15 | Merasakan Tersiksa

1.9K 197 4
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Setelah shalat maghrib, Risa dan Meilani kini duduk bersama di meja makan untuk makan malam. Mereka menikmati makanan yang tersaji tanpa banyak memikirkan soal kalori dan berat badan. Sosok Nyai Kenanga terus menatap kedua wanita itu seraya tersenyum dari tempatnya duduk, di ruangan dekat laci pribadi miliknya.

"Oh ya, Nyai Kenanga saat ini ada di mana, ya? Tadi Nyai Kenanga ada di sebelahku, 'kan, saat waktu shalat maghrib akan tiba?" tanya Meilani.

"Iya, tadi Nyai Kenanga ada di sampingmu saat waktu shalat maghrib akan tiba. Saat ini Nyai Kenanga ada di ruang tengah dan duduk di dekat laci pribadinya. Mungkin Nyai Kenanga sedang mengingat saat-saat ketika dirinya menulis surat untuk pria bernama Panji," jawab Risa.

Meilani berhenti menyuap makanan ke mulutnya sambil menatap ke arah Risa.

"Apakah pria bernama Panji itu pernah pulang ke Desa ini, ya, Sa? Apakah dia mencari-cari keberadaan Nyai Kenanga juga, seperti yang dilakukan para warga lain?" Meilani tampak penasaran.

"Dia pasti pernah pulang, Mei. Dia juga pasti pernah mencari. Aku yakin, Nyai Kenanga mencintai orang yang tepat pada saat itu. Hanya saja, dia lebih berjodoh dengan maut daripada berjodoh dengan pria bernama Panji itu," yakin Risa.

"Aku enggak bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan pria bernama Panji itu ketika pulang ke Desa ini. Dia pasti merasa hancur karena tidak bisa menemukan Nyai Kenanga. Oh ya, kok kamu bisa yakin kalau Nyai Kenanga berjodoh dengan maut alias sudah meninggal dunia?" heran Meilani, yang kini mulai mengerenyitkan keningnya ketika menatap Risa.

Risa ternganga usai mendengar pertanyaan yang Meilani ajukan saat itu.

"Mei ... sosok Nyai Kenanga yang aku lihat saat ini bisa dibilang adalah arwahnya saja, bukan wujudnya. Berarti sudah jelas kalau Nyai Kenanga berjodoh dengan maut alias sudah meninggal dunia. Kok pakai kamu tanya lagi, sih? Kadang aku sampai terheran-heran loh sama jalan pikiranmu itu," keluh Risa, apa adanya.

Meilani hanya bisa terkikik geli saat sadar kalau pertanyaannya memang tidak perlu ditanyakan dan sukses membuat Risa kembali mengalami stress. Mereka segera menyelesaikan makan malam kali itu, lalu segera membereskan meja makan dan mencuci piring agar semuanya bersih kembali seperti semula. Kedua wanita itu kemudian berjalan keluar rumah saat mendengar ada suara klakson dari ojek online yang tadi Risa pesan.

"Kamu pesan makanan lagi, Sa?" tanya Meilani, dengan wajah berbinar-binar bahagia.

"Astaghfirullah, Mei. Kenapa di otakmu itu hanya makanan saja isinya? Kita baru saja selesai makan malam. Masa iya sih aku pesan makanan lagi?" omel Risa, yang kemudian melangkah keluar pagar dan mengambil pesanannya.

Beberapa orang warga yang sudah tua di Desa itu sejak tadi sedang membicarakan soal rumah milik Nyai Kenanga yang kini kembali ditempati oleh seseorang. Para orangtua itu tampak menatap kaget ke arah Risa yang memiliki wajah sama persis seperti Nyai Kenanga, seperti yang disampaikan oleh Rumsiah di masjid saat shalat maghrib akan berlangsung. Mereka tak bisa mempercayai penglihatan masing-masing, setelah menyaksikan sendiri semuanya.

"Ya Allah, kok bisa wajahnya mirip sekali dengan Nyai Kenanga?" tanya Asih--Nenek dari Zulkarnain.

"Iya, sangat persis. Sama sekali tidak bisa dibedakan jika seandainya Nyai Kenanga ada di sampingnya," tanggap Harti, wanita seusia Asih dan Rumsiah.

"Nanti akan kutanyakan pada cucuku, siapa wanita itu sebenarnya dan di mana dia mengenalnya selama ini," ujar Yatno--Kakek dari Zulkarnain.

Risa memperlihatkan pot-pot bunga berisi tanaman bunga mawar yang dibelinya. Meilani pun tampak kembali bersemangat dan mulai membantu Risa mengatur letak pot-pot bunga mawar itu di lantai teras rumah tersebut.

"Ini juga bunga mawar putih, Sa?" tanya Meilani.

"Iya, Mei. Hanya saja belum muncul bunganya karena pohonnya masih kecil. Nanti kalau sudah berkembang pasti akan terlihat sangat cantik seperti taman bunga mawar putih yang ada di halaman belakang. Aku yakin, Nyai Kenanga pasti tidak akan keberatan jika aku menambahkan beberapa pot bunga mawar putih di teras ini," jawab Risa, seraya tersenyum.

Romi dan Kahlil sengaja melintas di depan rumah milik Nyai Kenanga malam itu. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Meilani dan Risa ada di teras rumah sembari menyusun pot-pot bunga. Mereka bersembunyi dan mengawasi dari sebuah gang yang cukup gelap. Zulkarnain muncul tak lama kemudian dan berdiri tepat di depan pagar rumah itu. Romi dan Kahlil pun bisa melihat kedatangannya dan tetap saja memilih untuk mengawasi dari gang tempat mereka berada.

"Assalamu'alaikum," sapa Zulkarnain.

"Wa'alaikumsalam," jawab Risa dan Meilani, kompak.

"Ada apa, Zul? Kamu bawa makanan buat kami?" tanya Meilani, to the point.

Zulkarnain langsung meringis di tempatnya berdiri, sementara Risa dengan tulus ikhlas langsung memiting leher Meilani yang selalu saja memikirkan makanan.

"Kamu pikir Zul sudah gila atau bagaimana, hah? Dia jelas-jelas sudah lihat segunung makanan yang kamu pesan sore tadi. Jadi tidak mungkin dia datang ke sini membawa makanan! Kecuali dia sudah tidak waras, baru dia akan membawa makanan meski dia sudah melihat semua makanan yang tadi kamu beli!" amuk Risa.

"Ampun, Sa! Ampun!" mohon Meilani, benar-benar menyesal karena bertanya soal makanan kepada Zulkarnain.

Zulkarnain pun langsung masuk ke halaman rumah untuk memisahkan Risa dan Meilani.

"Hei, sudah ... sudah ...! Kalian ini bertengkar terus seperti Tom and Jerry, tapi kok bisa awet bersahabat sampai belasan tahun dan tinggal serumah?" heran Zulkarnain.

Di rumah lain, Juminah menatap ke arah suaminya yang masih saja marah akibat kejadian yang terjadi siang tadi. Juminah tahu betul, bahwa kekesalan suaminya saat itu bukan hanya karena Rumsiah membahas soal penolakan Nyai Kenanga di masa lalu. Sutejo benar-benar marah karena melihat seseorang yang memiliki wajah sama persis seperti Nyai Kenanga dan bahkan memiliki sifat yang tidak jauh berbeda.

"Aku mau tidur!" putus Sutejo.

Juminah tidak mengatakan apa-apa. Ia membiarkan suaminya segera naik ke tempat tidur dan berselimut. Di luar hujan turun semakin deras, membuat suara dari satu rumah ke rumah lain sama sekali tidak bisa terdengar. Juminah ikut berbaring di samping Sutejo dan memutuskan tidur dengan posisi membelakanginya. Tanpa Juminah tahu, Sutejo yang sudah terlelap saat itu mulai berkeringat dingin tanpa alasan. Nyai Kenanga menemuinya di dalam mimpi. Sosoknya masih terlihat sama seperti dulu, dengan pakaian terakhir berlumur darah yang dipakai sebelum Sutejo membunuh dan menguburnya.

"Kamu sudah kembali ke Desa ini rupanya, Tejo. Bagaimana kehidupanmu? Sangat menyiksa?" tanya Nyai Kenanga, sambil melemparkan setangkai bunga mawar putih berlumur darah ke hadapan Sutejo.

Sutejo mendekap bunga mawar berdarah itu, lalu sekujur tubuhnya terlihat mulai mengeluarkan darah dari seluruh pori-porinya.

"Ah!!! Tidak!!! Tidak!!! ARRRGGGGHHHHH!!!"

Sutejo berteriak-teriak tanpa henti dalam tidurnya, tanpa ada yang bisa membangunkannya di sepanjang malam itu.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora