P R O L O G

26 5 0
                                    

"Tolong obat merah, alkohol dan perban." Elora meletakkan beberapa lembar uang pada meja kasir. Apoteker tersebut tersenyum lalu melenggang pergi untuk mengambil benda yang baru saja disebutkan oleh Elora.

"Ada lagi?" Apoteker tersebut bertanya sembari membungkusnya ke dalam kantong keresek hitam.

"Tidak."

"Baik, ini kembalian anda." Apoteker itu menyerahkan kantong kresek pada Elora bersamaan dengan beberapa lembar uang. Elora menerimanya, lantas segera beranjak pergi dari apotek tersebut.

Ia berhenti pada halte bus, duduk pada kursi kosong disana. Elora membuka ranselnya, ia memasukkan kantong plastik tersebut. Sekaligus mengambil ponselnya yang terselip di salah satu kantung pada ranselnya. Ia menyalakannya hingga tertera pop up pesan pada layarnya. Ia meneguk salivanya begitu membaca "14 missed call from Bro Ankaa".

Baru saja Elora menekan pop up pesan tersebut, sebuah panggilan masuk mengalihkan layar ponselnya. Nama "Haikal" tertera pada layarnya. Elora menggeser tombol hijau disana.

"Ra, kamu dimana?"

"Kenapa?"

"Kamu ini, ditanya malah balas bertanya."

"..."

"Katakan, dimana lokasimu sekarang. Aku akan menjemputmu."

"Bukankah kamu ada jadwal kerja?"

"Aku berhenti untuk saat ini."

"Apa? Kenapa?"

"Karena kamu. Sudahlah, kirimkan lokasinya sekarang. kamu tahu? Ankaa begitu mengkhawatirkanmu."

Lawan bicara Elora yang bernama Haikal itu mengakhiri panggilan secara sepihak. Elora kemudian membagikan lokasi. Haikal menanggapinya melalui pesan, "Jangan kemana-mana dan tunggu disana."

5 menit berlalu, Elora dapat melihat cahaya lampu mobil yang perlahan semakin pekat menuju kearahnya. Elora tahu, bahwa itu adalah salah satu dari mobil Haikal. Dan benar saja, begitu mobil hitam tersebut berhenti dihadapan Elora, Haikal bergegas keluar dari mobilnya. Pemuda itu berjalan cepat kearah Elora. Elora tersenyum kecil, ia berdiri, dan Haikal memeluknya secara tiba-tiba, hingga membuatnya kembali terduduk. "Syukurlah...," lirih Haikal.

"Hai-kal?" Elora menepuk punggung Haikal. Pasalnya pemuda itu memeluknya begitu erat hingga membuatnya sedikit kesulitan bernafas. Detik setelahnya Haikal melepas pelukannya, ia menarik Elora, membukakan pintu mobil untuknya. Mempersilahkan agar Elora masuk. Elora tersenyum simpul, "Terima kasih," ucapnya.

Haikal pergi pada kursi kemudi. Pemuda itu cepat-cepat mengemudikan mobilnya.

"Darimana kamu, Ra? Kamu membuat aku dan Ankaa begitu khawatir. Setidaknya kirim pesan pada kakakmu, agar ia tidak berpikir hal macam-macam tentangmu. Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?"

Elora merespon Haikal dengan senyum tipisnya.

"Dasar, bukannya menjawab malah tersenyum manis." Haikal mengulurkan tangannya, mengacak poni Elora. Gadis itu tertawa geli.

"Sudah makan?"

"Aku sudah sarapan," timpal Elora yang reflek membuat Haikal menatapnya.

"Ra, jangan bilang kamu belum makan apa-apa setelah sarapan tadi."

"Hehe."

"Astaga, bagaimana jika asam lambung mu naik? Atau parahnya bagaimana jika kamu pingsan? Siapa yang akan merawatmu?"

"Kan ada petugas UKS sama kakak PMR," jawab Elora enteng. Haikal menghela nafas mendengarnya.

"Kenapa nggak makan siang Ra?" Haikal menghentikan laju mobilnya, rambu lalulintas sedang berwarna merah. Ia kemudian menatap Elora intens. Gadis itu terlihat resah, entah karena pertanyaan Haikal ataukah karena tatapan Lelaki tersebut kepada dirinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 08, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BICTHILANTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang