Freen melihat wanita di sampingnya, dia tidak tersenyum atau pun mendengarkan Freen. Dirinya merasa diabaikan, tapi Freen ingin menyelesaikan perkataannya, lalu dia menghadap lukisan itu lagi, "Aurora menggunakan gaya lukis yang tampak indah, semua yang dia buat seakan membuat kita berada bersamanya. Lukisan ini memang tampak luar biasa, tapi jika diperhatikan lagi, lukisan ini sungguh menyedihkan." Freen menatap agak lama lukisan tersebut, dia bisa merasakan betapa hancurnya hati saat merindukan seseorang yang telah pergi.

Freen menghela napas, lalu dia berkata lagi dengan nada ringan, "Lokasinya sangat jauh. Dan juga, untuk bertemu dengan cahaya aurora itu sangat sulit. Kita sangat beruntung jika bisa melihatnya." Berhenti sejenak, lalu tersenyum lagi, Freen pun berkata, "Aku juga ingin pergi ke Svalbard. Aku belum pernah ke sana." Saat mengatakan kalimat ini, Freen menoleh sambil tersenyum ke arah wanita yang bernama Rebecca ini.

Dan ternyata, dalam saat bersamaan, Rebecca atau Becca juga melihatnya.

Freen yang semulanya tersenyum, tiba-tiba bibir itu kembali ke tempat semula. Dia tak kuasa melihat mata yang tak melihat-nya sekarang, mata cokelat terang itu berhasil membuat Freen terdiam, hatinya seakan terasa di jatuhkan dari tempat yang tinggi, Freen menahan napas. Paras wanita di sampingnya berhasil membuat otak Freen terpesona, dia tidak pernah bertemu dengan seseorang seperti Becca.

Freen perlahan memperhatikan semua itu, hidung, bibir, kulit, bulu mata dan kembali lagi ke mata cokelat tersebut. Freen masih mengatur napasnya untuk tidak berlebihan, jarak mereka sangat dekat. Sekarang, kaki Freen seakan lemah, dia hampir saja tak bisa berdiri tegap. Satu hal yang Freen pikirkan sekarang, aku menginginkannya. Kata-kata itu terulang berkali-kali dan diproses cepat oleh otak jeniusnya. Dan akhirnya, kalimat itu tertanam dalam hati dan pikiran Freen. Dia sungguh menginginkan wanita bernama Becca ini. Mata itu, sungguh indah, batinya berbisik.

Tidak lama kemudian wanita itu berbalik badan. Freen tak mau kehilangannya, dia ingin mengenal wanita itu lebih jauh, Freen sungguh menginginkan wanita itu. Dia tidak pernah merasa se-tertarik ini sebelumnya, kali ini semua sel di tubuhnya berbisik hal yang sama. Jangan kehilangan dia.

Namun, tampaknya Freen harus siap-siap untuk dibenci.

Saat dia meminta wanita itu untuk menunggunya dengan suara kencang, dia tak sengaja menarik tali bra belakang Becca. Dia bahkan terkejut dengan apa yang terjadi, mata Freen membesar dan wajah Freen seakan ingin kabur dari tempatnya. Freen tak ingin dibenci dari awal pertemuan, tapi tampaknya dia membuat kesalahan kali ini. Bahkan, mulutnya tak bisa menghentikan kata ups itu keluar saat tali bra itu berbunyi menyakitkan.

Freen menggepal tangan kanannya, dia bahkan menggigit jari telunjuk yang terkepal itu. Freen merasakan malu, takut dan ingin kabur.

Wanita itu tidak berbalik sekarang, tapi dia masih terhenti dengan tubuh seperti sedang melangkah. Tampaknya dia juga malu akan semua yang terjadi. Freen, kamu mengacaukannya, sekarang Freen mendengar otaknya memarahinya.

Freen merileksnya tubuhnya, dan menurunkan kedua tangannya. Sekarang dia sedikit menggigit bibir bawahnya, Freen sungguh tak ingin seseorang menjauhinya. Lalu dia berkata, sekarang dengan suara pelan, "Maafkan aku. Aku tidak sengaja." Saat Freen melangkah sekali, wanita itu langsung berjalan menjauhi Freen.

Freen pertama terdiam, dia takut menyusul. Tapi apa boleh buat, dirinya sudah menetapkan siapa yang akan dia sukai sekarang. Freen menyusul wanita bernama Rebecca itu. Dia ingin mengatakan, Rebecca, maafkan aku. Tapi dia sadar, jika dia berkata seperti itu, mungkin wanita ini tambah ketakutan.

Freen berhasil menyusul langkah Becca dengan tongkat putih itu, dia sekarang berada di sampingnya, berjalan beriringan. Freen masih merasa mereka berdua berhasil menarik perhatian pengunjung sampai sekarang.

Dia juga melihat wajah Rebecca yang merah terang. Lalu Freen berkata, "Ehm, bolehkah kita bicara sebentar?" Freen berjalan menghadap kedepan, sesekali dia menoleh melihat wajah yang sedang malu itu.

Rebecca diam saja, dia berusaha untuk keluar dari museum dengan terburu-buru tapi tetap meraba dengan tongkat. Matanya tak melihat ke mana pun, masih melihat ke depan, tapi raut mukanya sangat kesal sekarang.

Pintu keluar masih amat jauh, Freen berkata lagi, "Kamu tau itu tidak sengaja bukan? Mana mungkin aku melakukan hal seperti itu. Tolong maklumi." Dia masih saja membela diri.

"Maafkan aku, ok?" Kata Freen lagi.

Masih tidak dipedulikan, Freen akhirnya berkata, "Apakah itu menyakitkan?" Dengan kata-kata ini, Rebecca terhenti dan melihat sumber suara, matanya memang tidak melirik tepat ke arah Freen, tapi tatapannya mengatakan kamu berani bertanya?

Freen terkejut, dia terhenti juga. Lalu, Rebecca berjalan lagi meninggalkan Freen. Namun, Freen tidak mempunyai kata menyerah di kamusnya, dia mengejar Becca lagi.

Sekarang dia mengikuti Becca hingga ke luar Museum. Becca berjalan ke arah jalan, dia mengeluarkan ponselnya dari tas tersebut dan mengatakan kata 'pesan taksi' lalu dia mengembalikan ponsel itu ke tempatnya.

Becca menghela napas amat dalam sekarang, dia ingin membuang rasa malu itu. Becca sadar Freen masih ada di sampingnya, aroma khas itu tampak terbang mengitari hidungnya.

Freen pun berkata lagi, "Jangan marah.." Dia melihat wajah Becca yang tampak kesal, "Aku sungguh tidak merencanakan itu." Suara Freen agak memelas sekarang. Dia takut hilang kesempatan untuk mengenal wanita ini.

Becca akhirnya menjawab, "Aku tau."

Mendengar jawaban tersebut, Freen tersenyum seperti orang gila. Dia bahkan berkata, "Boleh minta nomor ponselmu?"
Freen seperti orang-orang yang selalu meminta nomornya saat di luar negeri. Sekarang dia merasakan bagaimana perasaan itu, jika wanita di depannya memberikannya nomor orang lain. Freen sangat khawatir.

Namun, tampaknya nomor orang lain pun takkan diberi oleh Becca. Freen diabaikan. Becca menunggu taksi tanpa bicara lagi dengan Freen, setelah kata aku tau-nya.

Freen masih memegang ponselnya, dia masih berharap nomor itu di sebutkan. Lalu dia berkata lagi, "Kamu tidak ingin memberikannya?" Freen ingin mengkonfirmasi itu, padahal sudah jelas Becca tidak mau.

Becca mengabaikannya lagi. Peristiwa di museum masih teringat oleh Becca. Dia tidak ingin bertemu lagi dengan wanita yang menarik tali bra-nya. Itu memalukan.

Freen menghela napas sekarang, dia pun akhirnya menyerah. Tapi dia berkata sesuatu lagi, "Jika kita bertemu lagi, kamu harus memberiku nomor ponselmu, bagaimana?" Freen masih menginginkan angka-angka itu tersimpan dalam ponselnya, baginya itu salah satu cara untuk mendekati wanita ini.

Taksi Becca akhirnya datang, supir taksi itu tampaknya langsung tau bahwa Becca buta, mungkin dari keterangan aplikasi pemesanan online itu. Lelaki tua itu keluar dari mobilnya dan berlari kecil membukakan pintu penumpang untuk Becca. Becca melipat tongkat putihnya, lalu dia segera masuk dan duduk dan supir itu tampaknya menunda menutup pintu.

Oh. Bukan supir, tapi Freen.

Freen menahan pintu itu, dia ingin jawaban dari Becca.

"Bagaimana?" Freen bertanya lagi,

Becca mengernyitkan alisnya, dan berkata dengan kesal, "Tidak mau." Dengan cepat Becca meraba gagang pintu itu, dan menutupnya dengan kuat. Tangan Freen pun hampir saja terjepit.

Supir taksi itu tersenyum canggung, dia kembali ke dalam mobil dan mereka berlalu dari hadapan Freen.

Freen? Dia mengelus tangannya yang hampir saja cedera.

Dia menghela napas dan melihat mobil kuning itu menjauh, dan berkata, "Tapi aku rasa, kita akan bertemu lagi." Tersenyum, "Rebecca."

DOT OF LIFE - FREENBECKYWhere stories live. Discover now