X. Jatuh Cinta

24 7 5
                                    

Sejak hari itu Akira mulai mengurangi minat berpetualang. Aoi tidak tahu mengapa, tetapi ia mendapati anaknya berfokus kepada pengalih perhatiannya yang lain. Yah, kembali mengajari Adam di malam hari, misalnya.

Akira mulai belajar bersepeda untuk mengelilingi kota. Ketika dirasa mahir, Nina memanfaatkan tenaganya untuk mengantar ia ke kantor dan menjemputnya pulang. Toh, Akira tidak keberatan dan ia selalu menerima gaji mingguan dari sang kakak kemudian.

Bersamaan dengan itu, tetangga yang jaraknya selang dua rumah menawarinya bekerja mengantarkan koran. Atau mungkin lebih tepatnya ... melemparkan koran ke rumah-rumah pelanggannya.

Akira dengan senang hati menerima pekerjaan tersebut sebab ia sangat suka berjalan-jalan. Setiap minggunya dia selalu bertukar rute pengantaran dengan teman-temannya yang lain.

Menjelang sore ia akan mendatangi ladang untuk membantu ayah dan kakak laki-lakinya, tetapi ketika tidak ada yang bisa ia lakukan di sana, biasanya ia akan menunggu, atau berburu burung pipit menggunakan ketapel atau anak panah dan busur yang sengaja ia bawa dari rumah.

Semuanya memang tampak berjalan seperti biasa, tetapi sebagai seorang Ibu, Aoi tahu betul bahwa yang disaksikannya selama ini masihlah sebatas kulitnya saja. Jadi ia perlu mengupas lebih sering, membelah daging-daging untuk mendapatkan serat tersembunyi hingga ... hingga mencapai biji inti, kalau bisa.

Pada akhirnya musim semi terlewat. Hawa terasa sangat panas. Itu artinya mereka harus menyirami ladang lebih sering. Meski demikian, mesti teruslah berhati-hati agar tak kehabisan air.

Akira menghabiskan lebih banyak waktu di perpustakaan sampai jadwal ibunya usai. Lantainya sangat dingin dan dia senantiasa duduk-duduk di situ sembari membaca buku. Nah, inilah momen yang menguntungkan bagi Aoi.

Kadangkala ia memperhatikannya duduk di sudut dengan buku kosong dan pena. Dia terlihat serius sekali, mungkin itulah yang membuatnya terkadang tak hirau terhadap sekeliling. Tak sedikit pun manik biru itu menangkap pengawasan sang ibunda yang terus curi-curi pandang terhadapnya.

Anaknya kadangkala menelengkan kepala, atau sekadar menengadah seakan tengah mengingat-ngingat sesuatu. Dia akan mulai menulis jika sudah menemukan kata-kata yang dirasa pas. Terus begitu sampai pada akhirnya dia merobek-robek kertas yang baru diisi dengan untaian kata yang singkat hingga berkeping-keping.

Dia terus melakukan hal yang sama setiap kali mengunjungi perpustakaan. Persis seperti orang yang sedang uring-uringan.

Pada saat datanglah kesempatan Aoi untuk memungut apa yang telanjur dibuang anak laki-lakinya itu ke tempat sampah, ia lekas menggabungkannya sebisa mungkin. Memang menjadi hal tersulit yang ia lakukan, sebab kepingan-kepingan kertasnya kecil sekali.

Yah, setidaknya ia puas mendapatkan kata-kata yang ia rasa sudah menjadi inti dari bait-baitnya.

Merah muda, pucat, delima ... serigala.

Itu kombinasi yang sangat unik menurutnya, dan ingin sekali ia cepat-cepat mengambil satu kesimpulan. Hanya saja ia masih kekurangan bukti kuat.

Jadi ia terus memperhatikan anaknya yang terus menulis setiap kali mengunjungi perpustakaan. Kali ini ia menemukan kata seperti 'wanita', 'malam' dan 'cahaya', selanjutnya ia pula mendapati 'sepi'.

Kian hari, semuanya tampak semakin jelas. Akan tetapi ia tidak mengerti maksudnya.

"Apa aku harus menyerah saja dan menanyakannya langsung?"

Namun, dia tahu. Anaknya pasti enggan bercerita.

Mau tak mau ia melanjutkan penyelidikan ini.

Mulailah Aoi memperhatikan apa yang dilakukannya setiap malam. Akira, memang senang sekali tidur lebih larut ketimbang saudaranya. Dia pasti akan ke loteng kosong untuk membuka jendela, lalu memanjat ke sana untuk duduk di atap.

Dia ... menggambar di sana.

Aoi akan mengira ia akan menggambarkan apa yang diperhatikannya dari atas sana menggunakan pensil dan pena. Dia tahu Akira selalu melakukan itu untuk melatih diri.

Namun, suatu malam ia dapati secarik kertas tenggelam di wastafel.

"Astaga ... apa ini?" gumamnya sembari mengangkat kertas tersebut pelan-pelan. Begitu hati-hati sekali ia melakukan itu, barulah ia buka penutup wastafel supaya genangan yang ia pertahankan lekas surut.

Lantas helaan napas ia tarik dalam-dalam tepat netra obsidiannya tertuju pada bagian kertas yang kelunturan tinta pena. Astaga, ada lagi satu karya yang berakhir sama dengan sajak-sajak itu, katanya dalam hati.

Alangkah sangat disayangkan bagi Aoi. Dia tidak bisa melihat utuh potret macam apa yang sedang dikerjakan anaknya. Tintanya luntur, nyaris menghancurkan semuanya.

Namun, jika dilihat baik-baik arsiran dan noda-noda dari pensil tidak menghilang. Dari bercak-bercak tinta yang menghalangi, Aoi bisa melihat ukiran mata yang indah sekali, tetapi sayang ia kesulitan membaca apa yang tengah dirasa empunya mata ini.

Sisa-sisa lain yang mampu Aoi terawang ialah pipi tirus dan rambut panjang. Mengertilah ia potret yang telanjur luntur ini merupakan potret seorang wanita. Dia mulai yakin, ini ada sangkut paut terhadap potongan kata yang ia temukan dari kepingan sajak-sajak Akira.

Kebetulan sekali, anak yang tengah dipikirkannya baru saja keluar dari toilet. Seketika wajahnya pucat di kala ia melihat sang ibunda yang berdiri memegangi kertas yang basah kuyup lagi luntur.

Alih-alih ikut panik, Aoi malah menyungging senyum padanya.

Bukan senyum mengejek ... justru senyum itu lembut sekali.

"Anak Ibu, mengapatidak bilang kepada Ibu kalau sedang jatuh cinta?"

Eternal Gift [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang