III. Manusia Pengisap Darah

57 11 5
                                    

Gemuruh meramaikan senyap, terciptalah suasana mencekam. Setidaknya itu bagi Akira yang terus membeku di tempat. Baru saja ia menikmati makan malam—yang entah bagaimana terasa sangat lezat baginya meski semua itu dihidangkan oleh sesosok hantu—sekarang perutnya malah melilit.

Sebenarnya, ketimbang hantu, justru wanita di hadapannya ini merupakan makhluk terburuk yang pernah ia tahu. Ya, ia pernah membaca perihal sosok tersebut di kisah dongeng horor.

Berwajah menawan, tetapi berkulit pucat, juga bertaring tajam yang mampu melukaimu dalam sekali tancap. Tidak hidup, pula tidak mati ....

"Vampir ...."

Sebelum Akira menyelesaikan deskripsi itu dalam kepalanya, lebih dulu ia bersuara gentar menyimpulkan makhluk di hadapannya. Ya, dia benar-benar ingin melewatkan bagian makhluk pengisap darah, tetapi kata-kata itu malah terbayang di dalam batin alih-alih gelengan keras menghapus dikte pikiran.

Jangan-jangan ia memberiku makan agar darahku terasa enak untuknya?! Malah sekarang pikirannya mulai berlumur firasat buruk.

Seakan mampu membaca pikirannya, di tempat duduknya wanita vampir kembali melantunkan kekehan merdu. Sayangnya, Akira menangkapnya sebagai cemooh atas rasa takutnya yang berhasil tersampaikan kepada wanita itu.

"Mengira aku memberimu makan supaya kau terlihat seperti babi ternak yang menggiurkan bagiku, Manusia?" Kirika akhirnya membelah sunyi dengan sempurna.

Geraknya ringan lagi anggun, lantas bangkit dari bangku. Satu gerakan itu saja sudah cukup membuat Akira mengambil langkah mundur. Namun, seolah tidak ia beri ampun rasa takut yang tertimbun di dalam diri si manusia, satu kedipan ia telah muncul persis di hadapannya hingga sukses membuat si manusia menahan napas.

Tak tanggung-tanggung pula, Kirika meraih kedua sisi kepalanya pelan-pelan. Begitu lembut ia menyeka keringat di wajah itu, tetapi tetap saja sulit bagi empunya mengabaikan sensasi dingin dari telapak tangan tersebut.

Akira bergidik ngeri tepat Kirika mulai mendekatkan hidung ke batang lehernya, menderukan napas penuh nafsu.

"Dengan senang hati melakukannya, tentu saja," lanjut Kirika kemudian. "Perjaka muda tanpa diberi makan pun terasa sangat manis dan menggoda darahnya."

Lengkap sudah kebenaran bahwa wanita cantik ini sungguhan seorang vampir!

Sungguhkah ini akan menjadi akhir bagi Akira? Dalam hati ia terus bertanya-tanya dengan mata yang terpejam erat-erat. Berusaha ia memikirkan hal-hal baik yang ia sebelum mati, seperti makan enak atau berteduh di puri tua dan mewah misalnya.

Hanya saja sulit sekali rasanya kalau dipaksa beranggapan kalau itu merupakan peristiwa baik, mengingat ia sudah tahu sosok asli Kirika. Ditambah malah terbayang kakak-kakaknya sedang menunggu ia pulang.

Pastilah mereka khawatir sekali, Akira bisa membayangkan itu dengan iringan degup jantungnya yang kini mampu ia dengar jelas.

Namun, segala pikiran berlebih yang membuat kepalanya pening lekas sirna. Betapa tidak. Deru napas dingin yang menggelitik bahunya menghilang bersama sensasi dingin yang memaksakan pandangannya terpaku kepada sosok mengerikan itu.

Lantas kejanggalan tersebut mengundang matanya untuk terbuka. Telah Akira dapati Kirika yang melangkah mundur bersama senyum samar yang menahan tawa jahil.

"Bercanda," celetuknya dengan nada sedikit kekanakan.

Sekarang Akira terheran-heran dibuatnya. Bagi Kirika, mimiknya terlihat menggelikan. Pun, konyol sekali manusia ini, cemoohnya dalam hati. Sudah terbebas dari sentuhan, dia malah memilih untuk tetap tinggal daripada lari tunggang langgang meninggalkan puri.

Tampak sangat halus langkahnya menuju jendela. Akibat ilusi yang tercipta dari keremangan, Akira sampai mengira kalau ia sedang melayang ke arah sana.

"Manusia tidak memperbarui mitos-mitos yang mereka ciptakan tentang kami agaknya." Sejenak Kirika menunggu gemuruh menerangi pemandangan di luar puri. Puas memandangi sejumlah genangan air di sekitar, ia mengembalikan pandangan kepada lawan bicaranya dan melanjutkan, "Yah, sama sepertimu, dulunya aku juga sama; memercayai bahwa kami sekadar menikmati darah manusia, dan hanya itulah satu-satunya makanan yang dapat membantu kami bertahan hidup."

Akira tetap tampak tegang meski Kirika berusaha luwes. Konon ini mengundang gelak dari dalam dirinya. Sayang, alih-alih demikian, ia bergerak menuju pintu yang tak jauh di samping kanannya. Tidak seperti di kamar, ia justru menyempatkan diri menahan kenop pintu sebelum ia berlalu.

Persisnya, ia bertutur seperti ini, "Tidak ingin mendengarkan cerita yang sebenarnya?"

Untuk apa? Mengapa pula aku harus mendengarkanmu?

Hendaknya Akira melontarkan patah-patahan kata tanya itu, sekonyong-konyong semuanya tercekat di tenggorokan. Dia tidak mengerti ... padahal ia yakin sekali, Kirika tidak menaruh sihir padanya.

Dia sekadar terpaku. Justru ini menaikkan alis Kirika walau sekilas. Syukur-syukur jika Akira tak melihatnya; ialah mimik kecewa atas diri sendiri agaknya merasa tak mampu mencairkan suasana.

Namun, setidaknya ia masih tetap berusaha.

Maka kembalilah berujar dirinya sembari dengan sengaja mempertemukan maniknya dengan netra Akira. Kira-kira begini,

"Atau kau ingin mengambil beberapa barangku dan lari di tengah hujan—oh, tetapi ... aku bisa saja membunuhmu sebelum kau menginjakkan kaki ke halaman utama." Demikian senyum miring ia sunggingkan. "Pilihlah, Manusia."

Nah, kalau begitu, tidak mungkin Akira menolak ajakannya yang pertama, bukan?

Eternal Gift [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora