08. Cinta Sepihak

8 1 0
                                    

Selamat membaca!

"Apa yang membuatmu kagum padaku, Wa? Bukankah di luar sana masih banyak pria yang lebih baik daripada aku. Bahkan, yang bisa kaligrafi juga banyak. Kamu berhak mencintai seseorang di luar sana, tapi bukan aku, pria yang memiliki banyak kekurangan."

Dengan kedua tangan tersembunyi dalam saku jaket hoodie pink muda, Halwa mengangguk cepat dan menundukkan pandangannya, membiarkan Hasbi tidak melihat ekspresi wajah yang dia sembunyikan.

Hari ini cuaca sangat dingin, awan tidak memberikan sensasi seperti biasanya. Gumpalan awan hitam di langit tampak siap menumpahkan hujan. Meskipun Halwa masih merasa kesal, setidaknya dia senang bahwa Hasbi telah mengetahui perasaan yang selama ini dia pendam. Awalnya, Hasbi tidak mengetahui hal ini. Namun, beberapa bulan lalu, dia selalu mendapatkan salam dari Halwa yang dititipkan melalui Ning Khair, anak pemilik pesantren.

"Ning, bagaimana sikap Kang Hasbi di pondok? Dia orang baik, kan? Ah, maksudku dia tidak nakal, kan?" tanya Halwa saat itu.

"Dia orangnya dingin dan cuek," jawab Ning.

"Oh iya, tolong sampaikan salamku ya, Ning, kepada Kang Hasbi jika nanti kamu main ke rumah," tambah Halwa, saat itu memberikan salam untuk Hasbi melalui Ning Khair. Begitulah kira-kira kode-kode kecil yang selama ini Hasbi terima dan tidak dia ketahui. Pada akhirnya, dia menjadi sadar dan peka terhadap semua kode kecil tersebut yang selalu disampaikan melalui Ning Khair.

Hasbi mengirim pesan melalui WhatsApp, mengatakan bahwa dia tidak ingin fokus pada perempuan. Namun, Halwa tidak begitu percaya. Sebab, beberapa bulan yang lalu, Hasbi baru saja mengakhiri hubungannya dengan Mbak Liani, seorang kasir di pesantren. Namun, hubungan mereka masih terjalin dengan baik. Bahkan, mereka berdua masih baik-baik saja tanpa ada masalah yang muncul, dan masih sering berkomunikasi dan saling menyapa melalui ponsel.

Oleh karena itu, Hasbi mengajak Halwa untuk bertemu. Halwa menyetujui ajakan tersebut, tetapi ia berpesan agar tidak mengajak orang banyak, cukup berdua saja. Halwa setuju dengan itu, mungkin ada hal penting yang ingin ia katakan tentang perasaan yang tidak terbalas ini.

"Maaf, ya, Wa, kita hanya berteman saja, aku sedang tidak fokus pada perempuan."

Halwa mendongak, wajahnya tampak sedih, penuh dengan tanda-tanda kesedihan yang tidak diketahui oleh Hasbi. "Seharusnya aku tidak datang ke sini."

"Lalu seharusnya bagaimana? Kamu merasa terpaksa, Wa?"

Halwa terdiam, menatap tangannya dengan hati berdebar kencang, jantungnya berdetak tidak beraturan saat Hasbi tersenyum manis ke arahnya. Namun, saat mengingat perkataan yang baru saja terlontar dari bibir Hasbi, seakan hati Halwa menyusut, begitu pedih seperti ditusuk oleh ribuan jarum.

Kesunyian menyelimuti mereka berdua, mata Halwa beralih ke arah samping di mana banyak pemandangan indah, meskipun kabut tebal menghalanginya. Sedangkan Hasbi memilih untuk diam, kehampaan mulai merasuki mereka. Perasaan asing kembali muncul di dalam diri masing-masing. Sudah berbulan-bulan Halwa mengagumi seorang pria dingin. Rasa cinta ini tidak bisa dibohongi, perasaan yang besar di lubuk hati terasa hampa, jika hanya sepihak yang memiliki rasa cinta.

Merasa layak memiliki seseorang yang tidak memiliki kenangannya, memiliki kenangannya tetapi tidak dengan cintanya. Kisahnya tidak pernah dimulai, tetapi ceritanya harus berakhir.

"Kenapa diam, Halwa?"

Halwa meremas ujung jilbabnya dengan perasaan sakit, kepalanya kembali menunduk. Mata Halwa menatapnya penuh harap, lalu tersenyum ke arahnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 17 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Antologi CerpenWhere stories live. Discover now