03|

83 24 22
                                    

VANSEN hampir salah menghujamkan kapak tatkala gendang telinganya menangkap resonansi namanya dipanggil bersahutan dengan gonggongan anjing. Enggan melihat, apa lagi menyahut, ia lebih suka berpura-pura tuli. Cara terbaik yang dimiliki, meski kecil kemungkinan akan berakhir sesuai harapan.

Suara itu kian banter dan dekat, lalu sepersekian detik beralih menjadi lolongan panjang yang mengganggu.

Demi meredam suara-suara tidak menyenangkan itu, Vansen mengerahkan tenaga dua kali lipat. Harap-harap mereka bakal balik badan setelah dapati targetnya sedang sibuk sekali.

Kapak diayunkan sekali lagi hingga kayu di hadapan terbelah dua. Jujur, Vansen hampir tidak pernah melakukan pekerjaan semacam ini ketika masih tinggal di London. Di sini, ia melakukannya sebagai bentuk kewajiban untuk membantu Ayah dan Mary. Tidak begitu berambisi ingin membelah semua tumpukan kayu gelondong yang dikirim tadi pagi, tetapi berkat suara-suara itu Vansen jadi semakin berapi-api dan tidak ingin beranjak pergi.

Intuisinya bekerja dengan baik, Vansen bisa merasakan kehadiran dua manusia yang kerap ia hindari bersama anjing mereka di belakang. Sadie Collins dan Jimmy Collins. Lagi.

Mereka yang berusaha Vansen abaikan seperti makhluk tak kasat mata. Mereka juga yang selalu ingin Vansen sentil jauh-jauh selama seminggu belakangan. Namun, itu tidak pernah berhasil, sebab mereka selalu punya sesuatu yang berhasil menarik atensi dan sahutannya.

"Banyak sekali kayu yang sudah dibelahnya, bukan?" Sadie Collins berbisik kepada adiknya. Terlalu keras, bahkan bisa terdengar sampai jarak lima meter. "Dia orang yang pekerja keras. Tidak sepertimu, baru mencangkul tanah satu meter sudah istirahat minum limun."

Heran betul. Apakah mereka tidak memiliki pekerjaan?

Tertawa sinis, Jimmy Collins membalas, "Siapa pun tahu kalau mencangkul dan membelah kayu adalah dua pekerjaan berbeda. Perbandinganmu tidak sama, Sis."

"Oh, ya? Kurasa itu selaras karena sama-sama mengerahkan tenaga fisik, aku benar?"

"Kau salah, skalanya jelas berbeda. Dan kata siapa aku cuma mencangkul tanah satu meter, lalu duduk-duduk? Tidak usah hiperbola, deh." Jimmy memutar bola matanya, lantas menegakkan tubuh dengan angkuh. "Aku ini ibarat cheetah dewasa yang sudah hafal dengan seni bertahan hidup, sedangkan dia masih jadi bayi cheetah yang baru belajar bagaimana kerasnya hidup. Tidak sama."

"Kau menyebut dirimu profesional?"

Jimmy nyengir. "Kurang lebih begitu. Aku senang kau mengerti."

"Kau tidak bisa membedakan pertanyaan dan pernyataan atau tuli, sih? Pasti karena kau sering mendengarkan musik sampahmu," ujar Sadie yakin. "Kalau begitu, aku akan menjual radiomu dan meminjam sekop Ayah untuk mengorek telingamu nanti."

"Biar aku tekankan padamu bahwa itu musik favoritku, semangat hidupku, dan bukan sampah." Jimmy berujar tegas, tidak senang dengan sarkasme Sadie yang tiba-tiba menyerempet ke musik favoritnya.

Sadie mencondongkan tubuh dan menyipit. "Itu hal mengerikan yang pernah kudengar."

Jimmy ikut-ikutan menyipitkan mata saat beradu pandang dengan saudarinya, tangannya terlipat di dada. "Hmmp." Ia bergumam-gumam sebelum melanjutkan, "Sepertinya tetangga kita—Mr. Sullivan muda—sudah jadi laki-laki favoritmu sampai kau tega menjelek-jelekkan aku di depannya. Sudah kuduga dari awal kalau kau bakal jadi perempuan genit."

Meletakkan tangan di pinggang, Sadie membalas dengan nada defensif, "Jangan konyol! Aku tidak genit!"

"Terus?" ejek Jimmy. "Centil?"

Vansen berbalik badan hanya untuk melihat presensi kedua kakak-beradik yang masih adu mulut (membuat telinganya gatal). Secara terang-terangan, Vansen mengusir keduanya tanpa peduli tata krama, "Nah, nah, sebaiknya kalian berdua pergi jauh-jauh dari sini!" Melirik anjing di dekat kaki mereka, Vansen segera meralat, "Maksudku kalian bertiga!"

Little FlowerWhere stories live. Discover now