Bagian 8

165 22 5
                                    

PEREMPUAN ITU IBUKU
Bagian 8

***

Zahra mematung melihat Gio yang sesenggukan dan Adira menyentuh wajah lelaki itu. Ia diam dengan air mata yang ikut keluar. Ikut merasakan betapa sakitnya.

"Gio …." Adira kembali memanggil.

"Ya, Bu. Iya ini Gio." Gio berkata sambil menciumi tangan Adira.

"Mana Gio?"

Pertanyaan Adira membuat Gio sadar jika yang dicari ibunya adalah Gio kecil. Ia sempat terharu ketika ibunya memanggilnya. Ia sempat berharap ibunya mengenalinya. Hanya saja, ia seperti kembali ditampar kenyataan bahwa sang ibu masih belum sadar.

"Gio mana?" Adira kembali bertanya.

"Gio di sini, Bu. Gio di sini."

"Mana Gio? Suruh dia tidur. Sudah malam."

Gio semakin berurai air mata, tapi buru-buru ia menghapusnya lagi. Menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Menyentuh lembut wajah sang ibu dan berkata, "Iya nanti Gio tidur. Sekarang Ibu tidur dulu, ya."

"Suruh Gio tidur." Suara Adira melemah. Matanya mulai kembali terpejam ketika Gio mengusap-usap lembut rambutnya.

"Iya nanti Gio tidur, Bu." Gio berucap pelan dan masih terus mengusap-usap rambut Adira.

"Kopinya, Mas." Zahra mendekat ketika melihat Adira sudah mulai terlelap.

"Makasih, Ra." Gio berkata tanpa mengalihkan pandangan dari wajah sang ibu.

"Biar Zahra yang jaga, Mas. Mas Gio istirahat saja. Pasti capek kan seharian ini belum istirahat." Zahra meletakkan kopi di meja samping ranjang.

Bukannya menjawab, Gio justru bertanya, "Apa dulu setiap malam Ibu seperti ini, Ra?"

Zahra menjawab, "Iya, Mas. Dulu malah lebih parah sebelum ketemu Mas Gio. Dulu susah sekali ditenangkan. Tapi sekarang, saat sama Mas Gio, Ibu lebih bisa dikontrol. Lebih mudah tenang dan bisa diajak bicara."

"Apa menurutmu, Ibu mengenaliku, Ra?"

"Insya Allah, Mas. Meski secara sadar, Ibu nggak bisa mengenali, tapi Zahra yakin jika batin Ibu sangat mengenali Mas Gio. Batin Ibu kan sangat kuat, Mas."

Gio tersenyum dengan mata yang kembali berkaca-kaca. Setidaknya ucapan Zahra sedikit melegakan hatinya.

"Setelah malam menyakitkan itu, saat Ibu dikurung di kamar, Ibu memang sering berteriak histeris. Menjerit-jerit. Memanggil Shanum. Dan mulai tak bisa diajak bicara."

Gio memejamkan mata ketika rasa sakit menyerangnya. Hatinya kian terluka, setiap kali mengingat kejadian lima belas tahun lalu. Selama ini ia diam dan memendam, tapi kini ia ingin melepas semua sesak di dada dengan cara bercerita.

Gio menyaksikan sendiri bagaimana Aldi memperlakukan Adira setelah pemakaman malam itu. Seakan-akan Adira adalah tempat pelampiasan semua amarah akibat kematian Shanum dan terbakarnya rumah Sulastri.

"Ayah buka pintunya. Ayah!" Gio berteriak menggedor-gedor pintu kamar. Saat pulang, Aldi langsung masuk kamar, mengunci dari dalam. Lalu seketika suara Adira yang menjerit memohon ampun memenuhi kamar itu. Belum lagi barang-barang yang pecah.

"Ayah jangan pukuli Ibu! Ayah berhenti!" Gio terus menggedor-gedor pintu kamar, memanggil ayahnya. Ia tahu jika Adira tengah disiksa oleh Aldi.

"Heh Gio sini aja jangan bikin ayahmu makin marah kena pukul juga nanti kamu." Ardan mendekat dan menarik tangan Gio tapi ditepis kasar.

"Terserahlah. Kena pukul baru tau rasa kamu." Ardan akhirnya menyingkir.

Akibat teriakan dan jeritan Adira, tetangga sebelah yang baru pulang langsung datang. "Ada apa sih ini?!" serunya.

"Biarin aja, To. Aldi lagi ngasih pelajaran ke istrinya." Sulastri menyahut santai. Ia duduk di kursi ruang tamu sambil memijat keningnya.

"Pelajaran apa?" Tono, lelaki 37 tahun itu menerobos masuk begitu saja dan berjalan menuju kamar Adira.

Ketika melihat Gio yang menangis sambil menggedor-gedor pintu kamar, ia menggeleng-geleng. Kemudian mendekat dan ikut menggedor kamar itu.

"Buka pintunya, Al. Kamu apain istrimu?"

"Jangan ikut campur, Mas." Ardan yang menjawab memperingatkan.

"Kamu itu juga goblok! Kalau sampai Adira mati, kamu mau liat masmu di penjara?!"

"Bukan urusanku!" sahut Ardan tak acuh dan meninggalkan tempat itu berjalan keluar.

"Woi, Aldi!" teriak Tono. "Cepat buka pintu atau kutelepon polisi sekarang juga!"

"Lho kamu ini apa-apaan sih, To?" Sulastri berjalan mendekat. "Kenapa ikut campur? Itukan masalah rumah tangga Aldi dan Adira. Biarkan saja mereka menyelesaikan sendiri."

"Oalah, Mbak! Penganiayaan itu apakah masuk dalam hal menyelesaikan masalah? Ini kalau aku lapor polisi, bisa di penjara lho anakmu!" Tono menantang dengan kedua tangan berkacak pinggang.

"Lho lapor saja sana! Biar sekalian Adira di penjara karena membunuh anaknya."

"Membunuh anaknya?" Tono tertawa. "Tadi aku dengar cerita dari Mbak Yuli kalau Adira utang susu buat anaknya. Anaknya kelaparan. Jadi, serius ini mau lapor polisi? Biar diusut penyebabnya. Bagus malah supaya Aldi ditahan dengan beberapa kasus. Kasus menelantarkan anak dan istri lalu kasus penganiayaan. Gimana?"

"Jangan macam-macam kamu!" Sulastri masih saja keras dan tak merasa bersalah. "Kamu lupa kalau bukan karena suamiku yang membantu membiayai pengobatan ibumu dulu, pasti ibumu sudah meninggal. Lupa, hah?!"

"Amit-amit jabang bayi, Mbakyu!" Tono meludah. "Aku utang ya dulu, dan sudah kulunasi semuanya. Kenapa masih diungkit?!"

"Supaya kamu sadar siapa yang bantuin kamu saat kamu susah dulu!"

"Yang bantuin aku itu Mas Yasman. Bukan sampean!"

Sulastri sudah hendak membantah lagi tapi pintu kamar terbuka dengan cara kasar. Aldi keluar kamar dengan muka merah padam dan berjalan begitu saja melewati Sulastri dan Tono yang bertengkar. Lelaki itu berjalan keluar lalu pergi menggunakan motor.

"Ibu!" Gio langsung berlari masuk ke kamar, tak menghiraukan Sulastri dan Tono. Keadaan kamar sungguh memprihatinkan. Sangat berantakan dengan barang-barang berserakan.

Tubuh Adira bergetar. Duduk di pojokan sambil memeluk tubuhnya sendiri sambil sesenggukan. Pakaiannya sobek sana-sini. Pipinya terlihat lebam. Sudut bibirnya berdarah.

"Ibu …." Gio menghambur memeluk ibunya. Ikut menangis.

"Dingin," lirih Adira.

Gio langsung menarik tubuhnya, lalu mengambil selimut dan menutupi tubuh Adira. Kemudian kembali memeluknya masih dengan sesenggukan.

Cerita Gio terintrupsi oleh dering ponselnya. Ia mengusap matanya yang basah lalu mengambil ponsel di saku celana. Menatap layar dengan tatapan nyalang.

"Siapa, Mas?" tanya Zahra penasaran meski ia bisa menebak siapa yang menelepon.

"Ayah," jawab Gio malas kemudian meletakkan ponsel begitu saja di meja samping ranjang.

"Nggak mau coba ngangkat? Siapa tahu penting."

"Nggak. Ayah cuma minta aku pulang."

"Sepertinya ayahnya Mas Gio kangen. Mas Gio sudah hampir setahun nggak pulang, kan?"

Gio tertawa penuh ironi. "Kangen? Biarkan saja. Aku malas menemuinya."

Zahra diam dan tak berani mengatakan apa-apa lagi. Sebuah pesan masuk ketika dering panggilan berhenti. Gio dengan malas mengambil ponselnya dan melihat isi pesan dari ayahnya itu.

'Gio, tolong usahakan pulang. Ayah mohon. Eyangmu masuk rumah sakit dan nyariin kamu.'

Bersambung ....

Penasaran dengan keadaan ayah dan eyangnya Gio? Alurnya maju mundur, jadi kudu sabar. Nanti akan terjawab semua teka-teki itu. Mulai besok Insya Allah akan posting satu part sehari. Semoga bisa. Dan jangan lupa bantu vote dan komen. Masukkan juga ke daftar perpustakaan. Terima kasih semuanya❤

Menyembuhkan Luka IbuWhere stories live. Discover now