02|

90 26 19
                                    

MUNGKIN sinting, mungkin juga dungu, atau mungkin kombinasi keduanya. Vansen tidak mengira bahwa ketukan di pintu bisa terdengar begitu menjengkelkan hingga membuat kepalanya nanar. Berpikir tinggal di desa akan jauh lebih baik ketimbang tinggal di kota ternyata adalah sebuah kesalahan besar. Jujur saja, empat hari sejak kepindahannya ke tempat ini tidak ada lagi yang namanya kedamaian dan ketenangan, lebih-lebih dua penguntit yang berkedok tetangga begitu menambah semaraknya sakit kepala.

Oh, setidaknya baru dua. Semoga saja tidak berkembang biak.

15 menit sudah pintu rumahnya diketuk-ketuk tanpa lelah. Serius! 15 menit! Awalnya Vansen pura-pura tuli, ia menarik selimut untuk menutupi kepala dan memilih tidur. Ia pikir orang itu akan pergi di menit pertama saat tak ada sahutan atau mungkin di menit kelima paling lama, tetapi rupanya tidak. Tamu ini berbeda dan sangat memaksa.

Pintu rumahnya diketuk-ketuk, jeda, diketuk-ketuk lagi, jeda lagi, lalu diketuk-ketuk lagi. Begitu terus sampai Vansen mengerang keras di atas kasur, berguling ke tepian dan akhirnya bangkit dengan perasaan dongkol.

Ayahnya pergi pagi-pagi sekali bersama pengacaranya untuk mengurus estate yang rencananya akan diinvestasikan. Sementara tukang masaknya—Mary—yang baru tiga hari bekerja di rumahnya menghilang entah ke mana, menyisakan dirinya bersama suara ketukan di luar sana.

Vansen berjalan hampiri pintu. Heran betul, memangnya hal mendesak apa sih yang membuat orang di balik pintu begitu keras kepala ingin tetap bertamu? Siapa pun yang ada di balik pintu, Vansen yakin sekali dirinya tidak akan suka.

Tangannya menggenggam erat kenop pintu, sengaja menjeda waktu untuk mendengar dengan seksama suara ketukan di luar sana. Di saat bersamaan, ingatan hari kemarin tahu-tahu singgahi isi kepala.

Tunggu sebentar.

Jangan-jangan gadis itu.

Rahang Vansen praktis mengetat. Wajahnya galak. Gadis ini senang sekali cari perkara, gerutunya. Sudah ada lusinan cercaan yang mulai terjalin di dalam kepala untuk gadis menyebalkan yang diyakininya ada di balik pintu.

Vansen membuka pintu bersamaan dengan bentakan nyaring.

"Kau!"

Sekelumit amarahnya tersembur, tetapi lekas terhenti karena presensi berbeda yang tertangkap di mata. Vansen diam sejenak untuk memandangi penampilan si tamu dari atas ke bawah, lalu dengan cepat dahinya berkerut. Si celana monyet. "Kau yang kemarin lusa mengikutiku, 'kan?" tuduh Vansen.

"Ingatanmu bagus sekali, Bung." Pemuda itu tersenyum culas, tidak mau repot-repot menyangkal. Ia kemudian memperkenalkan diri tanpa diminta, "Jimmy Collins."

Oh, Tuhan. Sekarang Vansen sudah bertatapan langsung dengan dua penguntitnya. Hebat. Sebuah keberuntungan yang sangat luar biasa. Ha ha ha.

Sial!

"Dan kau pasti Vansen Sullivan dari Inggris," sambungnya.

Wajah pemuda itu tampak riang, berlainan dengan Vansen yang tampak keruh. Bagaimana cara mendeskripsikan Jimmy Collins? Ah, begini: pemuda itu aneh, menyebalkan, tidak waras, culas, dan tengil. well, itu masih deskripsi awal dalam sekali pandang, bisa jadi jauh lebih buruk.

"Jika kau ingin bertemu dengan ayahku, sayang sekali waktumu tidak tepat, dia sudah pergi. Jadi, kembali lain kali saja." Vansen jelas mengusir, tetapi tidak ada tanda-tanda Jimmy Collins akan angkat kaki, hal itu membuat Vansen menggerutu dalam hati. "Tetapi setelah kupikir-pikir," kata Vansen, "lebih baik jangan kembali lagi."

"Jelas kau tuan rumah yang sangat ramah. Biarkan aku melihat-lihat dekorasi rumahmu."

"Maaf sekali, tetapi rumahku bukan museum. Sekarang mulailah telusuri jalan pulangmu dan akan kupastikan untuk menyampaikan salammu kepada ayahku."

Little FlowerWhere stories live. Discover now