VII. Kesepian Manik Delima

22 6 3
                                    

Benar apa kata neneknya dan beruntung sekali si Nona Vampir mengingatkan. Kirika pula telah meramu obat pahit dari tumbuhan yang sama sekali Akira tak tahu apa saja yang terkandung di dalamnya. Dia mengompresi kepala Akira dengan tangan yang sedingin es (yah, setidaknya itu efektif).

Akira bangun lebih bugar setelah terlelap cukup lama. Atau mungkin lama sekali sampai ia menyadari malam sudah tiba tepat ia menggerakkan kepala menghadap jendela. Ditambah lagi tak ia dapati keberadaan sosok Kirika di sampingnya.

Secepatnya ia bangkit, kala itulah ia merasakan sekujur tubuhnya lembap oleh keringat. Begitu pula bajunya. Sayang sekali dia tidak membawa baju ganti, tetapi ... di kala menggeser pandangan ke sebuah bangku dengan bantalan beludru, Akira telah mendapatkan satu setelan baju yang terlipat rapi di sana.

Ah, tidak hanya satu setelan baju, Akira juga mendapati secarik kertas di atasnya. Ya, itu pula yang menjadi pusat perhatian bagi empunya netra biru.

'Datangilah halaman belakang ketika kau terbangun dan bawa barang-barangmu. Aku menunggu di sana. Jangan lupa untuk mengganti baju, habisnya kau agak bau. –Kirika Alford'

Padahal baru saja Akira memuji tulisan tangannya yang sangat rapi dan terukir indah dalam hati, tetapi seketika ia jengkel sekali dengan kalimat terakhir itu. Ingin sekali ia menyangkal, maka ia endus ketiaknya yang masih agak basah.

Sayang sekali ... dia memang harus berganti baju.

Bergegaslah Akira kemudian.

Udara dingin membelai kulit, tetapi tidak sampai membuatnya menggigil. Dia terus melangkah menuju halaman belakang. Kian meningkat semangatnya kala ia menemukan pemandangan menarik nan jauh di sana.

Dia memang menandai tanaman-tanaman rambat yang memenuhi seluruh pagar puri kala pertama kali datang, hanya saja Akira tak menyangka separuhnya melilit mawar-mawar putih gading. Agaknya ia harus berhati-hati, sebab banyak sekali duri tajam yang melindunginya.

Rerumputan sedikit lebih tinggi di kanan dan kiri sepanjang jalan yang mengarah ke halaman belakang. Entah kapan terakhir kali dipangkas. Di antaranya tumbuh pula bunga krokot yang malah mempercantik eksistensi rumput-rumput itu.

Akira merasa aneh terhadap tembok semak-semak mawar yang berada di sisi jalan pula. Dia baru melihatnya ketika ia sampai setengah jalan. Kian ia maju, tembok semak-semak tersebut meninggi hingga bahu.

Barulah ia sadari tembok semak-semak itu juga menjadi petunjuk jalan menuju halaman belakang. Tibalah ia di sana, segera ia temukan gawang tinggi yang terlilit-lilit mawar merah dan putih. Dari situ, ia bisa melihat atap gazebo putih yang tampak megah.

Betul firasatnya kalau Kirika menunggunya di gazebo. Yah, sedikit meleset dugaannya, sebab ia tak duduk di kursi.

Kali ini ia mengenakan gaun merah dengan lengan berbahan tipis dan berlubang sehingga Akira bisa melihat bahu hingga lengan atasnya mengintip dari lubang tersebut. Dia menyanggul rambut kepangan yang ia jadikan mahkota yang mengelilingi lingkar kepalanya, lantas memperlihatkan punggungnya yang mulus.

Jemarinya yang lentik menampung sekuntum mawar merah di dekatnya. Begitu hati-hati ia berbuat, sama sekali tak berniat untuk memetik bunga tersebut. Begitu samar senyum yang ia sungging ketika membelai kelopaknya, tetapi itulah hal yang selalu membuat Akira terpesona.

Hanya saja ... malam ini, Akira mendapati manik delimanya sedang menyampaikan sesuatu yang amat berlawanan dengan mimiknya. Hanya sekilas, dan beruntung sekali ia sempat menangkap itu sebelum si Nona Vampir sedikit membungkuk. Maka saat itu pula Akira memutuskan untuk menyimpan pendapatnya dalam hati.

Kirika lalu mensejajarkan mawar yang paling mekar tersebut ke pelipisnya. Barulah dipandangnya Akira dengan sebuah senyum manis sambil berkata, "Mendiang ibuku selalu berkata kalau kami mirip. Bagaimana menurutmu?"

Bagaimana bisa ia mengasihi mawar sedemikian rupa dengan tidak memetiknya, sementara ia membunuh serigala semudah membalikkan telapak tangan?

Sempat Akira menahan napas kala memikirkan dua sisi yang Kirika miliki. Seribu sayang, konon ia mulai hendak membicarakannya, lebih dulu Kirika mendominasi dengan kembali tegak dan bersuara, "Beliau selalu menyukainya dan mencintai mereka sebagaimana beliau mencintaiku. Beliau senang sekali mengaitkan mereka dengan kecantikan, juga menyimpan sifat tangguh. Begitulah beliau memandangku.

"Kalau saja beliau masih hidup dan melihat taman ini, beliau pastilah senang sekali." Demikianlah Kirika duduk anggun di bangkunya, maka ia mengulurkan tangan yang satu kepada bangku kosong di seberang meja. "Duduklah, Manusia."

Akira mengangguk dan segera menuruti selagi Kirika kembali mengedarkan pandangan kepada mawar-mawar.

"Anda membuat taman ini?"

"Ya. Puluhan tahun yang lalu," jawab Kirika sembari mengembalikan pandangannya kepada Akira. "Kenji sama sekali tidak memiliki jiwa seni yang bagus. Dia hanya meletakkan patung-patung di belakang sehingga suasananya menjadi suram dan gersang sekali. Jadi aku memanggilkan seorang tukang kebun dengan salah seorang perwakilanku."

"Saya bisa bayangkan sebelum Anda sendiri menggarap tamannya. Halaman belakang ini menjadi lebih hidup karena Anda," tanggap Akira. "Jika pada malam hari saja taman ini sudah sangat indah, saya yakin seisinya akan lebih menawan lagi di siang hari."

Pernyataan itu sebentar membuat Kirika termangu. Lekas ia menoleh ke arah timur, yang mana persis sekali dengan gawang masuk taman. Netranya menerawang kepada mawar-mawar yang memenuhi gawang.

Dia membayangkan akan tercipta tirai-tirai tipis dari cahaya matahari menerobos masuk dari sana. Hangatnya ikut mengantarkan udara sejuk di pagi hari yang membawakan oleh-oleh berupa aroma embun pagi.

Seiring ia menunduk, kekehnya melantun ketika segala hal itu terbayang dalam kepalanya. Konyol sekali, pikirnya. Betapa tidak. Bahkan sebuah peristiwa yang sederhana bagi seorang manusia, sekarang menjadi peristiwa yang paling istimewa untuk makhluk abadi seperti dirinya.

"Berbicara soal siang hari, tiga jam lagi fajar akan tiba," katanya, lalu menoleh kepada Akira. "Kau bisa pulang kalau matahari sudah sedikit lebih tinggi. Mungkin kau bisa melihat pemandangan itu sebelum pulang dan petiklah beberapa tangkai bunga sebagai oleh-oleh.

"Namun, kalau itu tidak cukup, kau bisa mengambil vas keramik atau barang-barang di dalam." Semula Akira menganggap ia hanya bergurau, tetapi bersama tawanya cepat ia meneruskan, "Kau tahu, aku tak lagi membutuhkannya dan terlalu malas untuk merawatnya."

"Saya pikir ... itu tidak sopan."

"Sopan. Aku sudah memberimu izin."

Tetap saja ... barang-barang antik milik Kirika tidak akan pernah cocok untuk menjadi hiasan dalam rumahnya. Lagi pula kawasan rumahnya sedang rawan akan maling, maka Akira menggeleng sebagai tanda berkeras menolak tawarannya dan berkata bahwa seikat mawar saja sudah cukup untuk ibu dan saudari-saudarinya.

Lantas Kirika membalas perkataannya dengan senyum.

"Kau manusia yang sangat santun dan rendah hati," komentarnya. "Sudah ditawari membawa pulang kemewahan, berkeras menolak. Kupikir sudah saatnya bagiku mendengarkan cerita-ceritamu lagi."

"Saya pikir saya tak memiliki hal menarik untuk diceritakan. Jadi—"

"Kau punya." Kirika menyergah dengan sorot mata yang lembut. "Begitu pula manusia lainnya. Pun, karena hal-hal menarik yang kalian miliki itulah aku hidup."

Hendaknya Akira berpaling sambil menggaruk-garuk tengkuk yang sesungguhnya tak gatal.

"Kau bahkan belum menyebutkan namamu, Manusia," kata Kirika. "Toh, aku juga bisa menganggap ceritamu merupakan bayaran yang cukup sebelum kau pulang."

"Entah kenapa rasanya seperti ditodong preman yang meminta tebusan ...."

"Ah, yang benar saja!"

Mereka kemudian tertawa bersama.

Pada akhirnya Akira tak keberatan. Namun, dia tidak melakukannya sekadar untuk membalas budi.

Akira melakukannyauntuk mencairkan rasa sepi yang tersirat di manik delima itu.

Eternal Gift [END]Where stories live. Discover now