Bagian 6

144 24 2
                                    

PEREMPUAN ITU IBUKU
Bagian 6

***

"Ibu!" Gio membuka pintu kamar dan melihat kamar berantakan, beberapa barang di atas meja samping ranjang pun berceceran di lantai. Gio mendekat lalu merengkuh sang ibu agar tenang.

"Ini Gio. Gio di sini. Gio di sini. Ibu tenang, ya." Gio mempererat pelukannya.

"Shanum! Shanum!" Adira terus memanggil bayinya dengan tangis memilukan. Seakan-akan hal yang terjadi lima belas tahun lalu baru saja terjadi.

"Iya Shanum di sini. Shanum kan lagi tidur, Bu. Tenang ya. Ibu jangan nangis. Nanti Adek bangun."

Adira masih sesenggukan dan bergumam, "Jangan kuburkan bayiku. Dia belum mati. Jangan."

"Nggak. Nggak ada yang akan ngubur Adek. Ibu tenang ya. Adek lagi tidur."

Adira mulai sedikit tenang meski masih sesenggukan. Gio mengusap-usap punggung sang ibu dan mengecup kepalanya berulang-ulang. Merengkuh erat agar ibunya benar-benar diam dan tenang.

Zahra bernapas lega, kemudian membereskan barang-barang yang berserakan. Melinda mendekati Gio dan menyentuh bahu lelaki itu. Gio mendongak, tersenyum meyakinkan bahwa semua sudah baik-baik saja.

"Aku pulang aja, ya," bisik Melinda.

Gio mengangguk. "Hati-hati dan makasih buat buahnya."

"Sama-sama." Melinda menepuk-nepuk bahu Gio.

"Ra, tolong antar Melinda keluar ya," pinta Gio pada Zahra.

Gadis itu langsung mengangguk. "Baik, Mas Gio."

"Sampe ketemu besok." Sekali lagi Melinda menepuk-nepuk bahu Gio sambil tersenyum.

Gio balas tersenyum. Setelah Melinda dan Zahra keluar kamar, Gio kembali menenangkan sang ibu. Mendendangkan kidung Jawa yang dulu kerap dinyanyikan oleh ibunya ketika hendak tidur. Sekarang posisinya terbalik. Mungkin memang seharusnya demikian.

Beberapa saat kemudian, Adira mulai stabil napasnya. Tak lagi sesenggukan dan matanya mulai terpejam. Gio dengan hati-hati menidurkan Adira, lalu menyelimuti. Ia duduk di kursi samping ranjang sambil memandang wajah Adira. Mengusap lembut sudut mata sang ibu yang basah oleh air mata. Kemudian mengelus rambutnya.

Hatinya selalu saja sesak ketika melihat sang ibu tersiksa karena ingatan Adira seperti berhenti di kejadian lima belas tahun lalu. Mungkin karena kejadian itu terlalu menyakitkan. Kehilangan bayi ditambah selalu disalahkan.

Gio memejamkan mata mengingat kejadian kala itu.

"Kebakaran! Mbakyu Sulastri, rumahmu kebakaran!" seru salah satu warga, tergopoh-gopoh datang ke rumah Aldi.

Aldi yang sedang duduk diam dengan pandangan kosong itu seketika menoleh. Sulastri sedang sibuk membantu membersihkan Shanum untuk segera dimandikan. Gio saat itu duduk di pojokan kamar. Diam sesenggukan, menenggelamkan wajah di sela kaki yang dilipat. Bocah lelaki itu tak berani mendekati adiknya yang sudah tak bernyawa. Ada rasa bersalah di hatinya yang membuat tersiksa.

Semua warga yang ada di rumah itu seketika menoleh. Sulastri langsung teringat dengan kompor yang belum dimatikan saat ia memasak tadi. Ia berdiri dan menyerahkan Shanum pada tetangga untuk membantu membersihkan dan memandikan.

"Apa kamu bilang, Waryo?!" seru Sulastri menghampiri Waryo.

"Rumahmu, Mbakyu. Kebakaran. Apinya sudah besar!" Tetangga-tetangga sebagian sudah di sana mencoba buat madamin apinya, tapi susah. Apinya sudah terlanjur besar!"

"Ya Gusti!" seru Sulastri lalu berteriak memanggil Ardan. "Ardan! Ardan cepat ayo pulang! Rumah kebakaran, Dan!"

"Mbayu, Ardan tadi ikut ke toko Pak Saleh beli kain kafan sama papan." Salah satu tetangga menyahut.

"Ya Allah gimana ini!" Sulastri mulai panik dan bingung sendiri.

Aldi datang dan langsung mengajak ibunya. Ia mengantar Sulastri pulang naik motor setelah menitipkan Shanum pada tetangga.

Sesampainya di rumah Sulastri, sudah ada beberapa warga yang berusaha menyemprotkan air ke api. Sia-sia saja karena api itu sudah melahap sebagian rumah bagian belakang dan mulai merembet ke depan. Beruntungnya, rumahnya tidak terlalu mepet dengan rumah sebelah. Jadi tidak menyebabkan api melahap rumah lain.

"Allahu Akbar!" seru Sulastri dan jatuh terduduk sambil memukul-mukul dadanya. Ia menangis meraung-raung melihat rumahnya dilalap api.

Aldi mengusap wajah dan rambut frustrasi. Tubuhnya semakin lemas. Setelah kehilangan anak, kini ia harus melihat ibunya kehilangan rumah.

"Kita sudah panggil pemadam kebakaran, Al. Tapi memang harus nunggu," kata salah satu warga.

Sulastri terus menangis meraung-raung melihat rumahnya kian habis dilalap api. Aldi mendekat dan merangkul bahu ibunya. Ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Pikirannya sedang kacau.

Setelah pemadam kebakaran datang membantu memadamkan api, Aldi memilih pulang. Sulastri tetap di sana dan tak mau beranjak pergi. Lucunya, ketika api sudah berhasil padam, tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Seakan-akan tengah meledek musibah yang terjadi pada Sulastri.

Ketika malam beranjak, dan Adira belum juga pulang, Aldi semakin geram. Hatinya panas dan dipenuhi amarah. Bahkan ada niatan akan membunuh Adira saat wanita itu pulang.

Karena hujan deras dan baru berhenti sekitar jam sembilan malam, beberapa warga barulah menuju pemakaman untuk menggali tanah. Aldi meminta bayinya segera dikuburkan dan malam itu juga, walau pun harus tengah malam.

Sekitar jam sebelas malam, Adira pulang. Aldi yang mengetahui itu seketika darahnya seperti mendidih. Ia beranjak dari duduk dan langsung keluar menghampiri Adira. Menampar wajah wanita itu dengan keras. Menumpahkan semua perasaan yang mendidih itu dengan makian. Menyalahkan Adira atas apa yang terjadi pada Shanum. Lalu mendorong kasar tubuh Adira dan hendak memukulinya jika saja warga tidak menghalanginya.

Gio yang mendengar keributan itu pun lari keluar kamar. Ia melihat ibunya dimaki-maki ayahnya. Disalahkan. Lalu dipukul. Hatinya perih setiap kali sang ibu disalahkan atas apa yang terjadi. Selama ini ia diam, tapi ia bisa melihat semuanya. Ia tahu jika ibunya kerap menangis diam-diam ketika kena marah Aldi.

Hati Gio kian hancur ketika melihat ibunya menjerit histeris melihat Shanum sudah dibungkus kain putih. Saat Adira jatuh pingsan pun, Aldi tak peduli dan mengabaikan. Gio berlari mendekat. Menangis melihat sang ibu jatuh tak sadarkan diri. Beberapa warga mengangkatnya masuk ke dalam. Gio mengikuti. Ia melihat tatapan sinis Sulastri seperti hendak membunuh. Hati Gio semakin sakit. Ibunya tak salah apa-apa. Kenapa semua orang menyalahkan?

Gio duduk di samping ibunya. Memijat tangan sang ibu yang sangat dingin. Baju Adira basah. Jelas tadi Adira kehujanan. Tetangga lain ada yang mendekat dan mengusapkan minyak kayu putih ke hidung Adira. Tak lama kemudian, Adira sadar.

"Ibu," panggil Gio di sela sesenggukannya.

Adira menoleh, hanya menatap sekilas kemudian bangun. "Mana Shanum? Shanum mana, Gio? Ibu suruh kamu jagain kan tadi?"

Gio kian sesenggukan tak mampu menjawab. Tetangga lain mengusap-usap punggung Adira menenangkan. Namun, Adira bangkit dan keluar kamar. Ia melihat banyak orang sedang mengaji di rumahnya. Ia menggeleng. Lalu tiba-tiba rambut Adira ditarik oleh Sulastri.

Gio yang melihat itu mendekat. "Jangan, Eyang! Jangan!"

Bersambung ....

Siap-siap buat semakin sesak? Jangan lupa follow akun saya ya.

Open PO versi bukunya. Yang mau baca lewat grup TELEGRAM juga bisa harga 55k, WA 08888118689

Menyembuhkan Luka IbuWhere stories live. Discover now