V. Tengah Malam

27 8 5
                                    

Sulit untuk menutup mata dan terlelap meski kasur yang tertampung oleh ranjang terasa begitu empuk lagi hangat. Dia menemukan kamar itu setelah berkeliling ke sana ke mari dan hanya di situlah tempat peristirahatan yang paling bersih.

Akira memandang langit-langit sembari memutar segala hal yang ada di pikirannya. Ya, tentu saja tak jauh-jauh dari peristiwa yang terjadi mulai dari petang hingga kini. Batinnya juga diliputi banyak sekali perasaan.

Terpukau? Ya, bisa dibilang demikian. Cerita-cerita yang ia dengar masih terngiang di kepalanya hingga ia tak habis pikir akan jiwa heroik di dalam diri si wanita vampir. Yah, betapa tidak. Bahkan sebagai pria pun, Akira tidak yakin ia mampu melindungi keluarga seperti yang dilakukannya.

Merasa beruntung? Mungkin juga begitu. Ini kali pertama dalam seumur hidupnya disambut dengan baik—walau semula ia tahu tampaknya si tuan rumah merasa terpaksa—lalu diberi makan enak, agaknya tak perlu diingatkan lagi.

Risau dan ketakutan?

... Bisa jadi.

Sama sekali belum ada tanda-tanda kepulangan si Nona Vampir—begitulah ia memanggilnya sebab ia lupa menanyakan namanya. Atas masalah ini, barangkali Akira bisa menyalahkan kerisauan mengenai banyak hal.

Dia khawatir untuk Nona Vampir, walau sesungguhnya ia mengerti bahwa itu tak perlu. Dia memang seorang wanita, tetapi dia pasti akan terbahak jika mengetahui hal ini. Betapa tidak. Ialah sebuah penghinaan bagi seorang vampir terkuat di sini, dikhawatirkan oleh seorang manusia padahal ia sekadar keluar untuk mencari camilan.

Lalu ... Akira sangat malu mengakui yang satu ini.

Akira ternyata tak begitu terbiasa dengan aura di dalam puri. Bukan sebab terlampau mencekam, tetapi justru karena tempat tinggal ini terlalu luas dan kemewahan yang tersimpan di dalamnya. Entahlah, baginya eksistensi mereka begitu menyinggung jiwa anak gembalanya.

Apa jiwa miskin benar-benar mendarah daging dalam diriku? Bahkan hati Akira bertanya-tanya mengenai hal itu. Aneh sekali, padahal semula ia benar-benar kagum terhadap semua barang-barang antik tersebut.

Terakhir, ia merasa gerah sekali.

Bukan karena kamar yang ditempatinya tergolong sempit. Sebaliknya, ruangan ini terhitung lapang. Akira mungkin tidak mahir berspekulasi luas ruangan, tetapi ia dapat meyakinkan dirinya luas kamar ini sama luasnya dengan seperempat ladang gandum yang dipunyai ayahnya. Atau mungkin lebih dari itu.

Sudah berkali-kali ia mengeluarkan tangan atau kaki dari selimut, juga menyibaknya, lalu berganti-ganti posisi seperti cacing kepanasan, tetap saja kegerahan itu enggan hilang.

Pada akhirnya ia beranjak untuk membuka jendela.

Sempat ia membiarkan angin berbisik kepadanya selagi bertahan di depan ambang jendela, meski ia tidak mengerti apa yang tengah mereka sampaikan. Netranya mengedar kepada pemandangan yang tertelan gelap.

Lolongan serigala yang saling menyahut bagai pekikan kemerdekaan setelah terbebas dari hujan segera menambah kesan mencekam di sekitar sana. Benar apa dugaannya, akan lebih baik dia menunggu di sini ketimbang menyusul Nona Vampir dan mengambil risiko diterkam kawanan hewan buas itu.

Cukup lama Akira menikmati embusan angin. Berpuas hatilah ia hingga berakhir memutuskan menutup jendela, tetapi perhatiannya kemudian tertarik akan suara lengkingan dari mulut hutan. Tangannya tertahan, lekas ia menerawang ke dalam sana.

Dia disentakkan oleh seekor serigala yang terguling-guling seolah hutan benar-benar memuntahkannya. Betapa malang ia, terkaing-kaing kesakitan. Agaknya satu atau dua kaki dari binatang itu patah sehingga sulit baginya bangkit.

Muncul sosok Nona Vampir tak lama, persis menghampiri serigala dengan begitu tenangnya. Sontak kedatangannya menarik Akira untuk cepat-cepat bersembunyi. Lekaslah ia mengerti bahwa Nona Vampir yang melemparkan serigala itu ke pekarangannya sendiri. Tak ingin melewatkan satu pun aksi dari wanita itu, ia masih mencoba mengintip dari sisi jendela.

Sorot matanya jelas menyiratkan nafsu. Sungguh, Akira kurang yakin apakah nafsu itu bertuju ke arah makan, atau ....

Nafsu ingin menyiksa.

Bulu kuduk Akira meremang kala sebersit pikiran itu melintas di kepalanya. Namun, tetap ia bersikeras untuk terus menyaksikannya.

Nona Vampir kian mempersempit jarak dengan serigala. Sementara di sisi lain, binatang buas yang malang tersebut lantas menyalak kepadanya. Jelas ia masih ingin berjuang meski tenaganya sudah terkuras.

Sebisanya ia berdiri tegak, memasang kuda-kuda dan bersiap menerkam si wanita. Melompatlah serigala itu untuk memberikan serangan tepat musuhnya berhenti menjejak langkah, tetapi seketika ia malah membeku dan tersungkur mencium lumpur.

Padahal dia sama sekali tidak melakukan apa pun! Persis mata Akira membelalak bulat-bulat ketika batinnya memekik. Beruntungnya ia tak mengeluarkan suara mencurigakan yang mampu mengalihkan fokus wanita vampir itu.

Telah Akira saksikan kembali serigala menyalak lagi, dan saat itu pula suaranya terputus tepat Nona Vampir mengangkat telunjuk di hadapan moncongnya. Tampak ia tersenyum kecil sembari membungkuk dengan manis.

Akira tidak bisa melihat apa yang tengah ia katakan kepada serigala itu, tetapi entah mengapa ia yakin sekali bahwa si wanita mengujarkan kata-kata seperti, "Anjing baik." Atau ... atau semacamnya dengan nada lembut yang bersirat sarkastis.

Demikianlah Nona Vampir berjongkok, meraih tengkuk yang kemudian ia seret empunya ke dalam rengkuhan. Seolah sama sekali ia tak hirau kepada lumpur yang merembes ke gaunnya, dia menertawakan aura ketakutan dari serigala. Sekadarnya, ia berbisik, "Sepertinya kita bisa menyudahi permainan kejar-kejarannya. Tidakkah kau berpikir demikian?"

Akira tidak mendengar itu, tentu saja, sebab jarak mereka jauh sekali. Dari sudut pandangnya, peristiwa yang terpampang dari sana sungguh meluluhkan hati, konon lagi ketika mendapati Nona Vampir menimang serigala dengan seringai dan manik delimanya yang menyala-nyala.

Seringai ... dan manik yang menyala-nyala?

Napas Akira tertahan kala menyadarinya. Ingin sekali ia berpaling sekarang juga, tetapi rasa penasarannya terus mendorong dirinya agar tetap bertahan menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya, meski ia tahu apa yang akan terjadi.

Nona Vampir mengigit bagian tengkuk, mengisap darah serigala sampai ia puas. Sesekali ia mengedik bagai meneguk banyak sekali cairan yang masuk ke mulutnya.

Tak lagi sanggup menontoni pemandangan itu lebih lanjut, segeralah Akira menarik diri. Dia terlalu gugup untuk bergerak, pula kini ia hanya bisa berdoa dalam hati Nona Vampir tidak melihat jendela kamarnya yang terbuka.

Butuh waktu untuk menenangkan diri, juga memberanikan diri untuk kembali mengintip keluar. Akira tetap sanggup melakukannya, tetapi ....

Saat ekor matanya tertuju kembali kepada tempat itu, tak lagi ia temukan sosok Nona Vampir di sana.

Eternal Gift [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang