Bagian 1

548 36 3
                                    

Selamat datang di dunia imajinasiku. Semoga betah berada di kediamanku yang tak begitu megah ini. Perkenalkan, saya Popy Novita dan biasa dipanggil Mpop. Masih single alias belum menikah hehehe jadi jangan dipanggil Mak atau Bunda, ya. Panggil Mpop aja, atau yang usianya di bawah 20 tahun, bisa panggil Kak Mpop.

Sebelum membaca, jangan lupa follow akun saya, ya. Like, komen, dan share. Terima masih banyak. Sehat selalu buat kalian❤

PEREMPUAN ITU IBUKU
Bagian 1

***

"Siapkan aku makan, Dir. Lapar aku." Aldi menyuruh Adira saat baru sampai rumah. Ia duduk di kursi ruang tamu sambil mengipas-kipas wajah dengan tangan.

"Nggak ada lauk, Mas. Gimana?" Adira menyahut sambil menggendong Shanum, bayinya yang baru berusia tiga minggu.

"Nggak ada lauk? Kok bisa?"

"Uangnya kupake buat beli susu formula, Mas. Asiku kan nggak keluar sama sekali. Kasihan Shanum, nangis karena lapar."

"Masa semuanya buat beli susu?"

"Uang yang Mas kasih kan nggak seberapa. Tanya aja sama Mbak Yuli harga susu formula untuk bayi itu berapa yang paling murah. Terus sisanya kubeliin kerupuk tadi buat makan aku sama Gio."

Aldi berdecak kesal kemudian menyambar jaket dan keluar.

"Mas mau ke mana?" Adira menyusul.

"Keluar cari makan," jawabnya ketus sambil menaiki motor.

"Masih ada kerupuk kalau mau."

"Kamu makan aja sendiri!"

Adira hanya menghela napas panjang untuk menghalau rasa sesak di dada. Sudah biasa, tapi tetap saja menyakitkan. Aldi selalu bersikap demikian. Marah saat pulang kerja, karena di rumah tidak ada makanan. Sedangkan uang yang dikasih hanya cukup untuk beli kebutuhan si bayi atau kakaknya yang berusia sepuluh tahun.

Sebelas tahun menikah, Adira sudah sangat memahami karakter suaminya. Terkadang ia malas meminta jatah belanja, karena selalu saja salah. Uang belanja tak seberapa, terkadang masih diungkit-ungkit dan dibilang boros.

Lebih menyakitkan lagi, ketika ibu mertuanya ikut campur masalah rumah tangganya. Bahkan Adira dibilang tak becus mengurus suami dan tak pandai mengurus keuangan. Adira tak berani membantah. Ia diam tapi terkadang menangis diam-diam.

***

"Bu, makan sama kerupuk lagi?" tanya Gio dengan wajah memelas. Menatap sepiring nasi dengan kerupuk sisa siang tadi.

"Besok kalau Ibu punya uang, kita beli makanan yang enak ya. Gio mau apa?" Adira mencoba membujuk.

"Kita beli ayam goreng ya, Bu!" Gio berseru dengan mata berbinar.

"Iya nanti kita beli ayam goreng yang banyak khusus buat Gio. Sekarang makan dulu biar perutnya nggak sakit."

Gio mengangguk cepat lalu mulai makan dengan lahap. Dalam hati, Adira meringis menahan perih. Sebagai Ibu, ia merasa gagal karena tak mampu memberikan makanan yang cukup gizi untuk anaknya.

"Bu, Ayah kok belum pulang?" tanya Gio di sela makan.

"Ayah lembur mungkin," jawabnya berbohong. Ia sendiri tidak tahu ke mana Aldi. Karena sejak sore tadi, lelaki itu belum pulang.

Suara ketukan pintu membuat Adira beranjak dari kursi. "Gio sambil lihatin Adek, ya," katanya dan mendapat anggukan dari Gio.

Adira berjalan keluar dari dapur untuk membuka pintu. "Sebentar!" serunya karena ketukan itu berulang-ulang. Jelas itu bukan suaminya.

Ketika pintu dibuka, benar saja bahwa yang datang bukanlah suaminya melainkan ibu mertuanya. Sulastri datang membawa bingkisan, langsung masuk begitu saja sambil mengomel.

"Lama banget buka pintu! Mana Gio?!" tanyanya sambil berjalan ke dalam.

"Di dapur lagi makan, Buk." Adira menjawab sambil menutup pintu.

Ia berjalan ke dapur mengikuti Sulastri. Ternyata Ibu mertuanya membawa lauk cha kangkung dan ikan goreng. Melihat itu seketika Adira menelan ludah. Rasa lapar yang ditahan membuatnya menginginkan lauk tersebut. Namun cukup tahu diri karena sepertinya ibu mertuanya hanya membawa untuk Gio saja.

"Makan ini. Makan kok sama kerupuk. Mana ada gizinya. Udah itu kerupuknya kasih ke ibumu, biar dia yang makan." Sulastri menyingkirkan sisa kerupuk yang tak seberapa itu lalu menaruh cha kangkung dan ikan goreng ke piring Gio.

"Kata Ibu, besok kalau Ibu punya uang nanti Gio bakal dibeliin ayam goreng, Eyang." Gio menjawab.

"Halah! Uang dari mana ibumu? Kerja juga nggak!"

Adira menahan perih saat mendengar ucapan Sulastri. Seakan-akan dirinya tidak ada di sana. Seperti tak ada rasa takut menyakiti.

"Ayahmu di rumah Eyang. Kamu mau tidur di rumah Eyang atau di sini saja?" Sulastri kembali bertanya setelah menarik kursi dan duduk di samping Gio.

"Loh Mas Aldi nggak pulang, Buk?" tanya Adira.

"Nggak. Pusing katanya. Sumpek di rumah apalagi kamu nggak becus ngurus suami."

Adira menggertakkan gigi, dan entah keberanian dari mana ia menyahut, "Mas Aldi saja nggak becus ngurus istri dan anak, kenapa menuntutku sedemikian?"

"Apa kamu bilang?" Sulastri melotot.

Adira memilih berjalan ke kamar tanpa menyahut lagi. Dadanya kian sesak dan akhirnya air matanya keluar.

"Berani sekali kamu bicara seperti itu!" Sulastri menyusul ke kamar. "Kamu tahu, sejak kecil Aldi itu hidup enak. Aku nggak pernah nyusahin dia. Aku selalu menuhin kebutuhannya. Setelah menikah, seharusnya kamu belajar bagaimana menyenangkan suami! Istri macam apa kamu ini!"

Adira memejamkan mata dan menepuk-tepuk Shanum yang menggeliat karena terganggu dengan suara Sulastri. Tak lama kemudian, Shanum menangis.

Sulastri pergi ke kamar dengan masih mengomel. Ia kembali ke dapur. Sedangkan Adira sesenggukan sambil menenangkan Shanum.

"Gio cepat makannya, ayo pulang ke rumah Eyang."

Gio menggeleng. "Gio mau tidur di sini saja."

"Di rumah Eyang ada roti banyak. Ayo! Kamu kelaperan kalau di sini."

Gio tetap menggeleng. "Nggak mau."

"Terserahlah. Anak aneh, malah lebih suka kelaperan." Sulastri berlalu begitu saja dan pergi tanpa pamitan.

Shanum sudah mulai tenang ketika diberi susu dalam botol. Adira mengusap wajahnya yang basah, berkali-kali tapi tetap saja air matanya mengalir.

"Ibu, Gio udah kenyang." Gio datang dan berdiri di ambang pintu.

"Gio udah cuci tangan?"

Gio mengangguk.

"Sini jagain adek. Ibu makan dulu."

Gio langsung mendekat dan tiduran di samping Shanum. Adira keluar kamar menuju dapur, dan terkejut saat melihat lauknya masih banyak. Ia tersenyum sambil menitikan air mata lagi. Ia sangat bersyukur memiliki anak yang sangat pengertian.

Bersambung ....

Menyembuhkan Luka IbuМесто, где живут истории. Откройте их для себя