08. Cinta Sepihak

Start from the beginning
                                    

"Tidak apa-apa, Kang."

Memori melayang pada masa di mana Hasbi mendatangi warung seblak yang berlokasi di samping asrama putri.

Mereka terdiam sejenak, saling membuang pandangan ke arah lain. Itu adalah Sabtu sore, di mana Mbak Liani dan Hasbi, yang baru beberapa hari lalu memutuskan untuk melepaskan satu sama lain, berada di sana. Dengan langkah gontai, Halwa menghampiri mereka dan duduk di samping Mbak Liani.

"Mbak, buku kaligrafi ini milik siapa?" tanya Halwa dengan suara berbisik.

"Milik Kang Hasbi, silakan pakai," jawabnya.

Hasbi menatap lurus ke depan, di mana sinar matahari yang sejak tadi bersembunyi, kini perlahan mulai menampakkan dirinya kembali dengan malu-malu.

"Maaf, ya, Wa. Aku tidak bisa. Aku pamit, assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," ucap Halwa dengan suara parau.

Halwa menggeleng pelan, matanya menatap kepergian Hasbi. Ia berharap Hasbi peka akan perasaan yang sejak lama ia tanam sendirian. Namun, kenyataannya, semesta menyuruhnya menerima dan mengiyakan semua pernyataan yang ditakdirkan hari ini hanya sebagai teman biasa.

•••

"Bukan begitu cara membuatnya, Wa."

"Lalu bagaimana? Saya tidak bisa membuat seperti ini."

"Ya sudah, sini aku bantu! Tanganmu diam saja, jangan banyak bergerak."

Itu adalah Selasa siang, setelah tiga tahun lamanya menjalani pertemanan dengan Hasbi. Halwa memiliki hobi baru yang sama dengan Hasbi, yaitu membuat karya kaligrafi.

Kaligrafi adalah salah satu alasan untuk bisa dekat dengannya. Berharap semesta memberi kesempatan untuk dua insan terpisah ini saling jatuh hati dan saling memiliki. Meski semesta telah menyadarkannya untuk menjauh, namun takdir malah semakin menumbuhkan rasa cinta ini untuk terus memperjuangkannya tanpa lelah.

"Terima kasih, Kang, sudah mengajari aku membuat kaligrafi. Aku harus pulang sekarang, ya," pamit Halwa, ucapan itu dianggukinya dengan antusias.

Langkah kaki membawanya keluar dari ruang pembuatan kaligrafi. Saat dalam perjalanan, ia teringat perkataan Ning Khair, yang masih bergema dalam ingatannya meski ia telah berusaha ratusan kali untuk mengusirnya.

"Kang Hasbi itu orangnya dingin, cuek, berbeda dari pria lain. Sejauh yang aku tahu, dia tidak pernah mempermainkan hati perempuan."

Halwa duduk di kursi di samping trotoar jalan, salah satu pemandangan yang paling ia sukai di sana, sambil mengatur napas yang masih terengah-engah.

Napasnya masih belum stabil. Halwa merasa kesal, karena semakin hari sosok Hasbi semakin leluasa bermain dalam pikirannya, seakan rasa cinta ini tidak akan pernah pudar meski pada kenyataannya pria itu tidak mencintainya balik.

"Semoga tahun ini, kamu lebih peka akan perasaanku, Kang. Sudah bertahun-tahun lamanya aku kagum," gumam Halwa.

Halwa merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, untuk memberi kabar kepada pria yang disebut Hasbi.

[Assalammualaikum, ini aku Halwa. Buku kaligrafinya masih bersamaku, Kang.] Satu pesan terkirim ke nomor WhatsApp Hasbi.

[Waalaikumussalam. Pakai saja, Wa, lagipula sudah lama jarang menulis kaligrafi.]

Hari-hari berlalu begitu cepat, seolah tidak mengenal waktu yang lambat. Semua yang dijalani terasa singkat.

Halwa duduk di kursi kamar, sendirian, lampu temaram membawanya ke dalam kedamaian yang tenang dan nyaman.

Sebuah video hasil editan capcut sengaja diunggah Halwa di status WhatsApp. Video itu menampilkan seorang pria dingin berdiri di antara puluhan orang yang berlalu lalang di halaman Menara Banten. Pria itu menghadap ke arah kamera dengan senyuman indah yang sekilas terukir di bibirnya. Entah dari mana dorongannya, seakan lebih leluasa bertindak lebih jauh, yang seharusnya tidak melakukan hal yang lancang. Demi rasa cinta, Halwa rela melakukan apa pun demi menarik perhatiannya.

"Sekali lagi maaf, Wa. Aku tidak bisa membalas perasaanmu. Aku sedang tidak tertarik dengan perempuan saat ini. Semoga kamu mengerti," kata Hasbi dengan nada peringatan melalui chat.

Hatinya hancur, malam ini benar-benar membuatnya hancur. Tidak ada lagi yang tersisa. Tidak ada bagian yang bisa masuk. Tidak ada celah bagi mereka untuk saling mencintai. Sepertinya takdir tidak mengizinkan mereka untuk bersama. Dan dia harus sadar diri jika ingin dicintai.

"Mengapa aku tidak sadar diri sejak awal? Aku benar-benar bodoh!" gerutu Halwa sambil menarik bukunya hingga hampir robek, melepaskan rasa sakit yang semakin memuncak.

"Jangan berharap terlalu banyak. Dia jelas tidak mencintaimu, Halwa!" kesalnya.

Air mata mengalir di pipi Halwa, dia menangis dengan kepala tertunduk, memeluk kedua lututnya. Dia menyadari bahwa harapannya tidak pernah terwujud, dan angannya hanya berakhir dengan luka yang dalam.

"Jika Hasbi tahu itu, sudah cukup. Dan tentang perasaan yang sering terlontar, maaf, itu bukan ajakan untuk berpacaran, tapi hanya ungkapan agar Hasbi tahu perasaanku. Mungkin cara yang aku pilih terlalu lancang, seharusnya aku sebagai perempuan memiliki rasa malu yang tinggi. Aku menyadarinya," balas Halwa atas pesan Hasbi.

Tiga tahun yang lalu, percobaan pertama untuk mengungkapkan perasaan telah gagal. Meskipun Halwa berharap mendapatkan balasan yang diinginkan, kenyataannya tidak ada. Dan percobaan kedua juga berakhir dengan kegagalan.

Halwa tidak ingin berharap kepada siapa pun lagi. Tanpa mengucapkan perpisahan kepada Hasbi, dia sudah menjauh. Tidak apa-apa jika Hasbi tidak mencarinya. Namun, jika suatu saat dia mencarinya, Halwa menyampaikan salam untuknya. Perasaan yang dia ungkapkan waktu itu sebenarnya bukan untuk menjadi pacarnya, tapi untuk menjadi istrinya. Jika mereka memang ditakdirkan bersama, tapi untuk saat ini, Halwa tidak ingin berharap terlalu banyak. Dia pasrah dengan apa yang akan terjadi.

Satu pesan terkirim kepada Ning Khair, satu-satunya teman yang selalu bisa diandalkan. Dia selalu menjadi pendengar setia, mendengarkan dongeng-dongeng Disney tanpa pernah merasa bosan.

Halwa telah menghapus Hasbi dari hatinya, karena cinta tidak bisa dipaksa, meskipun terasa tidak adil dengan masa lalu. Dia hanya tidak ingin kehadirannya dalam hidup Hasbi. Dia harus sadar diri untuk kali ini.

TAMAT

Inisial M. Serang Banten, 2022
1378k kata

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 17 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Antologi CerpenWhere stories live. Discover now