last

20 1 0
                                    

Langit malam cerah, bintang-bintang bersinar seakan berlomba untuk menjadi yang paling terang. Menara astronomi yang terletak di bagian paling atas kastil Hogwarts menjadi tempat yang cocok untung merenung. Regulus berdiri pada pembatas besi,  seluruh halaman Hogwarts terlihat, pemandangan yang menenangkan.

Enam tahun yang lalu, Regulus datang sebagai seorang bocah cilik berbaris bersama seratus orang lainya. Perasaan bahagia masih terasa saat Topi seleksi menyortir nya ke Slyterin, saat pertama kali dalam pelajaran terbang, angin lembut yang menyentuh tangannya waktu itu seakan datang untuk membantu mengingat kembali dengan jelas. Lapangan luas dengan beberapa gawang tinggi terlihat, tempat yang membuat api semangatnya berkoar, tekad menang bersama tim-nya akan menjadi hal yang membanggakan. Lorong-lorong yang biasanya penuh oleh anak-anak kosong dan sepi.

Regulus teringat ramalan profesor Trelawney pada kelas pertamanya, ternyata semua itu benar. Ia menjadi anggota termuda sebuah komunitas yang mereka juluki sendiri 'death Eater (pelahap maut).

"Ada yang ingin dibicarakan, kawan." Seorang remaja yang hampir serupa dengannya muncul, Sirius.

Mereka berdiri tanpa bicara ataupun menatap satu sama lain. Rasanya canggung sekali. Satu tahun yang lalu, Sirius melarikan diri dari rumah, ia resmi dikeluarkan dari pohon keluarga. Ibunya sendiri yang membakar namanya.

Kedua saudara itu bagai orang asing saat disekolah, bahkan Sirius menyuruh Potter agar tidak menggangunya lagi, menjadikannya tidak bertemu satu sama lain.

Sirius berdehem pelan, "kenapa kau memintaku datang?" Regulus melirik sebentar, lama sekali mereka tidak berinteraksi. Sirius mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya, "aku lupa makan ini, kau bilang tidak menyukainya, kau bukan tidak suka—tapi belum mencobanya." Sirius memberikan sekantong coklat—segala rasa yang sebenarnya sengaja ia beli.

Sirius tau Regulus adalah seorang pemilih dalam makanan, hal yang masuk pada perut adiknya mungkin setara dengan setengah porsi sarapannya. Orang tua mereka mengajarkan, jangan terlalu kenyang saat makan, kekenyangan membuat seseorang mengantuk dan tidak bisa berkonsentrasi. Sirius tidak pernah menuruti perintah itu, berbeda dengan Regulus, anak itu terbiasa makan tanpa merasa kenyang, membuat perutnya mual jika terlalu banyak terisi.
Regulus menerimanya dengan kaku, "makasih."  Katanya singkat. Mereka kembali pada pikirannya masing-masing.

Regulus selalu ingin mencoba coklat dan berbagai kue saat masih kecil, ibunya selalu marah, mengatakan makanan itu tidak sehat, dan mengoceh tiada henti. Sehingga saat melihat makanan manis, yang terbayang dibenaknya, ibunya akan memarahi dan mengomel sepanjang hari, itu sebabnya ia tidak ingin mencicipi 'hal tidak penting, pemikiran bodoh.

" Kau mau minta maaf padaku?" Sirius berkata kembali, mencoba bergurau. Bagaimanapun mereka pernah 'dekat (sedikit).  "Aku tidak ingin." Mereka menjadi berhadapan, selisih tinggi di antara keduanya lumayan jauh, Sirius baru melihat kembali adiknya dari dekat, semakin kurus dan lebih pucat. Lingkaran hitam pada matanya semakin terlihat. Mereka kerap bertemu di aula saat makan, melihat dari kejauhan. Hanya pada  saat itu, jika keduanya berada pada waktu yang sama.

" Kau baik-baik saja?" Sirius berkata tidak sabar.  " Aku? tentu saja baik—sebenarnya aku ingin bertanya padamu." Regulus menatap lebih dalam. Menjeda ucapannya, menarik napas perlahan, "Apa kau bergabung dengan order—kumpulan yang melawan pangeran kegelapan?" Raut wajah Sirius berubah, mengernyit.  "Tau darimana—" Sirius menyadari sesuatu—tidak mungkin. "Kau! Jangan bilang—" pemuda itu membuka mulut tidak percaya, mengapit bahu yang lebih kecil darinya, mata hitam mereka bertemu. Sirius berusaha untuk menyakinkan bahwa dugaannya tidak benar. Regulus memegang tangan di pundaknya, kemudian menggulung lengan sebelah kiri—belum pernah Sirius membenci adiknya sebesar ini, udara disekitarnya seakan menghilang.

Regulus sudah membayangkan tatapan jijik dari Sirius.
"Dasar idiot! Kau orang paling Tolol yang pernah aku temui!" Sirius menarik rambutnya frustasi, mundur dengan tergesa-gesa. Regulus tersenyum masam, berusaha menyamakan langkah dengan kakaknya "Kau tidak mengerti! Pangeran kegelapan akan berkuasa—dan aku tidak ingin kau berada dijalan yang salah! beliau akan membunuh semua yang menentangnya! Aku tidak ingin kau—" Sirius mendekat pada Regulus, mencengkram kuat kerah adiknya, wajahnya merah padam, urat dilehernya seperti akan terputus. "Berhenti bicara sialan! Kau yang tidak benar! Aku bisa membunuhmu saat ini juga."

Tangan Sirius bergerak mencekik adiknya sekuat tenaga, Regulus mengeluarkan tongkatnya, "stuffefly!" Sirius terpental beberapa meter,  kemudian mengambil tongkat yang ikut terlempar.

Kemarahan memenuhi keduanya, wajah mereka saling menatap dengan penuh kebencian. "Aku bisa memberikan 'cruciatus jika aku mau." Regulus tersenyum miring, seakan bangga bisa menguasai mantra tak termaafkan.  Sirius meludah dengan sengaja. "Aku salah menilai tentangmu, kau memang bajingan! aku tidak pernah  benar-benar membencimu, tapi sekarang—bahkan aku lebih jijik padamu dari pada bocah kegelapanmu!." Sirius mengeluarkan mantra 'menyayat. Mengenai tangan kiri Regulus, tanda kegelapan( Tato bergambar ular hitam berbelit memanjang dan menonjol).

" Crucio!" Sirius berhasil menghindar, "Ph—" suara langkah kaki dari bawah menghentikan mereka, "siapa disana!" Profesor McGonagall berlari dari bawah, wajahnya panik.  "Mr black! dan—adiknya." Wanita itu sedikit bernafas lega. Berita tentang pangeran kegelapan membuat semua guru diminta lebih waspada.

"Aku mendengar kegaduhan yang tidak wajar dari sini, apa yang sedang terjadi?" Kilatan mata profesor McGonagall menuntut, Sirius menetralkan wajahnya—berdehem pelan, "tidak ada—kami hanya mendiskusikan sesuatu."  McGonagall adalah kepala asramanya, sering bertemu dan cukup mengenal Sirius, wanita itu menatap Sirius dengan curiga.

Regulus sudah menutup lengan kirinya, tetapi darah di lengannya mengucur lebih deras. "darah! Apa yang sebenarnya terjadi!" Profesor McGonagall mendekati Regulus, tetapi anak itu menjauh. "saya terjatuh—tersayat kayu." Ucapnya berbohong. McGonagall masih menatap keduanya lebih curiga lagi.

"Profesor—kami sudah selesai. Saya juga akan turun, kau tidak perlu khawatir, si pangeran idiot itu! tidak akan berani menyerang Hogwarts." Ucapnya memandang Regulus, seolah melihat tumpukan sampah paling menjijikkan.
Profesor McGonagall memandang Sirius aneh, tidak biasanya anak ini bersikap 'benar.

Sirius turun bersama McGonagall, Regulus pergi setelahnya. Coklat—segala rasa berserakan di menara itu, kebencian black bersaudara telah menjadi kebencian yang sesungguhnya.

The Black  [ 𝑅.𝒜.𝐵 ] Where stories live. Discover now