BAGIAN 10 (Kelas Margasatwa)

24 3 4
                                    


Seisi kelas hening, karena semuanya sibuk mencatat materi yang tertera di atas papan tulis. Semuanya nampak fokus, namun satu pemuda dengan baju dan wajah kusutnya menatap datar papan tulis tersebut.

Disaat semua murid mencatat materi, dia hanya mencorat-coret buku tulisnya yang masih kosong bersih tanpa catatan apapun.

Iya, pemuda itu Ardan. Ia mengusap wajahnya frustasi. Semalam wajah bonyoknya di ketahui oleh Liana, lantas ia mendapat ceramah, lagi dan lagi. Panjang kali lebar pula. Katakan saja mungkin dirinya bisa hafal dan menebak kata-kata yang keluar dari ocehan sang Bunda selalu sama.

"Ck! Ardan kamu anak siapa sih?! Bandel banget heran Bunda bilangin. Jangan berantem. Jangan berantem! Apa guna nya sih hah?! Capek Bunda ladenin tingkah laku kamu yang makin menjadi. Kalau gak di ladenin, makin bebas kamu seenaknya, ka--"

Cukup. Rasanya Ardan pengang sebenarnya memikirkan itu semua.

Sebenarnya Ardan bisa saja menuruti keinginan Bundanya itu untuk berubah. Namun rasanya tidak asik kalau sehari saja tidak melakukan rutinitas yang biasa di lakukannya selama ini, Ardan sudah terlanjur nyaman.

Di sekolah bolos, pulang sekolah pergi ke tongkrongan, abis itu nongki sambil rokok, malemnya balapan, dan tentunya semua hal tersebut berakhir lagi dengan ia yang di ceramahi Bundanya.

Bukankah itu menyenangkan?

"Sekrtaris nya siapa?" Tanya Ibu Tiana, guru bahasa Indonesia itu pun lantas memecah keheningan yang melanda. Sebagian dari mereka lantas mendongak, sebagian malah meregangkan ototnya dan menguap.

"Mawar, Bu." Seorang gadis berbicara sambil mengacungkan tangannya, namanya Mawar.

Ibu Tiana mengangguk. "Sini," Ucapnya langsung di turuti oleh Mawar.

Beberapa murid melihat ada yang di perbincangkan di depan sana, dan sebagian lagi memilih tidak peduli. Lagian mereka sudah menebak, apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Baik, karena pada semester ini materi kita lumayan banyak dari semester sebelumnya. Maka dari itu, Ibu akan mempercepat materinya. Sudah Ibu ringkas, kalian tinggal mencatat dengan baik." Ucapnya yang tentu semua murid menghela nafas pelan.

"Materinya akan di diktekan oleh Mawar, semua wajib nulis. Ibu cek nanti, tidak ada yang buku tulisnya masih bersih, oke?"

"Ya, Bu." Nampaknya yang menjawab pun lesu.

"Ibu ke ruang guru dulu, kalian nulis yang rapih. Dan ingat!...." Ucapnya menggantung sambil menatap anak muridnya dari sisi kanan ke kiri.

"... Jangan ada yang nulis di singkat-singkat! Ibu gak suka."

Beberapa yang tersinggung mulai membatin dalam hati. Sebagian cowok mengumpat pelan kepada Ibu Tiana, untungnya guru tersebut sudah keluar ruangan.

Mawar sudah di tempat duduknya kembali, sambil membawa buku paket yang diberikan tadi. Ia mengambil pena nya dan membuka buku catatannya.

"Dah siap?" Matanya mengedar ke seluruh teman-teman sekelasnya.

"Banyak gak nulisnya anjir!?" Sewot seorang lelaki yang sangat-sangat benci dengan mencatat.

"Dikit kok," Mawar menjawab santai

"Ah males gue!" Sahut yang lain.

Marvin menghampiri meja cewek itu. "Darimana emang?" Tanya nya sambil menatap buku paket yang setia di pegang oleh Mawar.

Unspoken Love (Ayesha Gabriella)Where stories live. Discover now