Bab 14. Janeike Van Dijk

78 77 22
                                    

Setelah badanku terasa segar dan agak enakan. Aku membersihkan diri, sejak kemarin aku belum mandi. Setelah itu aku hanya bermain-main dengan Teddy di kamar, pun dengan boneka barbie yang ku berikan pada Jane tapi tak pernah ia bawa pulang.

Hingga pukul sebelas siang, saat aku hendak pergi ke taman belakang untuk menemui sahabat-sahabatku, wajah-wajah ceria mereka sekonyong-konyong muncul di ambang pintu. Tersenyum manis. Apalagi Sanne, saat tersenyum walaupun wajahnya agak pucat dan dingin, terlihat tambah jelita.

"Maaf An, kami tidak menemuimu dari kemarin, karena aku tahu kemarin kau mau pergi berlibur," kata Sander.

"Tapi tidak jadi. Mari, duduklah." Aku menepuk kasur kosong di sebelahku. Meminta mereka duduk.

"Aku tahu. Semalam kami juga kemari, tapi sepertinya kau sedang terkena masalah yang cukup menguras tenaga, bukan?" Sanne menimpali.

Aku mengangguk pelan.

Mereka tidak lagi membahas masalah itu. Aku sedih setengah kebingungan dengan apa yang terjadi padaku. Sejak pagi tadi, tubuhku rasanya masih terasa kelu. Berat. Hatiku pun begitu. Aku merasa sangat iba pada Lauren Bennett. Sejak pertama kali bertemu dengannya, sekalipun tak pernah aku melihat sorot matanya menjadi orang yang terlihat penuh amarah atau dendam. Sebaliknya, kedua matanya yang sayu itu menyiratkan kepedihan yang mendalam. Kepedihan atas kepergian Mitch, anak semata wayangnya yang mirip Levi itu.

"Kau kenapa melamun, An?" Lucas bertanya pelan.

Aku gelagapan menjawab, "Eh, aku tidak melamun,"

"Hei, ayolah! Kau terlihat murung sekali seharian ini," Sander menimpali. Berhenti memainkan bola bekel bersama Sanne dan Jane.

"Bolehkah aku kembali beristirahat? Rasa-rasanya badanku belum sehat betul. Aku ingin istirahat lagi," kataku memohon.

Lucas mengangguk. Kemudian menggiring semuanya pergi. Sebenarnya aku ingin di temani, tapi aku lebih ingin sendirian saat ini. Aku ingin menenangkan diri. Mengisolasi jiwa yang kehabisan tenaga karena kasus malam tadi.

Sekitar lima menit. Tiba-tiba suara engsel pintu berderit. Seorang pria paruh baya masuk ke dalam kamarku. Papa! Aku berhambur ke pelukannya. Menangis.

"Sayang, kenapa kau menangis?"

"Maafkan aku Papa!"

"Papa baik-baik saja. Lihatlah! Seharusnya Papalah yang meminta maaf padamu An. Karena Papa memarahimu kemarin, kita tidak jadi pergi berlibur ke puncak, dan kau malah jatuh sakit. Papa sangat menyesal, Sayang. Maafkan Papa... "

"Lupakan liburan itu Papa. Aku sangat takut Papa terluka karena aku. Maafkan aku Papa... " Aku terus terisak sambil memeluk lehernya dengan erat.

Setelah itu Mama masuk ke dalam kamar. Mengatakan jika semuanya harus segera di akhiri. Teror-teror Lauren kemarin membuat mama panik bukan main.

"Aku tidak mau di rumah ini terus-menerus ada teror yang membahayakan seperti ini, Berend,"

Papa mengangguk mantap. Matanya menerawang jauh. Kemudian ia berkata, "Mbah Sujiwo, apakah kita memerlukan bantuannya?"

"Ya. Tentu saja, Suamiku. Kalau bukan karena Mbah Jiwo, semua masalah tidak akan pernah selesai malam itu,"

"Omong-omong, bagaimana kau bisa mengenal orang tua itu?"

Aku hanya diam, menyimak obrolan kedua orang tuaku yang cukup serius ini dengan saksama.

"Satu tahun lalu, aku memerintah Siti untuk mencari orang pintar karena telah terjadi keanehan kecil di rumah ini. Siti bergegas mencari, menanyai beberapa orang di sekitar rumah, kemudian ia menemukan orang tua yang bahkan sudah lama mengenal Papimu, dialah Mbah Sujiwo. Dia seorang balian yang andal, selalu bisa diandalkan. Bahkan menurut cerita Siti, dia adalah dukun apa saja. Dukun bayi, dukun santet, dan yang lainnya.

MAJENUN [SELESAI]✅Место, где живут истории. Откройте их для себя