II - Ragu

2 0 0
                                    

Keduanya menikmati udara yang sejuk karena banyaknya pepohonan rindang serta angin yang langsung menghampiri mereka berdua.
Tanpa sadar, bekal yang di bawa Raya juga sudah habis. Gia dan Raya kini benar-benar sangat fokus menikmati udara dan pemandangan yang ada di sekitarnya.

"Kalo gabut gue kesini ah. "

"Dua in. "

Dari mulai duduk, bercerita, hingga mereka bermain dengan kupu-kupu yang ada disana. Akhirnya keduanya lelah dan bertepatan dengan jam yang mengharuskan mereka beranjak dari sana. Raya dan Gia dengan cepat membersihkan sampah atau sisa makanan yang ada disana lalu bergerak menuju mobil Raya. Kelas dimulai pukul 15.00 dan mereka tidak mau ketiduran di taman tersebut karena terlalu nyaman berada di sana.

"Ada juga yang suka main ke sini, Gi. "

"Siapa? "

"Ituu liat ada cowok yang duduk. Emang disini udah adem banget sih untuk lepasin stress. "

"Yaudah berarti lo stress dulu baru kesini. "

"Diem."

Gia tertawa sedangkan Raya langsung menginjak pedal gas menuju gedung FEB untuk menunaikan kewajibannya sebagai mahasiswa, yaitu mengikuti kelas. Semenjak masuk kuliah, Raya sangat rajin masuk kelas. Tidak seperti dulu yang terlewat dua mata pelajaran santainya bukan main.

Baru saja mereka menginjakkan kaki turun dari mobil, keduanya sudah melihat anak kelas satu persatu keluar.

"Tau gitu gue lanjut tidur dah di taman tadi. "

"Lagian salah juga sih kita ga ada yang cek grup kelas. "

Kelas selanjutnya di cancel ke minggu depan dan setelahnya tidak ada kelas lagi, sehingga sia-sia saja penantian mereka menunggu selama 5 jam.

"Lo pulang bareng gue atau gimana? "

"Boleh... "

Diperjalanan menuju rumah Gia, suasana diselimuti sunyi dan sepi. Tidak ada playlist spotify yang diputar ataupun  pembicaraan panjang antara keduanya. Raya fokus menyetir dan Gia berusaha untuk tidak tertidur.

"Gi, gue ragu tapi yakin. "

"Lo sekali lagi ngomong ga jelas, gue lompat dari mobil lo. "

Raya hanya bisa tertawa, pasalnya sebenarnya kesabaran Gia itu hanya setipis tisu dibegi 3. Sangat tipis, namun karena Raya dapat membawa kekesalan Gia kearah yang santai, jadinya Gia jarang marah kepada Raya.

"Gue kenal hoodie cowok tadi. "

"Kita udah ketemu cowok hari ini lebih dari 2 kali, Ray... "
Gia sedikit kesal karena Raya selalu tidak jelas dan setengah-setengah dalam memberi informasi.

"Yang di taman tadi, Gi. Gue inget itu hoodie yang dipake orang yang hampir gue tabrak. "

"Serius Ray? "

"Iya serius, tapi gue ga yakin 100% karena waktu gue hampir nabrak tu orang. Kepalanya ditutup pake bagian atas hoodie yang dia pake."

"Bisa-bisanya lo lupa sama orang yang nyaris lo tabrak. "

"Namanya buru-buru... "

Tidak terasa memang, tapi nyatanya mereka sudah ada di depan gerbang kediaman Gia--- Regia Dinata.

"Kalo ketemu lagi sama tu orang, lo jangan lupa minta maaf. "

"Oceee."

"Thanks tumpangannya, hati-hati lo, jangan ngebut. "

"Ocee."

Gia menoyor kepala Raya, lalu ia turun dari mobil Raya. Dan Raya masih sempat melambaikan tangannya antusias ke arah Gia sebelum ia meninggalkan kediaman Gia.

Perjalanan pulang Raya diisi oleh otaknya yang berpikir keras mengingat bagaimana ciri-ciri orang yang hampir ditabrak nya. Sebab, seharusnya ia turun dan meminta maaf. Karena sesungguhnya, ia menyerempet sedikit orang tersebut. Dan bersyukur nya, orang yang nyaris ditabrak nya tidak langsung marah-marah dan meminta ganti rugi.

"Lain kali gaboleh telat. Ini gue nyari tu orang gimana dah. Ribet bener perasaan."

Rencananya ingin mampir ke toko buku juga dilewatkannya karena berfikir terlalu keras sehingga tidak sadar kalau toko buku langganannya sudah lewat beberapa meter lalu.

********
Rumahnya sepi. Seperti biasa. Dia menenteng alat-alatnya menuju ke dalam kamarnya.
Aneh saat ruangan yang ada di dalam kamarnya tidak terkunci dan pintunya pun sedikit terbuka. Peralatan yang ada di tangannya langsung dijatuhkannya dengan cepat dan ia segera berlari membuka ruangan tersebut.
Benar saja, lukisan yang ada di sana sudah robek di mana-mana dan banyak coretan di atas lukisan.

Marah. Dia marah. Dia langsung bergegas turun dan mencari dalang dari kekacauan yang terjadi.

"Ada ap--? "

"Dimana? "

"Siapa nak? "

"Dimana?!"
Bentak nya pada wanita paruh baya yang bekerja di rumah tersebut.

"Kenapa? "

Rangga hampir saja berteriak kembali, namun niatnya di hentikan oleh suara yang berasal dari kamar utama yang berada di seberang kamarnya.

Ia menatap tajam kearah sumber suara tersebut. Orang yang ditatap menuruni satu persatu anak tangga dengan tatapan yang tidak kalah nyalang ke arah Rangga.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Rangga. Hanya ada tatapan tidak suka melihat pria paruh baya yang sedang berjalan ke arahnya.

"Jangan sentuh lukisan saya. ", ucapnya penuh penekanan.

"Lukisan mu buruk. Kamu tidak punya bakat. Harusnya kamu sadar diri."

Lawan bicaranya menanggapi dengan santai dan nada yang datar.

"Sudah saya bilang, kamu lebih baik melanjutkan pendidikanmu di New York. Dan mengabulkan wasiat dari nenek mu."

"Jangan sentuh lukisan saya! Bisnis anda bukan urusan saya."

"Kurang ajar! "
Lelaki paruh baya tersebut memukul meja kaca yang ada di dapur hingga vas bunga yang ada di atasnya jatuh dan pecah. Sedangkan yang diteriaki hanya berlalu dan kembali masuk ke kamarnya.

Pekerja yang berada di dapur langsung membereskan kekacauan yang ada di sana. Sedangkan di kamar, Rangga berusaha menenangkan dirinya agar tidak panik dan memikirkan cara mengembalikan lukisan-lukisannya kembali seperti semula.
Ia sangat menyayangkan hasil karyanya yang sekarang seperti lukisan abstrak yang tak berarti. Dan juga ia mengasihani dirinya sendiri yang tidak mampu berbuat apapun untuk lukisannya.

"Bajingan! "
Ia menggeram dalam ruangan tersebut. Satu yang menjadi pegangannya, ia tidak boleh tersulut emosi dan masuk kedalam alur yang dibuat oleh pria jahat yang menjadi papa nya sendiri.







You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 09, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CanvasWhere stories live. Discover now