BAB XI PROTAGONIS ANTI-HERO

46 11 6
                                    

#Bagian 1

Bisa dikatakan kalau suasana saat ini sudah seperti Konferensi Meja Bundar PBB. Aku duduk di kursi panjang di samping Hani, sementara Nazam dan Aldi duduk di depanku. Tadinya Kakak duduk di kursi pendek, tapi sekarang dia sudah pergi dan menyerahkan sepenuhnya masalah ini pada anak muda.

Anak muda, katanya.

Jika aku yang masih anak-anak sudah di sebut anak muda, lalu dia apa? Lansia?

"Sudah aku duga, aku harus menghadapinya secara langsung. Sekarang juga."

Mendengar omong kosong dari orang di hadapanku—Nazam—aku mengernyit dan segera menepuk lutut. Tadinya aku berniat untuk menarik perhatian dengan berlaku seperti itu, tapi aku lupa kalau aku punya memar di paha kiriku. Tadi itu benar-benar sakit.

"Apa kau bodoh? Kau harusnya belajar dari penelitian yang telah aku buat meskipun harus mengorbankan tubuhku ini!" aku mengeluarkan suara membentak dan menatap sengit orang 'goblog' di depanku. "Orang itu sudah tak bisa berpikir lagi. Kau hanya akan berakhir dipukuli jika menghadapinya lewat jalan depan."

"Lalu kita harus apa?"

"Makanya aku bilang kita akan membahasnya di sini."

"Terlalu lama. Kita harus mengambil tindakan sesegera mungkin, tak peduli apapun risikonya."

"Oi! Apa kau lupa kalau kau itu seorang 'ketua kelas'? Apa kau masih ingat dasar ideologi negara kita? Apa kau lupa tentang 'hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan'? Kau harusnya jadi orang yang paling tahu kalau itu kalau membahas sesuatu bersama-sama itu adalah yang terbaik!"

Biar aku jelaskan secara singkat, kenapa aku dan Nazam bisa sampai ke pertengkaran ini.

Setelah aku mandi dan melakukan sarapan super cepat, kami—aku, Aldi, Hani, dan Nazam—berkumpul di ruang tamu. Ketika Kakak sudah pergi, aku pun menjelaskan segala situasinya pada orang itu. Aku bermaksud untuk mengutarakan niatku tentang pembagian tugas.

Namun, dengan emosi yang meluap-luap, Nazam memotongku ketika aku selesai menjelaskan situasi Hani dan ayahnya. Dia membentakku dan bertanya, kenapa aku tidak pernah bilang tentang hal ini padanya. Aku benar-benar kesal ketika dia berniat untuk mengatasi masalah ini sekarang juga dan melewati penjelasanku yang belum selesai.

"Kau tahu? Aku juga sudah mengambil risiko, dan inilah hasil yang aku dapat." Aku menunjukkan luka-lukaku pada Nazam. "Ini sama sekali tak setara dengan hasil yang kita terima. Aku sangat yakin kalau kita harus melakukan beberapa pendekatan dulu..."

"...Dan membiarkan kembali Hani terluka?"

Sekarang aku benar-benar ingin menjahit mulut orang ini.

"Kau! Kau kira aku tidak ingin Hani bebas dari semua masalah ini? Kau kira buat apa aku sampai babak belur seperti ini? Apa kau mengerti? Aku kira kau itu lebih pintar dariku dilihat dari nilai ulangan, tapi nyatanya kau jauh lebih tolol dariku bila secara aplikasi." Aku menepuk meja dan menatap Nazam dengan penuh intimidasi.

Meski begitu, wajah anak itu sama sekali tak melunak. "Kalau begitu, biarkan aku mencobanya."

"Sudah aku bilang kalau kemungkinan behasilnya itu benar-benar kecil."

"Kita tak akan tahu sebelum mencoba."

"Kita tahu kalau kita terjatuh dari lantai 10 suatu gedung, kita akan mati meskipun kita belum pernah mencobanya!" jujur, aku sangat membenci kata-kata tidak logis itu. "Kita hanya akan menghabiskan sumber daya dan tenaga bila terus-terusan mencoba tanpa perhitungan!"

"Meski begitu, aku tetap akan melakukannya." Nazam mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat seolah-olah dia sedang menahan amarah. "Meskipun tidak membuahkan hasil, aku akan terus mencobanya. Aku akan terus mencoba sampai orang itu lelah dan menyerah. Aku tahu kalau ada cara lain yang lebih aman, namun sebelum aku memilih cara lama seperti itu, aku akan terus mencoba sampai peluang keberhasilannya menjadi minus 100%."

Gadis Berpayung SenjaWhere stories live. Discover now