Chapter 35 Ciuman Kemenangan

Start from the beginning
                                    

"Ra-Raka, ak-aku ... aku gak mungkin melawan Nio, dia itu orang paling baik di sini. Nanti kalau ada yang terluka di antara kami—"

"Resiko dari pertandingan bukan, aku tahu kalau kau sebenarnya ingin memenangkan turnamen ini. Tapi demi sahabat, kau menyerah. Tanpa kau berjuang ke titik ini, aku rasa kau adalah pemenang yang sesungguhnya," jelas Raka.

"Ra-Raka, ak-aku ... aku ...."

"Jhon, lanjut dan aku bantu doa dari ruangan ini. Sekarang kalian bisa lanjutkan, karena pemenangnya akan diumumkan segera. Antonio dan Jhon, berjuang keras agar kalian busa jadi yang terbaik!" Raka memberikan aku semangat.

Kami pun mengangguk, Jhon yang beranjak pergi tanpa sepatah kata pun diikuti oleh para komandan. Semua yang ada di dalam ruangan pun kembali ke arena pertandingan, di ruangan hanya ada Rudi dan Raka saja sebagai peserta.

Dengan menguatkan tekad, aku pasti akan mengalahkan Jhon yang saat ini berjalan di depan. Di sepanjang jalan, dia hanya memperbaiki tangannya dan membalutnya dengan kain putih.

Setibanya di dalam ruangan, kami saling bersitatap dan ini adalah penentu dari pertandingan final. Aku bersemangat, karena lawanku hanya Jhon saja. Titik dari kekalahan dia hanyalah stamina, karena yang aku tahu kalau dia akan tumbang kalau diserang bagian dada.

"Apakah kalian sudah siap?" tanya Komandan Satria.

"Siap, Komandan!" jawab kami serempak.

"Baiklah. Satu ... dua ... tiga ... mulai!" teriaknya.

Kami mengambil posisi dan aku memasang kuda-kuda. Jhon memerhatikan dari depan, dia tidak bergerak sama sekali. Entah apa yang dilakukan, karena sejak awal pertandingan selalu begitu.

Dengan berlari kencang, aku pun melayangkan kaki kanan di samping perutnya. Namun, Jhon menghindar dan kaki kiri ini mendarat di dagunya membuat Jhon bergeser jauh.

Brug!

"Hem! Aku tahu kalau kau tidak bisa menghindar lagi kalau sudah jarak dekat, Jhon," ucapku pelan.

"Ayo ... Antonio ... kau pasti bisa," teriak satu ruangan.

Rasa semangat itu pun datang, dan puncak dari emosi menyergap hingga aku kembali berlari, lalu melayangkan kaki kanan ke dagu Jhon lagi.

Brug!

Dia pun terjatuh di lantai, kemudian darah ke luar dari mulut dan bibirnya. "Uhuk! Kepalaku!" pekik Jhon.

Kali ini dia bangun lagi, aku pun membulatkan kedua mata. "K-kau, kau masih bisa bangkit?" tanyaku seraya kembali berlari dan melayangkan pukulan ke pundak belakangnya.

Brug!

"Jhon ...," teriak satu ruangan yang membuat lawan terkapar.

Tanpa ada perlawanan, aku pun bergerak mundur dan menatap satu ruangan berteriak menyemangati aku.

"Sudahlah, kalau kau ingin menyerah, aku akan persilakan!" jelasku tegas.

Seraya memutar badan, aku berjalan dua langkah. "Ja-jangan lari." Tiba-tiba suara Jhon kembali lagi.

Karena dia tidak mau menyerah, aku pun kembali mematahkan kaki kanannya dan membuat dia tidak lagi berdiri sempurna.

"Tidak ... kakiku ...!" teriak Jhon.

"Sudahlah, Jhon, kau harus menyerah. Gak mungkin kau bisa menang melawan aku," jawabku.

"Ayo Nio, habisi agar kau menang!" teriak satu ruangan.

Mendengar ucapan itu, aku pun mengangguk dan langsung berlari. Jhon berdiri lagi dan menunggu serangan terakhir dari kepalan tanganku mengarah ke wajahnya.

"Yeah ....!"

Brug!

Akan tetapi, kali ini Jhon tidak membiarkan wajahnya kena pukulan tanganku. Dia memegang kepalan tangan ini tanpa bergeser sedikit pun, aku tercengang karena dia tiba-tiba kuat seperti itu.

Dengan sangat lambat, dia pun memutar tanganku hingga tulang ini terasa hendak patah di bagian tangan. Aku meringis kesakitan, dan tidak tahu kalau rasanya akan seperti ini.

"J-Jhon, sakit banget. Tolong ... sakit banget," teriakku seraya bersimpuh.

Menggunakan tangan kiri, Jhon memukul tangan yang sudah memutar ke belakang itu. Rasanya sampai ke ulu jantung dan ini adalah luka tersakit yang pernah aku rasakan.

Seketika dia membawaku untuk memutar, dan dia memberikan totok-an di bagian leher dan pundak kiriku. Seperti aliran darah ini berhenti dan jantung tak mampu berdetak lagi. Dari arah belakang, Jhon pun melayangkan kaki kanannya dan membuat aku melayang jauh dari posisi semula.

Brug!

Satu ruangan sunyi, tatapanku pun hitam dan tidak ada yang bisa aku lihat. Beberapa menit setelahnya, suara tapak kaki seseorang pun datang ketika aku telentang.

'Apakah Jhon akan membunuh aku hari ini?' tanyaku dalam hati.

"Penemangnya adalah, Jhonson Ericson Macen Cullen ...," teriak seseorang terdengar sangat keras.

Setelah beberapa menit menutup mata, barulah aku dapat melihat isi aula dalam samar. Di sana ada Jhon yang berdiri, lalu dia menyodorkan tangan kanannya di hadapanku.

Dengan meraihnya, aku pun berdiri dengan sisa tenaga dan langsung dibantu untuk berjalan menuju ke luar dari ruangan.

"Jhon ... apakah kau tidak mau menerima piala kemenangan ini?" tanya Komandan Satria.

"Tidak perlu! Saya lebih menilih sahabat saya daripada kemenangan," jawab Jhon.

Seketika kedua bola mataku berkaca-kaca, karena Jhon yang masih mengeluarkan darah di bagian hidung merangkulku dan membawa diri ini untuk menuju ruangan perawatan.

Dia adalah orang yang berjiwa besar, aku yang selama ini terlalu meremehkannya pun terbungkam kalau dia jauh di atasku. Sorak di aula memanggil Jhon, karena dia juara hari ini.

"Jhon, kenapa kau tidak merayakan kemenanganmu?" tanyaku seraya berjalan.

"Dengan melihat sahabat aku baik-baik saja adalah kemenangan yanb sesungguhnya, Nio," jawabnya.

"Termasuk kau, yang sudah dari lama memenangkan hati aku!" sambarku seketika.

Jhon menoleh, lalu dia mengedarkan senyum manis. Kemudian Jhon mencium pipiku dengan sangat lembut, aku tercengang dan menatapnya tanpa kata.

"Tetapi kau lawan yang hebat, buktinya bisa buat aku jatuh berkali-kali," katanya memuji.

Bersambung ...

Seleksi Calon BintaraWhere stories live. Discover now