Nada tak membiarkan wanita setengah baya itu yang menghampirinya. Dengan sigap, ia yang melangkah ke sana. Mengabaikan rasa segan yang tadi menerpa dada, Nada menyalami nenek dari kedua anaknya dengan hormat. "Ibu apa kabar?"

"Ibu?" Yashinta melotot tak terima.

"Mami," Nada buru-buru meralatnya. "Mami apa kabar?" ia mengulangi pertanyaan itu segera. Tak segera menjawab, Yashinta memeluknya. Buat Nada segera diterpa haru yang luar biasa. "Mami baik-baik aja 'kan?" ia bertanya pelan. Mengelus dengan sayang bahu yang bergetar itu dalam pelukannya. "Karena aku juga baik-baik aja, Mi. Aku harap, Mami juga baik-baik aja, ya?"

Yashinta melepaskan pelukan. Ia hapus jejak air mata di wajahnya. Senyum terangkai pedih di bibirnya. Namun tatap yang tersemat untuk sang mantan menantu adalah hal yang begitu istimewa. "Mami selalu ngerasa nggak baik-baik aja kalau ingat kamu," ia raih tangan Nada dan menepuk-nepuk punggung tangan wanita itu. "Tapi Mami senang denger kamu baik-baik aja, Nad," ujarnya sungguh-sungguh.

Nada tahu, hal itu bukanlah sekadar basa-basi. Ia cukup terharu, sungguh. Hingga kemudian, ia harus menghadapi kenyataan bahwa sapaan hormatnya pun harus berlanjut. Tak bisa hanya menyalami satu orang saja, sementara meja itu terisi tiga orang. Jadi, mau tak mau Nada pun harus menyalami yang lain lagi. Meski sedikit gentar ketika menghadapi ayah Aksa, Nada berusaha terlihat tenang. "Pak?" mulainya dengan nada kikuk. "Apa kabar, Pak?"

Sejak dulu, Nada tidak memanggil pria itu dengan sebutan "Papi" seperti sebagaimana Nada memanggil ibunya Aksa. Selain rasa sungkan yang begitu besar, pria setengah baya itu juga tidak pernah memintanya mengoreksi panggilan yang Nada sematkan untuknya.

"Bapak sehat?" ia terus bertanya. Nada ragu ketika akan menyalami. Ia khawatir orang hebat seperti Amrullah akan menampik tangannya. Tetapi, ia memilih melakukan apa yang menurutnya benar. Ia membungkukkan sedikit punggungnya, karena Amrullah tidak ikut berdiri seperti mami. Sambil mengulurkan tangan, Nada menundukkan kepala. Ia akan maklum bila tangannya menggantung lama di udara. Namun, siapa menyangka, kekhawatiran Nada tak terbukti. Karena ternyata Amrullah memberikan tangannya juga. Membuat Nada segera membawa punggung tangan itu untuk dibawa ke keningnya.

Namun, tak ada kata-kata yang terucap dari mantan anggota dewan tersebut.

Bagi Nada, hal itu tak masalah.

Ia sudah merasa cukup dengan responnya.

Kemudian, arah pandangan Nada pun berubah. Sosok laki-laki yang jauh lebih mudah darinya, tampak berdecak sebentar. Sebelum kemudian berdiri dan menghampirinya.

"Lama nggak ketemu, Mbak," ujar Alvin berbasa-basi. Ia hanya mengulurkan tangan seperti salaman biasa saja. "Gue nggak nyangka, Mas Aksa bakal bawa lo ke sini," ia mengerling kakak laki-lakinya dengan pendar sinis. "Kalian mau rujuk?" tanyanya to the point saja.

"Gue nggak ada kewajiban buat jawab pertanyaan lo," sambar Aksa sembari menarik lengan Nada ke dekatnya. "Yang penting gue datang 'kan?" kini ia justru mengedarkan seringainya. "Seharusnya, mereka udah puas dong dengan kedatangan gue."

"Lo tahu betul, apa yang dimaksud mereka, Mas," Alvin berusaha bersikap tenang. Banyak kamera di tempat ini. Walau belum tentu semua mengarah padanya. Namun tetap saja, beberapa kamera itu, ada yang menjadikannya fokus utama. Setelah kegagalan film terakhirnya akibat lawan mainnya yang terlibat skandal dengan suami orang, mendadak seluruh pemain pun kena imbas. Dan hal itu tentu saja berdampak juga padanya. Gimmick-gimmick selama proses syuting berlangsung, diarahkan kepada mereka berdua. Sekarang, hal itu jadi boomerang tersendiri baginya. "Mereka butuh lo di sini sebagai sesuatu yang bisa dipamerin. Lo yang mau dipamerin, Mas. Bukan lo yang harus pamer."

Aksa tertawa santai. Ia masih enggan duduk, tangannya pun tetap memegang lengan Nada. "Gue buta script," balas Aksa kalem. "Kontrak kerja paksa gue sama mereka udah selesai. Jadi, gue nggak akan sudi dengerin arahan mereka lagi," ujarnya tenang.

Aksara SenadaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu