Bab 01. Menikah

197 103 63
                                    

Namaku Kumala Dewi Kartika. Aku adalah perempuan pribumi yang saat itu menjadi salah satu orang yang bisa bersekolah pada zaman para Meneer Belanda masih meninggalkan jejak sebagai penguasa tanah hijau yang indah dan kaya. Yang selalu mereka sebut Indonesia. Tepatnya, wanita Jawa yang penuh keberuntungan dapat bersekolah pada masa itu. Yah, walaupun sekolah kami tetap terlambat—kami bersekolah pada umur delapan belas—setidaknya kami masih bisa menempuh pendidikan yang lebih menjanjikan masa depan kami nantinya.

Sebenarnya ibu sempat melarangku ketika namaku dicatat dalam daftar anak yang boleh bersekolah. Namun aku meyakinkan padanya jika aku akan baik-baik saja. Mungkin ibu trauma setelah sebuah kejadian besar menimpa keluarga kami tiga tahun silam. Kejadian ketika Bapak mati tertembak saat hendak pulang dari surau. Sejak saat itu ibu jadi ketat sekali menjagaku, aku di larang keluar rumah di malam hari, di larang ini, di larang itu, hingga usiaku delapan belas. Ibu masih sering mengisolasiku di dalam rumah.

"Nduk, Ibu isih kelingan bapakmu. Ibu wedi ana kedadeyan kaya ngono maneh karo kowe, (Nak, Ibu masih ingat ayahmu. Ibu takut ada kejadian seperti itu lagi terjadi padamu)" Ibu berkata pelan. Memegang lenganku. Tubuhnya bergetar hebat.

"Ibu ora usah kuwatir. Aku bisa ngurus dhewe (Ibu tidak perlu khawatir. Aku bisa menjaga diriku sendiri)" aku berusaha meyakinkannya.

Akhirnya ibu melepasku untuk bersekolah di Batavia di hari terakhir tenggat waktu persetujuan orang tua. Dan sore itu, sebuah sado datang menjemput di depan rumah. Aku memasukkan barang-barang. Lalu menyalami ibu yang berkaca-kaca menatapku di bawah kanopi rumah kami. "Hati-hati, Nduk," Ibu berkata pelan. Aku mengangguk. Memeluk tubuh rentanya sebentar, lantas naik ke atas sado. Melambaikan tangan. Itu perpisahan pertamaku dengan ibu.

Saat aku bersekolah di sekolah yang di bangun oleh bangsa Belanda itu, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang saat itu menjadi anggota militer yang menjaga ketat sekolah pribumi itu. Aku dengannya berselisih umur delapan tahun. Pada pertemuan pertama, laki-laki Netherland yang bernama Berend itu memarahi dan memaki-makiku yang datang terlambat. Kemudian dengan wajah memelas aku meminta perpanjangan waktu agar dapat mengikuti pelajaran pertamaku.

"Saya mohon, Tuan... baru beberapa jam yang lalu saya tiba di Batavia, tidak sempat tidur, baru meluruskan tubuh sebentar, dan langsung di minta berangkat ke sekolah ini.... "

"Siapa yang meminta kau berangkat?" mata birunya menyorot tajam ke arahku.

"Orang yang membawaku untuk sekolah,"

"Bukan dari pihak sekolah, kan?"

Aku menggeleng pelan. Membenarkan ikat rambutku yang miring.

"Berarti bukan urusan kami." pungkas Berend sambil mendelik ke arahku. Langsung membuang muka. Sok-sibuk meladeni beberapa murid lain.

"Tapi ini adalah kali pertama aku bersekolah... " Berend langsung menoleh. Kali ini menatap lebih hangat.

"Lalu?" alisnya sedikit terangkat.

"Aku ingin mengikuti pelajaran pertamaku, Tuan... " aku memohon—sedikit memaksa.

Mungkin, karena melihat wajah menggemaskanku yang sedang menahan tangis di depannya, Berend akhirnya luluh. Memperbolehkanku masuk, dengan syarat, "Tidak ada kata terlambat untuk besok-besok, kau mengerti, Kumala?" katanya dengan bahasa Melayu yang masih patah-patah. Dengan sigap dan tangan memberi hormat, aku menjawab, "Siap, Tuan Berend!"

Bertahun-tahun aku berada dalam pengawasannya, ternyata Berend diam-diam jatuh hati padaku. Anggota militer itu mulai jahil bertanya tentang keseharian wanita pribumi ini saat usianya menginjak dua puluh lima tahun. Aku hampir lulus. Karena takut tidak bisa jauh dariku—mungkin—Berend melamarku dua bulan kemudian. Aku menerima lamaran itu meski sebelumnya ibu tidak menyetujuinya.

MAJENUN [SELESAI]✅Where stories live. Discover now