VI. Sakit

28 7 9
                                    

Seingatnya, Akira berlari meninggalkan kamar ... meski anehnya ia memutuskan untuk menetap di dalam puri.

Atau barangkali rute puri ini terlalu memusingkan? Sebab kini kepalanya terasa sakit sekali seperti baru diguncang-guncang sampai ia enggan sekali membuka mata.

Membuka mata? Bangun secara harfiah?

... Sejak kapan pula ia terlelap?

Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk memusingkannya. Dia bahkan terlalu lemas kalau saja ia disuruh mengedarkan pandangan sekeliling. Namun, dari sini, ia bisa mendengarkan dengan jelas suara koak-koak burung gagak yang tengah protes diusir matahari.

"Padahal aku sudah menyediakan kamar yang nyaman, manusia ini malah memilih lantai di dekat perapian yang padam untuk beristirahat." Tak lama pula ia dengar suara wanita dengan suara sepatu bot yang mengetuk-ngetuk jelas menghampirinya.

Suara-suara itu bagaikan sengatan listrik bagi Akira. Dia bangun dengan terkesiap, lantas telah mendapati wajah Kirika yang sukses membuatnya nyaris menjerit.

"Kau pucat sekali ... seperti baru melihat hantu." Sekali lagi Kirika memecah hening, lalu berkedip mendengar kata-katanya sendiri. "Yah, aku memang setengah hantu. Apa mungkin ini karena kau baru menyadari bahwa aku terlalu mengerikan untukmu?"

Memang?

Batin Akira tidak bisa berbohong. Semula dalam bayangannya, Kirika akan muncul dengan gaun berlumpur bersama noda darah kering di sekitar bibir hingga dada, tetapi tampaknya ia sudah membersihkan diri dan mengganti gaun. Tampaknya dia masih menerapkan adab berpenampilan di hadapan tamu.

Atau ... tidak memiliki niat untuk menakut-nakuti Akira sama sekali.

Gagasan itu pula lekas membuatnya tersadar bahwa ketakutan dalam dirinyalah yang membawanya kemari.

"Hei, apa yang terjadi padamu?" tanya Kirika yang tanpa disangka sukses menyentaknya lagi. Nada berguraunya ia telan bulat-bulat kala mendapati Akira yang menutup mata alih-alih membalas semua perkataannya. Tentu ia merasakan ada hal yang tidak beres.

Maka Kirika memangku kepalanya. Alisnya menaik kala merasakan suhu tubuh si manusia terasa jauh berbeda dibanding semalam.

Apa aku melewatkan kebangkitan vampir-vampir baru? Betapa lemas pikirnya kala menggumamkan perkataan itu dalam batin.

Begitu tergesa-gesa ia membuka kancing kerah baju Akira kemudian, lalu anggota gerak, serta setiap sisi leher. Tidak ia temukan dua titik yang menghinggapi bagian-bagian tubuh si manusia, maka ia bisa embuskan napas lega kala kemudian.

Tangan berjemari lentiknya yang dingin barulah menempel utuh di pipi Akira. Dia tidak melihat tanda-tanda bahwa si manusia kembali membuka mata, malah sepasang kelopaknya tampak dipejam erat-erat secara paksa. Kirika mengamati dada yang mengembang dan mengempis berat, sesekali ia pula mengedik akibat mati-matian menahan dingin.

Dia sakit.

"Manusia ... kupikir kau harus menunda kepulanganmu."

Akira mendengar itu. Karenanya, ia cepat-cepat mengangkat tangan untuk mencengkeram lengan Kirika untuk membalas, "Saya tidak apa-apa ... setelah ini saya pulang."

"Dengan kondisi yang bahkan berbicara pun seperti orang yang tengah mengigau?" sergah Kirika. "Jangan bercanda. Bukannya sampai rumah, kau malah menjadi sasaran paling empuk yang pernah dinikmati kawanan serigala."

"... Tetapi ...."

... Tetapi Anda sendiri bahkan memakan mereka.

Akira tidak meneruskan kata-katanya. Kalau sampai itu terjadi, Kirika pasti segera tahu bahwa Akira mengintipinya tadi malam dan mengerti apa yang telah membuatnya begini. Pun, beruntung sekali Kirika tak menunggunya pula.

Namun, sejurus kemudian, betapa terkejut ia kala mendapati dirinya melayang. Ah, tetapi rasanya pernyataan itu kurang tepat untuk menggambarkan ia sedang digendong.

Digendong oleh seorang wanita? Yang benar saja! Jeritan batin Akira bahkan membelalakkan maniknya begitu sempurna.

"Jangan protes! Aku harus cepat-cepat membawamu ke tempat tanpa jendela karena sebentar lagi hari akan terang." Kirika membentaknya lebih dulu tepat ia mendelik. "Hanya di sanalah aku bisa merawatmu."

Langkah yang Kirika ambil cepat sekali, sangat ringan sampai tak bersuara. Namun, alih-alih menikmati pengantaran ini, Akira ingin sekali protes seakan tak ingin mendengarkan perkataannya. Namun, kata-katanya selalu terputus oleh suara sentakan tirai jendela yang tergeser atau pintu-pintu yang terbanting menutup dengan sendirinya.

Kepalanya seketika bagai ditusuk-tusuk akibat semua sihir ini. Meski demikian, tetap Akira menyanggupi diri untuk berdebat bersama Kirika sepanjang lorong, serta memberontak-berontak dalam gendongan.

"Ini memalukan! Ini memalukan! Turunkan saya!"

"Berisik sekali! Kau mau agar aku mematahkan kedua rahangmu supaya diam?!"

"Tidak! Tolong ampuni saya, saya hanya ingin turun—"

Kalimatnya terputus. Dia merasa terbang, lantas terbanting singkat ke ranjang berkasur empuk. Beruntung si Nona Vampir tidak mencampakkannya sekuat tenaga. Namun, ketika mendengar bunyi renyah dari patahnya kayu ranjang kontan Akira membatu, lantas melempar tatapan ngeri kepada Nona Vampir.

"Tunggulah di sini, Manusia. Aku akan memasakkan sup—"

"S-saya alergi serigala!" tukas Akira.

Kontan perkataannya membuat Kirika berhenti merapikan selimut yang baru ia tarik untuk menutupi tubuh si manusia.

"Aku tidak memasakkanmu serigala, Bocah Bodoh! Aku hanya ingin memasak sup sayur!"

"Tetapi—"

"Tidak ada kata tetapi!"—Akira benar-benar terkesiap saat telunjuk Kirika tertempel membungkam bibirnya meski selanjutnya ia mendapati Kirika bertutur lebih lembut—"Diam di sini."

Perdebatan utuh selesai ketika Kirika meninggalkannya. Ingin sekali Akira mengekor, seribu sayang ia masuk terlalu lemah untuk itu.

Agaknya Kirika memang ingin memanfaatkan buku resep bibinya yang ia curi catat setiap waktu ia menyelinap ke rumahnya dulu kala. Lalu ... sama sekali tiada terasa tipu muslihat yang tengah wanita itu siasati.

Dia sangat bersungguh-sungguh untuk merawat Akira, bahkan kelihatannya ia akan merelakan tidak tidur selama satu hari hanya untuk menjaganya.

Seketika Akira gerah akan perasaan bersalah yang seolah ikut bersemayam di balik selimutnya.

Beberapa menit berselang, Kirika kembali dengan sup sayur dengan uap-uap hangat mengepul-ngepul seakan memanggil siapa pun untuk cepat melahapnya. Aromanya pun begitu menggugah sampai Akira membuka mata.

Namun, di kala mengecap lidah, ia tak berselera. Dia bahkan memalingkan wajah di kala sup itu sengaja Kirika dekatkan di depan mukanya.

"S-saya tidak berselera ...."

"Benar-benar manusia banyak tingkah. Padahal kemarin malam kau menasihatiku supaya makan ketika sakit agar mendapat tenaga untuk melawannya." Seolah tak acuh dengan tingkah Akira, dia mulai menyendokkan sesuap sup yang dilengkapi potongan wortel dan kentang. "Ingat kata nenekmu itu dan cepatlah makan."

Mau tak mau Akira menurut, tetapi hei, agaknya ia akan menarik kata-katanya bahwa semula ia menyesal sebab telah memuntahkan nasihat neneknya tadi malam.

Kentang dan wortel selalu menjadi kombinasi yang pas untuk sup sayur menurutnya, dan Kirika memasaknya hingga matang dan empuk sekali. Rasa rempah-rempah menguasai mulut Akira, sampai-sampai ia mempertahan kuahnya di dalam mulut sampai kehangatannya hilang.

Tanpa izin, ia segera merebut mangkok sup dari tangan Kirika. Si wanita tampaknya tak keberatan, malah menyodorkan sendoknya agar Akira melanjutkan makan sendiri.

Manik delima itu terus memperhatikannya dengan tangan yang memangku dagu. Tersirat pula perasaan bangga pada senyum miringnya sementara batin kecil sedang berpendapat lain.

Manusia ini ternyata kekanakan sekali.

Eternal Gift [END]Where stories live. Discover now