang di perkirakan Arlan masih dua Minggu lagi.

Rasa mulas yang Dewi rasakan sulit dibedakan, antara sakit perut biasa atau adanya kontraksi. Kemudian Dewi merasa seperti ingin buang air kecil yang tidak tertahankan lagi. Dewi berdiri kaku dengan kedua kaki bergemetaran melihat air berwarna bening mengalir melewati betis. Kedua tangan Dewi memeluk perut berusaha tenang mengatur nafas.

Kondisi pecahnya kantung ketuban dapat dirasakan Dewi yang cukup peka dengan semua perubahan pada tubuhnya tapi sialnya Dewi baru sadar sekarang. Dewi merasakan seperti ada gelembung yang pecah di dalam sana.

Jam sudah menunjukan pukul sembilan siang Dewi belum juga sarapan bahkan segelas susunya masih utuh tak tersentuh di posisi semula di atas meja makan. Despitarani yang sudah menginap sejak satu Minggu lalu menghela nafas mendapati Dewi yang malah berdiri kaku di hadapan televisi yang menyala.

"Ini sudah jam sembilan. Cepat sarapan da---n...."

Despitarani yang tidak mendapatkan respon turut menunduk mengikuti arah pandang Dewi. Menahan nafas mendapati ada air yang mengalir membasahi kedua kaki menantunya.

"Dewi.....!!!"

"Mama....Ak---aku... Sepertinya mmmm itu... Pecah"

"Jangan bergerak sayang... Oh tuhan. Dewi...."

Dewi melihat mertuanya yang kalang kabut berterik memanggil bi Marni dan entah lah apa, Dewi tidak bisa mendengarkan lagi. Dewi sudah teralihkan fokus dengan rasa teramat sakit dan mulas yang semakin sering terjadi.

.
.
.
Dua menit yang lalu Dewi resmi menjadi ibu saat melahirkan bayi perempuan. Kondisi fisik bayinya tampak kecil dengan berat 2,8 kg panjang 48 cm. Kulitnya tampak kemerahan dan suara tangisnya sangat melengking memekakkan telinga.

"Dia sangat cantik, tapi jelas dia jiplakan Aaron. Aku kecewa...."

Arlan mencebik sebal menatap Dewi. Sesaat kemudian Arlan memotong tali pusar bayinya dan memberikan bayi itu kepada suster untuk di bersihkan.

Arlan dan beberapa suster tengah sibuk di bawah kaki dewi yang mengangkang entah melakukan apa. Rasa lelah membuat Dewi mengantuk tak tertahankan. Sialnya Arlan sedari tadi terus mengingatkan Dewi jangan menutup mata, tangan jahil sepupunya itu beberapa kali mengacungkan jari telunjuk berlumuran darah tepat ke arah Dewi.

"Sompret laki mu itu Dewi. Bahkan aku yang memotong tali pusar bayinya, harusnya itu hal paling krusial untuk di lakukan ayahnya"

"Hey.... Jangan tidur. Pelototkan biji matamu Dewi....!!!!"

Hatimu Bukan UntukkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang