04. Mengikhlaskan

9 4 1
                                    

Selamat Membaca!

Teruntuk kamu.

Aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya, dan aku juga tidak tahu kepada siapa harus menceritakan ini. Semoga ada seseorang yang baik hati yang mau menyampaikan rasa terima kasihku kepada orang yang pernah berpengaruh dalam hidupku.

Atau mungkin kamu menemukan surat ini secara kebetulan dan membacanya tanpa sepengetahuanku.

Ada dua hal yang ingin aku ceritakan, tapi aku tidak tahu kepada siapa harus menceritakannya. Seharusnya kamu menjadi tempat curhatku setiap kali aku membutuhkannya, tapi sekarang aku tidak tahu ke mana harus pergi. Bahkan, aku tidak ingin mencari tahu tentangmu lagi.

Hal pertama, aku senang bisa mengenalmu dalam hidupku, Kak David Narendra. Bahkan, kamu membiarkan aku masuk ke dalam hidupmu dan kamu menjadi pendengar kedua setelah Tuhan. Terima kasih sudah menjadi tokoh utama dalam hidupku. Aku sangat senang kamu bisa menemani perjalanan panjangku sampai titik ini. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat.

Dan...

Hal kedua, masih ingatkah kamu? Betapa bodohnya aku waktu itu? Tapi, dunia ini adalah tempat luka dan air mata. Ah, sudahlah, mungkin kamu juga mengerti apa yang kamu lakukan waktu itu, jadi tidak perlu aku ceritakan, kamu pasti paham.

Aku menulis surat ini setelah kamu memberikan kejutan yang mengejutkan waktu itu. Duniaku seakan berhenti di tempat itu, saat kamu pergi mencari kebahagiaan yang tidak pernah ada dalam hidupku. Mimpi-mimpi kita yang tidak akan pernah menjadi kenyataan, karena kamu telah menemukan tempat yang sebenarnya, tempat untuk pulang dan berteduh.

Sementara hatiku semakin rapuh dan tidak tahu kapan akan sembuh, tentu butuh waktu yang lama untuk bisa pulih sepenuhnya.

Dav, aku menulis surat ini karena ternyata luka dari kamu bukanlah luka biasa, tapi luka yang luar biasa. Luka yang menimpa beberapa bulan yang lalu masih bisa aku obati, tapi kali ini tidak. Bahkan setelah beberapa bulan, luka ini masih belum sembuh, masih terasa setiap kali terkena goresannya yang begitu menyakitkan. Jika aku tahu bahwa akhirnya akan seperti ini, mungkin sejak itu pun, aku ingin mengakhiri semuanya.

'Sampai kapan aku harus menunggu?'

Kalimat itu sudah aku ucapkan berulang kali, tapi kamu melarangku pergi. Dan akhirnya, inilah yang terjadi. Aku menjadi korban dari keegoisanmu.

Tapi, tenang, jangan khawatir, aku akan bangkit meskipun dengan kesulitan. Aku akan sembuh seiring berjalannya waktu. Dan pastikanlah bahwa aku akan bahagia meskipun tanpamu.

Fiza Afriza Itali.

Kamar Fiza yang bernuansa pelangi menjadi tempat pelampiasan kesedihannya sore hari itu. Lampu tamaram memberikan sensasi sejuk, namun tidak dengan hati dan pikirannya berkelana mencari pijakan untuk pulih. Alunan lagu berirama indah mengisi ruangan, sayangnya tidak cukup untuk membawa kedamaian pada hati dan pikirannya. Fiza menatap langit-langit kamarnya yang penuh hiasan bintang menyala. Wajahnya tampak muram, dengan guratan-guratan kesedihan yang terpancar dari setiap lekukan pipinya. Matanya tampak nanar, bibirnya berkatup rapat, dan tangan kanannya menggenggam pena hitam. Di pangkuannya, sebuah buku jurnal siap menampung aksara tentang kisah penuh pilu.

Fiza melihat hubungan asmara orang lain yang selalu menciptakan kebahagiaan tanpa luka. Meski mereka juga mengalami penolakan, diberi harapan palsu, dan dikhianati, mereka masih bisa tertawa, bahagia, dan tersenyum bersama kekasihnya. Mengapa di antara mereka, hanya dirinya yang merasa paling terluka, yang tak pernah bahagia?

Antologi CerpenWhere stories live. Discover now