Senna menggeleng. "Ini tidak perlu obat. Aku cuma perlu isi perut."

"Lho, memangnya ke mana Rio? Wadaw!!!"

Yusuf menggagapi tulang keringnya di bawah meja. Matanya melotot kepada Andrea yang sudah lebih dulu mengalihkan wajahnya ke arah lain. Keributan itu nyaris membuat mangkuk sup Senna tumpah. "Kalian memang lagi ngomongin aku, kan?"

Yusuf memamerkan gigi-gigi putihnya, tidak peduli meski Andrea mengirim sinyal keberatan melalui lirikan tajam dan alisnya yang naik mengancam. Pemuda itu sudah terlalu penasaran dan tidak bisa menahan untuk menanyakannya sendiri kepada Senna. "Memangnya Rio ke mana? Sudah beberapa hari ini Bapak kayaknya kurang ceria. Bapak juga kurusan!"

Senna meneliti dirinya sendiri, apa benar dia kurusan?

"Rio pulang," jawab Senna singkat. Dia kurang suka Yusuf menaruh perhatian berlebih kepada Rio, entah karena Yusuf gay atau karena Senna enggan berbagi. Semua manusia juga begitu, bukan? Meski bukan cinta, manusia selalu ingin lebih istimewa dibanding orang lain. Senna pikir itu wajar dan dia tidak perlu khawatir.Dia ingin menjadi orang yang paling memperhatikan Rio.

Tapi mengapa hanya kepada Rio jika memang itu wajar?

Mengapa dia tidak peduli jika Andrea—misalnya—tidak menganggapnya lebih istimewa daripada Yusuf? Padahal, dia juga sangat menyukai gadis itu. Dia juga tidak masalah dengan siapa pun Ninet sekarang ini lebih akrab daripada dengannya. Kenapa dia pusing jika Yusuf memperhatikan Rio?

"Boleh saya minta nomor kontak Rio, Pak?" pinta Yusuf lebih berani.

"Tidak boleh!" sahut Senna mantap, membuat kedua mahasiswanya secara seragam mengernyitkan kening.

"Kenapa tidak boleh?" Andrea penasaran.

"Ya. Kenapa tidak boleh?" dukung Yusuf, baru kali ini mereka tampak kompak.

Senna memandang mereka berdua secara bergantian.

"Rio baru tujuh belas tahun lima bulan, dia masih di bawah umur. Do I answer your question? Besides, I don't have a plan to support his homosexuality." Senna berkelit.

Yusuf memutar sedotan dalam lemon tea-nya sambil menggerutu.

"Ah!" seru Yusuf, matanya berbinar seperti menemukan sebuah gagasan cemerlang. "Come to think of it, Pak Senna, itu menjawab kecurigaan saya kenapa Bapak akhir-akhir ini tampak lesu dan kurang bersemangat, wajah Bapak pucat, juga kenapa Bapak pagi ini sarapan di kantin."

Senna mendengus, melanjutkan makan tanpa mendengar ocehan Yusuf. Apa pun yang dikatakan atau ditanyakan Yusuf, diabaikannya.

"Sekarang aku boleh ganti bertanya?" tanya dosen muda itu sambil membetulkan letak kacamatanya. Dia sudah selesai menyantap makanannya.

Yusuf dan Andrea saling berpandangan.

"Apa yang kalian bicarakan tentangku?"

"Oh it's nothing important," sambar Andrea sebelum Yusuf mendahului.

"I don't ask about the importance. I still want to know what you guys were gossiping behind my back."

Yusuf berdeham. "Kami sedang mendiskusikan kemungkinan Bapak, euh, menyukai Rio atau sebaliknya."

Kembali terjadi keributan di balik meja, tapi kali ini giliran Andrea yang meringis kesakitan. Tampaknya, kakinya yang dimaksudkan untuk menendang tulang kering Yusuf berhasil dihindari dan mengenai kaki kursi. Yusuf menjulurkan lidah ke arah mahasiswi itu.

"Andrea bilang, itu bukan cinta, itu cuma penasaran!" tambah Yusuf. "Kalau saya bilang, kebanyakan biseksual juga awalnya penasaran. Nggak sedikit yang tadinya hetero—ngaku-ngaku straight like an arrowklepek-klepek sama gay kayak Rio. Rio kan imut, bikin hati kedut-kedut. Pak Senna gimana?"

SENNAWhere stories live. Discover now