Prolog

17 2 0
                                    

Bukan tidak lelah ia berlari di koridor sekolah, namun tetap saja saat tiba didepan kelas, pintu kelasnya sudah ditutup yang menandakan Bundadari kesayangan Gia sudah masuk.

"Buat apa disesali, mari kita makan. "
Apalagi yang akan dilakukannya selain menuju ke kantin. Raya akan memborong makanan yang ada di kantin untuk menuntaskan kekesalannya. Prinsip hidupnya, 'kesel ya makan, gausah marah-marah ke orang'

Ia berjalan melewati kelas yang berjejer saat menuju kantin. Selalu ada satu kelas yang mencuri perhatiannya, tidak lain dan tidak bukan adalah kelas unggulan. Sangat tenang, tidak ada terdengar keributan atau grasak grusuk seperti di kelasnya. Suara hanya terdengar pada saat tanya jawab. Saat itulah kelas unggulan akan menjadi kelas yang paling berisik.

"Keren kali ya, Hiraya Manawari masuk kelas unggulan. "
Raya bermonolog pada diri sendiri saat berhenti di depan kelas-tepatnya di depan salah satu jendela kelas unggulan tersebut.
Desas-desus yang berkembang di dalam sekolah, anak unggulan berisi 'boneka' para orangtua mereka. Sekolah yang dipilih oleh orangtua Raya bukan sekedar SMA pada umumnya, persaingan dan gengsi disana sangat gila-gilaan. Dan pastinya kecurangan untuk masuk ke kelas yang ada dihadapannya ini sudah banyak tercium oleh banyak orang termasuk media. Namun, ia tau bagaimana lihainya para petinggi yayasan untuk menutup rapat-rapat semua media.

Namun, bagi orangtua Raya kelas unggulan, kelas reguler, atau kelas kelas yang lainnya tidak berpengaruh jika pengajarannya tidak baik. Orangtuanya memasukkan Raya ke sekolah tersebut semata-mata karena fasilitas yang lengkap serta konsep belajar dan pengajaran yang dikenal sangat bagus. Untuk peringkat ataupun tingkatan kelas, orangtuanya tidak pernah protes kepada Raya. Raya juga tidak semena-mena langsung menganggap itu angin bebas, ia tetap berusaha minimal untuk tidak berada di urutan 5 terakhir di kelasnya.

"Sebenernya gue pinter, cuma gak mau pamrih. Anti-pamrih gue orangnya mah."
Kurang lebih seperti itulah pepatah yang selalu dikeluarkan Raya. Hidupnya sangat diusahakan untuk tetap santai dsn tenang agar tetap terkendali dan tidak melenceng dari aturan-aturan yang ada.

"Ga ada bedanya sih dari kelas gue. Muridnya juga pake seragam yang sama, manusia yang bisa bernafas dan makan. So...gausah terlalu diambil pusing."
Raya melanjutkan perjalanannya menuju kantin dengan menggendong tas ransel di punggung nya. Sia-sia pengorbanan kepalanya yang saat di dalam mobil terantuk dengan langit-langit atas mobil demi mengerjakan 10 soal fisika.

"Pagi Ibu Umi dan Abang Jo...."
Terlihat seperti sahabat karib, karena setiap bulan selalu ada hari di mana ia akan melarikan diri di kantin karena telat. Bu Umi adalah pemilik kantin di sekolahnya dan Bang Jo-Paijo, adalah adik Bu Umi. Kantin harus memiliki satu pengelola dan wakil, kalau-kalau pemimpin yayasan meminta pembukuan keuangan. Kantin dikelola dan dipikirkan matang-matang oleh pihak yayasan karena sebegitu ketatnya pengawasan di sekolah tersebut. Sebenarnya dengan Raya berada di kantin pada saat jam pelajaran saja sudah merupakan bentuk pelanggaran sedang. Namun karena ia sedikit suka sok asik dengan orang-orang, jadinya ia sangat diterima oleh Bu Umi dan Bang Jo.

"Telat lagi nak? "

"Hehe, bakso, mi ayam, batagor. Masing-masing satu ya Bang. Cilor available ga Bang? "

"Menu hari ini ga ada Cilor sist. "

"Oh yaudah deh, minum nya pocari aja satu botol ya bang. "

"Segera meluncur.. "
Bu Umi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya yang seperti bestie tersebut.

Kantin boleh elit, tapi jajanan kaki lima harus tetap ada. Sayangnya, menu akan berganti seriring berganti hari. Tetap saja jajanan seperti batagor atau cilor dan lainnya tidak setiap hari ada, atau bisa saja di ganti menjadi pecel dan lainnya.
Biasanya siswa akan mengantri rapih dan mengambil makanan yang diinginkan sendiri seperti prasmanan. Namun Raya menggunakan kartu VIP, dimana dia hanga duduk dan mengatakan apa yang ingin dia makan. Kartu VIP adalah kartu khusus siswa yang sudah sangat dekat dengan Bang Jo.

"Hehe, makasih Bang. Barcode dulu dong. "
Tetap, karena bukan cathering harian, maka jajanan atau makanan yang ada di kantin harus dibayar. Keunggulannya ada pada cashless. Namun bisa juga dengan tunai.
Bang Jo menyodorkan papan barcode kecil kepada Raya, lalu Raya mengeluarkan ponselnya dan segera men-scan barcode tersebut.

"Terimakasih abang zheyeng... "

"Sama-sama bestie, met mam yah"

Jamet kabupaten memang. Dibalik tampang dan sikap jamet nya, Bang Jo sangat mahir pada kepiawaian rasa pada lidahnya. Makanan yang dijual dan diedarkan di kantin harus melewati seleksi rasa di lidahnya.

Raya menikmati makanan yang ada didepannya. Dia benar-benar tidak ambil pusing dengan kelas yang dilewatkan nya.
"Wah enak banget lo ga masuk kelas bu Dian."
Karena terlalu asik dengan makanan dan saluran channel youtube yang menemaninya makan, ia sampai tidak sadar bahwa suara bel istirahat sudah berbunyi sedari tadi.

"Diem. Gue kemusuhan sama hari ini. "

"Ah elah ga asik lu." Gia anak kesayangan bu Dian berdiri dan memesan makanannya. Waktu istirahat tidaklah lama, hanya belasan menit.

Saat ini mereka sudah harus berjalan menuju ke kelasa agar tidak ada lagi kelas yang terlewat hari ini. Suasana hati Raya sudah mulai membaik karena banyak bercerita dengan Gia, yang notabene nya memang setiap hari bergosip dengan Raya.

Antara Raya yang keasikan cerita dengan Gia atau memang orang didepannya yang terlalu buru-buru untuk jalan. Orang itu menubruk bahu Raya cukup kuat hingga badannya harus di tahan oleh Gia. Ia juga tidak sengaja menjatuhkan ponsel Raya yang digenggamnya.

"Duh, santai aja ngab. Ini orang bukan tembok. "

"Hadeh...jalan tu pake mata!"
Randi, anak kelas sebelah seangkatan dengan Raya tetapi bukan penghuni kelas unggulan.

Koridor di depan kelas unggulan ramai seketika karena suara Rendi yangengan sedikit nyaring.
Rendi termasuk dekat dengan Raya, mereka sering kumpul dengan Raya dan Gia. Adik Rendi juga sering belajar make up dengan Raya dirumah Raya.
"Lo gapapa Ray? "
Rendi menghampiri Raya yang masih sedikit kaget dengan kejadian barusan lalu Raya mengangguk sambil melirik laki-laki yang ada didepannya.

Tidak ada respon ataupun permintaan maaf, bahkan yang menubruk nya malah diam dan langsung meninggalkan ketiganya.
"Anak kelas unggulan tu, mabok belajar mungkin. " Rendi tertawa diikuti dengan Gia yang juga sering menyenggol anak unggulan yang terlalu ambis bahkan meninggalkan jam makan.

"Anjir, HP lo ancur begitu kayak adonan."
Pekik Rendi kaget karena Raya baru sadar dan mengutip ponselnya yang jatuh akibat kejadian tadi.

"Mata nya dua, tapi ga dipake, mendingan kasih sama yang lebih membutuhkan. Buru-buru sih oke, tapi minimal minta maaf. Gila. "
Gia jadi tersulut emosi, karena memang ponsel yang dikutip Raya, layarnya sudah terpisah menjadi dua bagian semu.

"Yaudahlah, mungkin dia ga sengaja."
Hancur sudah suasana hati gadis berperangai manis tersebut. Percuma juga dia memaki, toh anak unggulan terlalu gengsi untuk minta maaf dan mendengar omongan orang lain.

Rambutnya langsung ia cepol asal karena sudah terlalu gerah dengan keadaan. Ia juga meninggalkan Gia dan Rendi yang masih ikut kaget sambil mencebik kesal. Goodbye ponsel lama, welcome ponsel baru.

Tbc...

CanvasWhere stories live. Discover now