Bab 16. Selamat Tinggal Anke [ TAMAT ]

95 80 109
                                    

"Selamat pagi, An!" seru seorang laki-laki sembari mendekatiku.

Lamunan panjangku pecah seketika.

Tubuh tinggi dan badan tegapnya mengingatkanku pada sosok Papa. Yang selama lima tahun terakhir belum pernah ku jumpai siluet tubuhnya. Sejak nenek meninggal, mereka kembali lagi ke Bandung hingga saat ini.

"Aku duduk, ya?" Laki-laki itu duduk di sampingku. Ikut menatap surat dari mereka. Tersenyum kecil. Dia meraih lalu memasukkannya kembali ke dalam laci. Aku tahu, dia tidak pernah mau aku teringat dengan mereka lagi. Dan itu adalah cara yang selalu ia lakukan selama ini. Memaksaku untuk tidak melakukan apapun yang pernah kulakukan dengan mereka.

Aku ikut tersenyum kecil. Menatap iris mata kecoklatannya yang semakin bersinar.

Seperti biasa, sejak lima tahun silam. Dia selalu datang ke apartemenku setiap pagi. Membawakan sarapan favoritku. Bubur ayam hangat tanpa kacang di pedagang kaki lima depan apartemen.

"Pagi-pagi sudah melamun, ada apa?" dia bertanya sambil membukakan bungkus bubur ayam. Menuangkannya ke dalam mangkuk.

Aku menggeleng pelan. Dengan cepat aku mengambil mangkuk itu. Perlahan memasukkannya ke dalam mulut sedikit demi sedikit. Pagi ini terasa sedikit berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Terasa hambar.

"Kenapa kau terlihat murung sekali, An?" dia bertanya sambil menatapku lamat-lamat.

"Tidak, aku tidak apa-apa."

"Ayolah. Kau rindu mama dan papa ya? Mau kuantarkan ke Bandung? Atau kita jalan-jalan saja biar kau tidak sedih lagi?" tanyanya membombardir.

"Tidak Will, aku rindu mereka," suaraku tersendat. Menunduk.

Willie terlihat menghela napas.

"Sudah sebelas tahun lamanya mereka pergi An, kau sudah lebih dari cukup untuk mengerti semuanya, untuk memahami semuanya,"

"Tapi aku sungguh rindu mereka Will!" Aku berseru tertahan. Jelas aku mengerti keadaannya. Mereka tidak akan pernah kembali lagi menemuiku seperti dulu. Itu sudah sangat tidak mungkin. Seharusnya kalau mereka mau, mereka bisa kan, ke sini? Ke Batavia dan menemaniku yang selalu sendirian di apartemen. Merenung setiap malamnya. Menatap bintang gemintang serta cahaya lampu-lampu jalanan dari kaca besar di samping tempat tidur. Namun mereka tidak melakukannya untukku. Seandainya saja mereka tidak pergi, meskipun aku berjauhan dengan mama dan papa pun pasti aku akan tetap bahagia.

Aku sudah tidak tahan untuk tidak menangis. Will langsung memeluk tubuhku dengan erat, "Mereka akan datang jika mereka merasa perlu mendatangimu An... " dengan tutur lembutnya, dia selalu bisa membuatku merasa lebih tenang. "kau tak sendirian sekarang An. Kau harus selalu ingat ada aku yang akan menjadi pengganti sahabat-sahabatmu itu," sambungnya.

Will, dia adalah kekasihku selama lima tahun ini. Selama junior dan senior high school bahkan sampai ke perguruan tinggi dia selalu bersamaku, satu sekolah, satu kampus. Entah kenapa, saat berada jauh dari mama dan papa yang tinggal di Bandung, aku selalu merasa dekat dengannya yang selalu menemani aku ke mana pun. Ya, dia menjadi pengganti saat aku tiba-tiba kehilangan semuanya.

Sudah empat tahun ini aku bekerja di sebuah kantor redaksi di Jakarta Pusat. Aku tak pernah ambil cuti atau pun absen sehari pun, entahlah, rasanya sampai saat ini aku masih memerlukan banyak kesibukan untuk melupakan semuanya, entah juga sahabat-sahabatku atau-

"Kalau kau mau, aku bisa mengantarkanmu ke Bandung,"

Aku langsung mendongak. Mataku berbinar-binar. "Sungguh?"

Willie menganggukkan kepalanya.

Ini kesempatan besar, sudah lama sekali rasanya aku tidak menjenguk kota Bandung, kota pertemuanku dengan keempat sahabatku, bahkan kota pertemuanku dengan Willie, bukan?

MAJENUN [SELESAI]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang