BAB 2 - Hujan di Rumah Sederhana

12 1 0
                                    

Sehari berlalu, hanya tinggal sisa baki 1 hari lagi sebelum Yanto akan memulai kerjanya seperti sediakala. Sebaik pulang dari rumah, aku menyimpan barang-barang Fiyan di almari pakaian. Kanda turut membantuku mengerjakan tugas yang sedikit berat ini atas kerana aku tidak mampu lagi dapat bergerak selalu. Waktunya terasa sebentar saja, tidak lama lagi rumah yang kami bina ini akan meriah atas kelahiran cahaya mata pertama, dan akan menyusul anak-anak kecil setelahnya.

Cukup saja membangunkan sebuah rumah sederhana yang nyaman dan selesa untuk didiami anak dan isteri, terletak di pendalaman desa dikelilingi alam dan jauh dari suara-suara berisik.

Akhirnya, Yanto bangun dari bersila. Selesai memberes pakaian-pakaian dan barangan keperluan bayi seorang Fiyan di almari antik ini. Hari demi hari, rasa tidak sabar terhadap kelahiran anak kecil ini menjadi satu kegelisahan dan bahagia di dalam masa yang sama. "Ayo, kita ke luar mencari mam, dinda sayang." ajak kanda, aku mengumam bibir memikirkan sesuatu. "Kanda pergilah beli, dinda tunggu di rumah, ya? Sebentar saja, kan?" Yanto menggeleng kepalanya pula, "Adinda hamil, sendirian di rumah.. mending ikut kanda sekalian bisa jalan-jalan ambil angin sayang."

"Dinda letih kanda sayang, perut dinda terasa berat sangat. Kita mam saja di rumah ya dan bereskan apa yang perlu."

"Yasudah kalau begitu. Kanda izin berangkat ke toko ya, tunggu kanda sampai pulang.. jangan berani keluar, awas istriku." kanda menajamkan matanya, saat ini aku sudah mulai terkekeh ketawa perlahan. Kemudiannya dia pergi mengapai kunci motornya dan berangkat. Sekarang hanya tinggalkan keheningan sebuah rumah yang mengundang rasa sedih yang duka. Perasaan yang sedikit sedih, bercampur baur rasa kegabutan membuatkan aku berpandangan sesama rumah sendiri.

Kamar ini kamar sederhana juga, bertembok luas dan bersiling tinggi. Terletak di samping ruang tengah, kami punya pintu dan jendela yang tidak biasa, iaitu klasik sekata lama dan antik. Bahkan sebuah ranjang kasur atau katil selesa, diselubungi cadar putih suci seperti tirai malam beradu. Kamar tidur tempat beristirahat, tempat dimana menjadi diri sendiri, sebuah tempat yang ternyaman sekali. Bahkan memiliki banyak kerinduan yang menyedihkan terhadap masa lalu yang menyenangkan.

"Adinda."

Aku memandang pintu kamar dengan kaget. Ternyata Yanto sudah pulang dari luar. "Kenapa kanda panggil dinda ta jawab?" hening seketika, "M–maaf kakanda.. kanda sudah pulang ya.. kanda beli apa kekasih?" aku bangun seraya menyentuh perut menghampirinya, maka Yanto pun berkerut dahi atas jawapan selamba dariku.

"Sayang kenapa dinda?"

Sebuah kantong putih berisi makanan di dalamnya ku lirik sepenuhnya. Terlihat ia membeli nasi di dalam bekas coklat, dua minuman air dan susu bersama roti.

"Dinda baik-baik saja di rumah tadi? Dinda, kanda tanya ini."

Lalu ku simpulkan senyuman manis tanda terima kasih akan Yanto. Aku mendengar soalan-soalan itu, tapi aku biarkan sahaja kerana aku sedar aku sedang di dunia sendiri sebentar tadi. Wajah kanda terlihat dingin, matanya tajam menajam seperti helang, kantong sudah bertukar tangan. Aku menjengket kaki dan mengucup pipi kanda sedikit lama. Syukur, kakanda masih ingat membelikan ku roti dan air.

Santapan waktu sore akhirnya tiba sewaktu hujan juga membasahi tanah Jawa. Sakingnya hujan yang begitu lebat mengeluarkan petir, aku bergeser ke peha kanan Yanto. Perutku diusap kanda melewati pinggangku, "Kanda akan temani dinda selalu.. di sini adinda punya kanda.. mengadulah ke kanda apapun yang dinda mau. Kanda akan memahami setiap adunya.." bisik kanda di telingaku atas kerana suara hujan yang keras. "Apa kanda pernah merasakan suamiku..?" soalku mendongak menatap wajahnya. "Apa istriku? Heem..?" jawabnya menongkat kening.

"Perasaan disaat kanda bersama wanita digelar isteri kanda, jauh dari negara tanah airnya dan mengikuti kanda menetap jauh dari semua orang. Hanya kalian berdua mengetahui segala tentang kalian.. sehingga kanda memikirkan bagaimana jika kanda kehilangan seseorang yang berharga di dalam jiwa kanda.. hanya kerana kanda terlalu mencintainya dan menyayanginya..?" tergantung sepi soalanku, deruan air hujan kedengaran di telinga, kanda menatap mataku dengan dalam sekali. Lalu aku menunduk meneruskan santapan nasi yang dibelinya.

"Jangan ngomong seperti itu lagi, adinda sayangku." kanda menentang mataku. Salah langkah, masalah jawabnya.

"Doakanlah kanda dipanjangkan umur dan dimurahkan rezeki selalu.. kanda mendoakan semoga kita bersama selamanya meski umur menghalang kita.. sesudah nikah selepas terpisah negara serumpun, kanda ta tega lagi rasakan lagi, sayang.." jelasnya lagi berbisik perlahan. Berderau darahku mengalir dari tubuh badan. Mengingati saat-saat yang lalu membuatkan aku tak ingin menerima untuk berpisah lagi sekali. Siapa saja yang akan terima walau sementara pisahnya? Kata-katanya istimewa.

"Hari sebelum kanda masuk kerja, bantu kanda seterika dan sediakan kaos serta celana kanda, ya? Bekalkan sarapan apa mam jika adinda kurang lelahnya, sayang."

"Nggih, kakanda." jawabku seusai lama berdiam diri.

Yanto membiarkan kedua-dua pintu rumah terbuka supaya angin menerpa masuk sejurus selepas itu. Lalu dibawa ember berwarna putih atas permintaan ku diisi air di dalamnya, satu kain kecil bertujuan untuk membersihkan kabinet di ruang tamu. "Jika ada apa-apa panggil kanda ya." aku menurut tersenyum, Yanto kembali ke hujung pintu dapur, di sana terdapati ruang sebatas dari dapur. Iaitu ruang membersih sekata mencuci kain yang dikelilingi tembok tanpa bumbung.

Aku melanjutkan kerjaku yang tergendala, membersih kabinet pastinya kayu dan berkaca. Jam menandakan 05:24 bahawa sudah benar-benar sore. Suasana yang hujan menjadikan ia seperti senja merelop, tidak hentinya langsir jendela ditiup pawana luar yang deras. Kanda selesaikan jemuran pakaian, ember diisi air disiram ke tanaman. Aku merenggangkan tubuh, mencuba untuk bangun dari terduduk di lantai. Lalu suara keras Yanto sedang berteriak dari pintu ruang cuci kedengaran di telingaku.

"Jangan bangun dinda."

"Kenapa kanda sayang? Dinda sudah selesai."

Dia menghela nafas yang terberat sekali seraya membongkok mengelap air di lantai. Oh, ternyata masih ada sisa baki air sebelum dibawa padah. Tercengang aku memandangnya tanpa mengelip mata pun.

"Nah, kan. Kanda sudah peringat berapa kali sayang. Ayo bangun, pegang kanda." aku menyentuh lengannya, lalu kami bersama-sama ke ruang cucian, menatapi jemuran yang baru diselesaikan. Yanto membongkok lagi sekali seraya membasuh kakiku yang sedikit kotor.
"Sebentar lagi senja, apa kita mau keluar sebentar lagi kanda? Perut dinda masih lapar tau, lapar yayam gunting." kanda beriak kosong padaku.

Kemudian dia meneruskan kerjanya lagi. Suasana menjadi lengang sementara sebelum aku menepuk belakang badan kanda dengan kuat.

"Kanda!"

"Aa–aduh..! Aa..aa jangan dinda..!"

Aku tertawa keanak-anakan melihat Yanto kaget setelah belakang tubuhnya ditepuk olehku. Pantas digendong tubuh badan ku dengan drastik. "Lapar yah? Lapar, yah? Ayookk!" aku tertawa lagi menyandar di bahunya.

Ningsun KakandaWhere stories live. Discover now