23. Serangan Tak Terduga

Depuis le début
                                    

"Jangan nyandar gitu, tangannya turunin dari pinggang, terus kakinya rapetin. Baru anggun."

Bella mendelik. Meskipun begitu dia tetap mengikuti saran yang Dhika ucapkan. Lagi-lagi kesadarannya tidak singkron dengan list-nya. Tubuhnya bergerak seenaknya tanpa konfirmasi dengan hatinya terlebih dulu.

"Udah sana pergi." Bella mengibas-ngibaskan tangannya mengusir. Terlalu lama satu zona oksigen dengan Dhika hanya akan memperburuk ketenangan emosinya.

"Manis banget adek gue." Dhika mengacak rambut Bella lalu segera memacu langkah begitu adiknya itu memasang tatapan membunuh.

Kita semua tahu jika keluarga punya Bella SOP-nya tersendiri. Jangan bayangkan bahwasanya yang barusan Dhika lakukan adalah hal yang manis. Karena faktanya dia mengambil penuh arti mengacak itu. Tidak main-main rambut Bella sekarang mirip sarang burung berkat gerakan tangannya yang tidak manusiawi itu.

"Selamat menjalani hari adek gue!"

Bella memejamkan mata. Ia marik napas dengan dalam. Mencoba menarik  segala macam energi positif di sekitarannya. Menelisik setiap elemen yang akan menghadirkan ketenangan pada jiwa.

Gemerisik daun yang tertiup angin, kepakan lembut sayap burung-burung kecil, suara gelembung  dari air yang mengalir ... Bella menghembuskan kembali napasnya dan membuka mata. Bella terkaget begitu mendapati Gavin di depannya. Cowok itu duduk dengan bertopang dagu seolah memang menantikan dirinya membuka mata.

"Udah beres semedinya, Neng?" tanya Gavin dengan bibir menahan senyum. Dari jauh Gavin sempat memang melihat apa yang dilakukan Dhika pada adiknya itu.

Sejak kemarin perasaan Gavin tak membaik, tapi begitu melihat Bella yang hanya diam terpejam untuk meredam kekesalannya, perlahan Gavin tergugah untuk menarik ujung-ujung bibirnya. Cara dia mengatasi emosi benar-benar unik.

"Jelek ya, Bell." Gavin menunjuk rambut Bella yang secara instan membuat cewek itu menekuk wajahnya yang akhirnya membuat Gavin mampu memecahkan tawanya.

"Ngeselin lo." Bella memutar tubuhnya hendak masuk ke rumahnya.

"Eh-eh, ke mana?"

"Mempercantik diri lah, nggak liat?" Bella berseru ketus.

"Udah siang."

"Salah lo lah lama datengnya. Coba kalo dari tadi, gue juga nggak bakal kena musibah." Bella misuh-misuh, bibirnya bergerak-gerak seolah membaca mantra.

Gavin turun dari motornya lalu menghampiri Bella. Ia merogoh sakunya lalu mengeluarkan sebuah sisir kecil. Salah satu benda wajib yang ia bawa ke sekolah setelah satu buku dan satu buku tulis.

"Nggak ada kaca, yang bener aja."

"Sini-sini."

Bella menatap cowok itu "Lo bisa?"

"Adek gue cewek."

"Lo sering nyisirin dia?"

"Nggak," jawab Gavin seraya tertawa.

Bella mendesis kesal untuk kesekian kalinya.

"Seenggaknya gue punya skill nyisir tanpa liat kaca."

"Iyalah, rambut lo pendek." Bella merebut sisir di tangan Gavin. Ia pun mulai menyisir. Sedikit meringis dan mengutuk Dhika dalam hati karena telah membuat rambutnya sekusut itu.

Gavin mengulurkan tangan, hendak membantu, tapi Bella segera menghindar.

"Gue bisa, nggak usah ngeremehin."

Gavin tertawa lagi. Ia menurut  dengan hanya memperhatikan cewek itu yang menyisir dengan sangat perlahan. Entah terlalu baik dalam memperlakukan rambutnya, atau dia memang tidak bisa menyisir tanpa melihat cermin.

"Loh, Bell? Belum berangkat jug--eh Gavin." Venni menatap pria itu dengan binar antusias. Di sekelilingnya seolah langsung tercipta tim hore-hore yang siap mendorong semangatnya.

"Sekarang juga mau berangkat." Bella mendorong tubuh Gavin untuk mendekat ke arah motornya sebelum  kemungkinan buruk itu terjadi. Bella segera memakai helmnya, bodo amat dengan rambutnya yang belum selesai, terpenting sekarang adalah menjauhkan Gavin dari ibunya.

"Tan, saya pam--"

"Dadah Mama," sela Bella, dia menepuk-nepuk tubuh Gavin. "Cepetan, kita kesiangan."

Gavin pun manaiki motornya. Bella yang terus menekan untuk cepat membuatnya meninggalkan tempat itu dengan perasaan tak enak pada Venni.

"Cepet, kita udah kesiangan."

"Pegangan."

Bella menurut tanpa banyak basa-basi. Gavin menyunggingkan senyum lalu menarik pedal gas.

oOo

Karena waktu mereka sudah mepet, Gavin melajukan kendaraannya dengan gila. Untungnya Bella tidak ikut gila. Ia masih punya kesadaran dengan meminta berhenti sebelum sekolahnya. Matanya menangkap beberapa tukang rusuh sekolahnya tengah berkumpul di depan gerbang. Dengan kata lain mereka adalah musuh Gavin. Bella bisa dijadikan target seandainya mereka punya dendam. Bella tidak takut, ia hanya tidak ingin berhubungan dengan segala hal yang menyangkut Gavin lagi

"Sisirnya gue pinjem dulu," ucap Bella seraya menyerahkan helm pada Gavin."

"Nanti balikin lagi."

"Iya." Bella memutar bola matanya. Tanpa memedulikan cowok itu lagi, Bella melenggang ke depan. Gavin menopang dagu dan memperhatikan cewek itu dengan senyum kecil.

Hingga tiba-tiba sebuah motor melaju kencang melewatinya. Kejadiannya cepat tubuh Bella dilempar telur oleh orang yang menaiki motor itu. Gavin meloncat, tak peduli pada motornya yang terjatuh, Gavin langsung menarik Bella ke dalam pelukannya. Membentengi dari arah jalanan. Serbuk putih dari tepung terlihat berterbangan setelah menghantam punggung Gavin. Setidaknya ada tidak motor yang melakukan aksi tidak terpuji itu.

Bella perlahan mendongakkan wajahnya. Melihat Gavin yang terengah dengan wajah yang penuh kekagetan.

"Ada yang sakit?" tanya Gavin dengan suara cemasnya.

Bella menggeleng. Dia hendak menyuruh kelenjar air matanya bekerja, tapi merasakan tangan Gavin yang sampai bergetar, Bella pun urung.

"Nggak papa kok."

Gavin perlahan melepaskan pelukannya. Ia menepis cairan telur yang hampir menuruni dahi Bella.

Gavin melepaskan jaket, ia menggunakan bagian dalamnya untuk menyeka cairan amis itu. Meski akhirnya dia menghela napas ketika menyadari bahwa itu tak menolong. Rambut Bella menjadi lengket, seragamnya kotor.

"Kita pulang ya?" tanya Gavin dengan lembut.

Bella mengangguk. Mereka berjalan ke arah motor Gavin. Cowok itu mengangkat motornya.

"Motornya lecet," ucap Bella dengan nada sayang melihat goresan pada badan motor mahal itu. Di detik berikutnya dia dibuat kaget akan Gavin tiba-tiba menghampirinya, lebih tepatnya karena motor yang belum sepenuhnya berdiri itu kembali  dihantamkan pada aspal lagi.

"Mana yang lecet?" Gavin meraih tangan Bella lalu memeriksanya.

"Motornya." Bella menunjukkan dengan dagu. "Itu lecet," ucapnya pelan, kesadarannya cukup terserap akan sikap impulsif Gavin

"Beneran nggak ada yang sakit?"

"Nggak ada."

Gavin menghela napas lega. Ia mengusap wajahnya  seolah baru saja melewati hal yang menakutkan. Hal yang cukup tidak Bella perkirakan. Dari tatapannya jelas Bella menangkap seperti ketakutan dari hal yang sudah dilewati.

"Kita pergi aja."  Bella balik menggenggam tangan Gavin. Ia bahkan menyunggingkan senyum agar Gavin merasa lebih baik. Bella memang sudah lelah berurusan dengan Gavin. Tapi nuraninya yang tidak diproses logika malah tidak tega.

Bella melirik motor yang masih tergeletak tak berdaya. Harga orisinilnya saja fantastis, apalagi sudah banyak modifikasi seperti itu. Padahal menurunkan standar tidak memakan waktu seberapa. Bella mengiba.

Nggak ada harga dirinya, anjir.

oOo

8 Agustus 2023

Pacaran [TAMAT]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant