“Lama banget.”

“Hng... udah ganti baju juga, Kak?”

“Udah.”

Rena menelan ludah. “Kak,” panggilnya. Namun Raja hanya mengedikkan alis. “Nanti jangan cek grup OSIS, ya?”

“Hah?”

“Jangan aja—atau kalau mau lihat boleh, tapi jangan tanya apa yang terjadi selama Kakak sakit.”

“Emang kenapa?”

“Enggak apa-apa, sih.”

“Kalau gak kenapa-napa, kenapa lo sampai memohon gini?”

Please?

Raja akhirnya mengalah. “Yaudah,” katanya, kemudian menghela napas pasrah.

Ada senyum lega yang terbit di bibir Rena. “Tadi Kak Haikal chat aku, katanya udah di jalan mau ke sini.”

“Oh, bagus, deh.”

“Kak Raja nggak suka ya kalau ditemenin sama aku?”

Melihat ekspresi muram si gadis, mendadak Raja merasa tidak enak. Maka ia segera membantahnya. Katanya, “Bukan gitu, gak enak aja lo sama gue berdua doang lama-lama.”

“....”

“Renatta—”

Bel rumahnya berbunyi, memotong kalimat Raja. “Itu pasti mereka.” Cowok itu malah melanjutkan kalimatnya ke topik lain.

“Biar aku lihat.”

Kemudian, Rena berjalan menuruni tangga. Bel berbunyi lagi sebelum ia sampai, membuatnya refleks mempercepat langkah. Begitu pintu terbuka, sosok Haikal yang akan menekan bel lagi terpampang di depannya. Di kedua sisinya ada Jean dan Juan.

“Lama amat lo.” Haikal langsung protes.

Renamenggigit bibir.“Maaf....” sesalnya,berusaha menghindari tatapan Juan.

“Kalian masuk aja, Kak Raja udah nungguin di kamarnya. Aku mau pulang dulu, ditunggu ayah.”

“Kak Mahen nyuruh gue anter lo—”

“Gak usah, Kak, aku sendiri aja. Udah pesen ojek online, kok.”

“Tapi—HEH RENAA!!”

“AKU PULANG DULU, KAK, BILANGIN MAAF KE KAK RAJA YA!”

Rena berlari keluar dari halaman setelah berkata demikian dan melambaikan tangan. Berjalan cepat entah ke mana sampai sosoknya hilang ditelan belokan.

Haikal menatapnya kebingungan. Dia menggaruk pipinya seraya menatap Jean. “Dia itu... kenapa, deh?”

“Mana gue tau.” Jean malah mengangkat bahu.

“Tanya Raja aja.”

•••

“Kapan pulang?”

“Raja....”

“Udah mau setahun, Ma.” Raja menghela napas panjang.

“Maaf.”

Raja geming, enggan membalas.

“Soon, Mama pulang ke Jakarta. Oke?”

“Aku mau jawaban pasti, jangan soon terus.”

Ada hela napas yang Raja dengar dari sana. “Kalau sekarang, nggak bisa. Mama ada urusan.”

“Urusan apa, sih? Aku tau Mama lagi nggak ngegarap project apa pun sekarang.”

“Memang bukan tentang pekerjaan. Mama lagi di Paris sekarang, di rumah teman Mama.”

“Mama sempat-sempatnya ke sana. Aku—”

“Boy, dengerin Mama dulu. Ini bakal jadi negara terakhir Mama. Mama janji. Setelah dari sini Mama beneran pulang ke Jakarta. Mama juga udah ngambil hiatus panjang dari pekerjaan.”

“Sama Papa, kan?” Hening yang terjadi selanjutnya membuat Raja mendengus. “Gak usah pulang kalau gak sama Papa.”

“Raja—”

“Sekali aja, aku mau kalian datang bareng, gak masing-masing terus. Bisa? Aku juga mau ngerasain tinggal dengan orang tua lengkap meski sehari.”

Tidak ada balasan dari Mama.

“Aku udah nurutin permintaan Mama untuk bisa mobil, sekarang aku bisa, Ma.” Raja menggigit bibir untuk menghalau isak. Namun entah kenapa, ia malah batuk-batuk lagi.

“Raja, kamu sakit?”

“Kenapa? Mama khawatir?”

“Sayang, jangan gini. Kamu sakit? Sakit apa?”

“Demam.”

“Mama pulang secepatnya.”

“Sama Papa atau lebih baik gak usah.”

“Boy—”

“Ayolah, Ma.”

“Fine. I’ll talk to him. Tapi Mama nggak bisa janji.”

“Senang mendengarnya.”

Raja menghela napas setelah telepon itu tersudahi. Setengah jam yang lalu, teman-temannya pulang. Di rumah ini, ia lagi-lagi sendirian. Karena bosan, cowok itu akhirnya menelepon sang mama. Sebenarnya agak sangsi sebab kini waktu beranjak tengah malam. Tapi akhirnya Mama mengangkatnya.

Janji yang dibuat perempuan itu setidaknya bisa membuat ia sedikit berharap, membuatnya tersenyum meski sesaat, sebab dia langsung sadar kemungkinan untuk terwujud sangatlah kecil. Raja sadar itu, dia tidak boleh berharap terlalu besar jika tidak ingin kecewa. Untuk sekarang, ia akan mengikuti bagaimana hidup ini berjalan.

Demamnya sudah turun. Dan ia mengantuk sekarang.

—Tasikmalaya, 1 Juli 2023—

Glacier | Renjun ✓Where stories live. Discover now