BAB - 1: Elegant Confrontation

229 21 24
                                    

"Aduh, Mbak, spa di sini tuh kita benar-benar dimanjakan. Mbak terapisnya oke banget ngelakuin spa hot stones dan totok wajah. Terus ini Mbak, pas saya scrubbing  pakai lulur ekstrak manggis bikin sel-sel kulit mati saya terangkat, berasa kayak di iklan sabun nih." Pelanggan itu menarik lengan kemejanya sampai tiga perempat dan mempraktekkan raba-raba tangan yang sering Litha lihat di iklan sabunnya Lindu Ayu.

Litha memastikan bahwa terapis ini akan dapat bonus lebih bulan depannya.

"Mbak Tika memang nggak salah rekomendasikan tempat ini. Memang sesuai dengan video reels-nya. Duh pokoknya kalau spa di sini tuh beban hidup saya terangkat semua," sambung si Pelanggan itu, melanjutkan minum wedang jahe yang tertunda sampai lidahnya kepanasan.

Ya Tuhan, semoga habis ini sahabatku yang gesrek satu itu nggak tersedak durian.

Litha tersenyum kecil, ikut menyesap wedang jahe hangat bagaikan minum sparkling wine. Pelanggan itu tidak sadar bahwa orang yang diajak bicara adalah direktur utama yang lagi nyamar jadi pelanggan untuk mendengarkan kritik dan saran jujur.

"Saya permisi dulu ya, Mbak, mau bayar dulu. Terima kasih atas obrolannya," pamit Pelanggan itu sambil berdiri, diikuti Litha yang berencana untuk kembali ke ruangannya di lantai enam.

"Halo ... Litha Karmika."

Pelanggan dan terapis yang tadinya saling ngobrol soal khasiat buah manggis dan minyak campuran sekarang berbisik penasaran.

Sapaan bernada berat dan halus itu bikin Litha tidak jadi memencet tombol lift, kepalanya berputar sedikit ke kanan tanpa membalikkan badan. Kemeja Hugo Boss warna biru langit yang digulung tiga perempat dan dasi yang sudah longgar berpadu celana kain hitam Brioni memang didesain sempurna di kaki jenjangnya. Pria itu dan sepatu Balenciaga Double B Loafers hitam bagaikan teman baik. Namun, penampilan bagus tidak mencerminkan sifatnya.

Litha menahan diri untuk tidak terpancing emosi dan rasa sakit yang muncul kembali, dia membalikkan badan dengan senyum formal seraya berkata. "Halo juga ... Pak Dira yang terhormat."

Senyum miring muncul dari bibir Dira. "Akhirnya bisa berhadapan dengan lo lagi setelah sekian lama. Pantesan Nyokap sama Adek gue langganan spa di sini terus, tempatnya oke juga."

"Bukannya lo selalu muncul di setiap pesta amal dan ulang tahun perusahaan keluarga dan menghindari gue?" balas Litha kalem.

"Suka-suka gue dong, ngatur melulu lo."

Mata Litha menyebar ke segala arah, mendapati terapis yang tadinya kasih pijatan tangan dan telapak kaki ke pelanggan pada berhenti untuk melihat Bosnya berinteraksi dengan orang tampan. Wajah mereka melongo dengan mata berbinar-binar.

Jari Litha memencet lift. "Kalau ada yang mau dibicarakan, lebih baik bicara di ruangan saya saja, Pak Dira."

Pintu lift terbuka, Litha masuk lebih dulu kemudian diikuti oleh Dira dan asisten pribadinya. Litha berdiri di depan pintu, sebisa mungkin menjauh dari pria yang sudah menghancurkan hati  tersebut.

Napasnya memburu seiring memori enam tahun lalu di Shoemaker Green Park yang penuh dengan mahasiswa dan warga lokal yang duduk di taman bersamaan kalimat lantang kasar pria itu sampai jadi tontonan drama gratis. Tidak lupa merenggut kasar bekal roti lapis ayam dari tangan Litha yang dilempar tepat ke tong sampah sekitar tepat di depan mata.

Stop kejar-kejar gue dan pergi dari sini ... Iya, lo itu perempuan nggak tahu diri dan tolol. Masih kurangkah sikapku yang nggak nyaman setiap lo ada di dekatku? Dasar Bodoh! Gue tahu lo ngejar-ngejar dan naksir gue karena taruhan, kan? Mungkin ini mempan sama pria lain yang lo jadikan taruhan sama teman-temanmu yang nggak guna itu, tapi nggak sama gue.

Denting lift mengembalikan Litha ke masa sekarang. Langkahnya teratur,  sama sekali tidak menoleh ke belakang sedikit pun. Tidak lupa sebelum masuk, Litha meminta Arlin – asisten pribadi merangkap sekretaris – untuk menunda rapat serta minta office boy bikinin dua cangkir kopi hitam panas.

Setelah mempersilakan duduk, Litha menyilangkan satu kaki, sebisa mungkin tidak boleh ada getaran dalam nada bicara. "Ada perlu apa Bapak Dira ke sini?"

"Langsung pada poinnya saja." Senyum manis Dira berubah jadi senyum mematikan. "Kalau lo memang berniat serobot perusahaan bahan baku essentials oil itu, setidaknya harus dengan cara adil. Bukannya pakai cara menghina dan menyebar aib keluarga gue, nggak heran teman-teman takut sama Lo, Lit. Kenapa sih, kehabisan ide licik?"

Kedua alis Litha menyatu, berusaha tenang. "Gue nggak pernah pakai cara yang kelewat batas itu. Kalau memang gue yang lakuin itu, kedua orang tua kita pasti langsung marah dan kerjasama Grup Sandjaya dan Grup Rahadi jadi batal. Lagipula, Grup Rahadi sudah bertindak cepat, kan, terkait aib kesebar itu."

"Betul, beritanya langsung hilang dalam satu hari dan pelaku sudah tanda tangan surat pernyataan damai biar nggak diproses ke polisi."

Tawa kecil lolos dari bibir Litha ditutupi oleh tangan seperti orang batuk, senang lagi-lagi dia bisa mengatasi rasa takutnya menghadapi manusia aneh ini. " Ya sudah, santai aja kali. Terus apa gunanya lo ke sini buat konfrontasi gue? Buang-buang waktu banget tahu. Daripada kesal melulu gagal investasi gara-gara gue, mending Sachiya kolaborasi aja sama Cantika Pesona buat bikin produk masker rambut atau sejenisnya biar nanti dijual di etalase toko spa gue. Kan lumayan sama-sama untung."

"Nggak akan," jawab Dira dengan wajah jijik. "Cukup anak perusahaan yang bagian bahan baku obat-obatan aja yang bekerjasama dengan perusahaan keluarga lo. Bersinggungan dengan lo langsung sama aja masuk kandang singa. Yang ada lo manfaatin gue buat aksi licik lo itu."

Kepalan tangan Litha tererat kuat, meyakinkan diri untuk tidak terpancing emosi. Bola matanya berputar ke segala arah.

Mata Dira menelusuri Litha dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tidak ada lagi perempuan dengan senyum lebar dan hawa ceria yang selalu mengikutinya kemana-mana enam tahun lalu sambil bawa literatur dan laptop dan tidak pernah menyerah untuk menyatakan cinta. Perempuan di hadapannya sekarang  adalah perempuan elegan yang sedang mengobservasi lawannya dan sedang menunggu waktu untuk serang, Dira harus lebih berhati-hati.

Arlin datang dengan baki berisi dua cangkir porselen lalu pamit undur diri. Rasa tenang sejenak hadir di benak Litha begitu cairan hitam lolos ke kerongkongan. Mata mereka bertemu sebentar di tengah sesapan selama beberapa detik.

"Kalau tidak ada yang dibicarakan, silakan meninggalkan ruangan ini. Gue masih banyak pekerjaan," usir Litha halus.

Dira berdiri, menaruh dua tangan di saku celana kain dan senyum miring penuh cemooh itu kembali terbit. "Sekadar peringatan, gue nggak akan tinggal diam begitu lo merebut investasi perusahaan kecil pakai cara kelewat batas."

"Santai aja lagi." Litha mengibaskan tangan, mendadak mengutuk diri sendiri saat jantungnya berdetak seperti dulu akibat berdekatan dengan pria baby face itu. "Kecuali kalau perusahaannya memang bagus dan berpotensi sih."

Wajah datar dengan sorot mata penuh hinaan itu kembali bikin Dira kesal, tapi dia membalikkan badan sambil bergumam. "Cewek sialan."

Beberapa menit setelah kepergian Dira, dua notifikasi berisi pesan muncul di layar ponsel Litha.

Mami: jangan lupa, ada kumpul keluarga akhir pekan ini.
Mami: kali ini jangan kabur lagi.

1087 kata(6 Juli 2023) Happy Reading!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

1087 kata
(6 Juli 2023)
Happy Reading!

Behind The Schemes of LoveWhere stories live. Discover now