I. Kisah Dongeng

112 12 4
                                    

Kalau diingat-ingat, barangkali hari ini merupakan hari paling sial yang pernah Akira alami tahun ini.

Betapa tidak. Mulanya ia memilih jalan pintas, tetapi entah mengapa jalan yang ia lalui lebih panjang dari jalan yang biasa ia lewati kala pulang. Keadaan langit pula menjebaknya; awan-awan gelap bergumul di langit petang, siap memuntahkan hujaman pedih dari derasnya hujan kapan saja.

Akira bahkan tidak memiliki pilihan selain memasuki kawasan puri yang tak terkunci gerbang berikut pintunya. Tanpa gentar ia mengelilingi seisi puri yang tanpa ia sangka begitu terawat meski beberapa sudutnya serta beberapa kaca dan keramik tampak berdebu.

Di luar mulai gelap ketika Akira telah mencapai puncak. Namun, jangan salah kira bahwa ia tergoda mencari harta yang bisa dicuri di sini. Justru tanpa mengeluhkan lelah ia tak putus asa mengeluarkan suara seperti, "Permisi, apakah ada orang?" yang kadangkala ia lanjutkan dengan, "Saya ingin menumpang semalam jika diizinkan, tetapi saya tidak melihat seorang pun yang hadir menyambut saya jadi ... di sinilah saya."

Begitu. Dia tetap menyusuri semua tempat yang tak terkunci bersama lilin meja yang ia nyalakan ketika gelap mulai mendominasi.

Hingga pada akhirnya ia nyaris menginjakkan kaki di kamar terakhir, utuh dari jendela di dekat pintu kamar, Akira saksikan matahari mulai pelan-pelan terbenam nan jauh di kawasan pegunungan yang masih tampak cerah langitnya. Namun, perhatiannya cepat teralihkan kepada hal lain tepat ia membuka pintu kamar persis di hadapan.

Manik senada safir miliknya tak hanya mencerminkan cahaya api dari lilin, tetapi kini pula sesosok wanita yang terbaring nyaman persis di atas ranjang; tertidur pulas di sana. Sejenak Akira memandangnya penuh iba akibat kulit si wanita yang pucat. Akan tetapi ... justru hal-hal lain yang dimiliki si wanita membuatnya takjub.

Utuh matanya terpejam menampilkan bulu mata yang lentik. Pipinya agak cekung lagi sedikit tirus, memiliki hidung mungil dengan bibir tipis. Akira tidak melupakan tahi lalat yang bertengger manis di kiri bawah bibir, meski begitu cepat rambut mawar keemasan milik si wanita yang tergerai mengalihkan perhatiannya. Terakhir tubuh yang molek terbungkus gaun yang mewah segelap malam.

Padahal mereka tidak hidup dalam kisah dongeng yang kerap diperdengarkan kepada anak-anak ketika mereka hendak tidur, tetapi posisi mereka persis seperti seorang pangeran yang menemukan Putri Tidur di sebuah puri terkutuk.

Bedanya, Akira bukanlah pangeran. Pun, wanita ini bukanlah putri. Yah, putri mana pula yang mengenakan gaun gelap seperti hendak berkabung ketika ia tidur?

Ada pula perihal lain yang membedakan mereka dengan pangeran dan putri itu.

Wanita ini tak membutuhkan ciuman untuk dibangunkan.

Persis Akira sampai di dekat tepi ranjang, matanya terbuka. Sungguh ia terpana, benar-benar membeku di tempat akibat tepat mendapati netra semerah darah. Lagi anggun ia menderu napas sekaligus melenguh kala menggeliat singkat.

Segala keindahan yang ia perbuat itu sirna, pula seketika Akira tersentak dalam lamunan kagumnya tepat sepasang rubin tersebut terbelalak sempurna. Tak tanggung-tanggung pula, si wanita memekik. Sayang, alih-alih demikian suaranya yang terdengar dalam lagi serak melontar tanya yang sukses membuat Akira kikuk,

"Siapa kau?!"

Eternal Gift [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang