Try Hard

6K 298 13
                                    

Mungkin sebagian dari kalian membenciku. Yah, mungkin aku memang layak untuk hal itu. Maksudku, aku adalah si tokoh jahat pengganggu hubungan orang kan? Tapi, yang tidak kalian tahu adalah seorang tokoh jahat pun dapat jatuh cinta. Tokoh jahat ini lah yang selalu ada untuknya, tapi kenapa dia malah jatuh untuk tuan puteri yang jelas-jelas tak menerimanya sebagai dirinya sendiri?

* * *

Hidup memang tidak adil bukan? Selama ini aku lah yang selalu berada di sampingnya, tapi dia malah melihat gadis lain yang bahkan tak jelas keberadaannya. Oh, jelas-jelas dia tahu dimana gadisnya tapi dia tak memiliki keberanian untuk mendatangi gadis itu.

"Gian, kamu harus tahu hari ini orang tuaku baru kembali dari perjalanan bisnisnya. Dan mereka menyempatkan waktu ke Jakarta. Tahu tidak, mereka membawakan apa?" Aku menggeleng sebagai jawaban. Ariojuna tersenyum lebar sambil memperlihatkan foto yang sejak tadi berada dalam genggamannya.

"Ini," dia memberikan sebuah foto padaku. Sebuah keluarga besar. Kemudian tangannya menunjuk ke gambar seorang gadis seusia kami yang tengah tertawa lebar. Aku menoleh dan Ariojuna masih tersenyum lebar, "Who is she?"

"Savanna," tidak. Aku benci nama itu. Dan Ariojuna masih saja menceritakan tentang gadis itu. Aku benci dia. Kenapa Ariojuna harus menyukai gadis ini? Kenapa? Aku benci gadis itu.

"Ar," dia berhenti bicara. Aku menoleh, "Um, aku mau pulang ya. Kepalaku terasa pusing."

Tanpa mengindahkan jawabannya aku berdiri dan melangkahkan kakiku keluar dari rumah Ariojuna. Tak butuh waktu lama karena rumahku berada di seberang rumahnya. Dengan cepat aku langsung menderap menuju kamarku. Dadaku terasa sakit dan rasanya air mataku mengalir. Aku mendongak, berharap air mataku berhenti dengan sendirinya.

Kata orang jatuh cinta itu menyenangkan, aku rasa mereka salah. Ini menyakitkan. Kata orang saat jatuh cinta perutmu akan terasa geli karena ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan, mereka salah karena rasanya sakit bagai ditusuk berkali-kali. Kata orang jatuh cinta akan membuatmu bahagia, tapi mereka salah karena yang aku rasakan adalah kesedihan.

* * *

Umurku baru tujuh saat kali pertama bertemu dengannya. Saat itu aku tengah bermain di taman dan dia datang. Dia dengan senyum manis dengan pipi kemerahan karena suhu yang lumayan dingin. Saat itu aku ingat dia tengah memegang bola dan mengulurkan tangannya padaku.

"Halo, aku Ariojuna. Kamu boleh manggil aku Ari," dia dengan senyum manis sampai ke mata. Dan aku meraihnya.

"Aku Gian," dia mengangguk saat mendengarnya kemudian kami bermain bola. Dan aku masih mengingat saat itu salju pertama turun. Bodohnya saat itu kami tidak langsung pulang dan malah terus bermain, hingga aku demam pun dengan Ariojuna.

"Maaf ya," ujar Ari saat menjengukku. Aku hanya tertawa, "Gak apa. Aku senang kok, mau traktir aku tidak? Aku ingin makan ice cream."

"Iya nanti saat kamu sembuh aku janji akan membelikan ice cream sebanyak yang kamu mau." Ariojuna meletakkan tangannya di dada, seakan dia adalah pemain nasional sepak bola yang tengah menyanyikan lagu nasional.

Sayangnya keesokan harinya saat aku telah sembuh Ariojuna tidak datang. Pun dengan keesokan harinya, juga beberapa hari setelahnya. Dia datang dua minggu setelahnya dia mengatakan bahwa dia baru kembali dari Indonesia. Dan saat itu dia memang membawa sekantung penuh ice cream juga dengan foto seorang gadis kecil. Gadis itu bernama Savanna.

* * *

Aku benci Savanna. Dia tidak tahu seberapa keras perjuangan Ari untuk masuk ke tim junior nasional. Dia tidak tahu saat diumur sembilan Ari menangis karena dia tak bisa diterima oleh tim tersebut, semua karena kewarganegaraannya. Itu semua karena dia orang Indonesia. Tapi setelahnya dia diterima oleh tim junior Chelsea. Gadis itu tak pernah tahu nomer punggung pertama Ari adalah sepuluh sama dengan nomer punggung kartun favoritnya, Tsubasa.

"Ya ampun, Gian aku seneng banget karena aku bisa main sebagai tim junior Chelsea." Ari memutar tubuh kami bersamaan. Saat itu musim semi dan kami berputar di bawah sinar matahari. Setelahnya kami langsung terjatuh di rumput hijau, taman belakang rumahku.

"Aku bangga sama kamu," aku memeluknya dengan bahagia. Dan dengan mudahnya dia mengangkat tubuhku, kami kembali berputar dengan tubuhku yang diangkat olehnya. Padahal saat itu umurnya masih 9. Dia selalu kuat.

* * *

"Ar, you have to come tonight okey? You know its my birthday," aku memoles sedikit lip tint di bibirku. Dia tengah menyiapkan seragam untuk latihan sepak bolanya, "Iya, nanti abis latihan."

Aku mengangguk, "Kalau ayo berangkat! Nanti kita telat." Kami pun keluar dari kamar Ari, tidak ada hal negatif yang kami lakukan. Ari selalu menjagaku, hal terparah menurut orang mungkin adalah aku selalu memeluk dan mencium pipinya. Jangan salahkan aku, ini seperti kebiasaanku saat bertemu dengannya.

"Bye! See you tonight," aku mengangguk sambil melambaikan tanganku dia juga melakukan hal yang sama. Kami berpisah di stasiun, dia berjalan menuju stadium utama sedangkan aku menuju London.

Saat itu aku tak tahu apa yang akan terjadi. Malamnya Ariojuna tak datang. Bahkan setelah semua orang pulang. Aku masih menunggunya tapi dia tak pernah datang. Keesokan paginya saat aku datang ke rumahnya dia tak ada. Mr. Printon bilang Ari telah pergi ke Indonesia. Dan bahkan dia tak mengucapkan apa pun. Ariojuna pergi bahkan aku belum mengucapkan apa pun.

* * *

Aku benci Savanna. Dengan mudahnya dia merebut Ari-ku. Dengan mudahnya dia menjadikan Ari-ku suaminya. Memangnya ini zaman apa? Kenapa masih ada orang-orang yang senang menikahkan anaknya di usia muda?

"Ar," aku memanggil. Dia hanya tersenyum tipis, "Apa?"

"I don't think she's love you." Dia hanya tertawa mendengarnya, "Not yet, that's mean she'll."

Aku mendesah. Dia tak akan mau mendengarnya. Tapi tak apa selama seharian penuh itu aku bersamanya. Kami mengunjungi Dufan, menyenangkan tapi benar-benar panas dan parahnya aku masih harus menunggu. Aku benci menunggu. Karena hal itu mengingatkanku pada diriku sendiri. Dan saat pulang kami bertemu dengan Sava, saat itu aku tak bisa menahan diriku untuk tersenyum. Mereka pasti akan bertengkar. Katakan aku jahat, tapi itu adalah doaku tiap malam. Tapi sayangnya ... aku tak bisa melihat Ari sedih. Dia terlihat frustasi dan aku tak menyukai hal itu.

* * *

"I love you, you know?" Kataku pelan, sementara Ari tengah menatap laptopnya. Dia tak menjawab, jadi aku mendongak. Tapi dia masih saja sibuk dengan pekerjaannya.

"Aku pulang dulu," aku pun bangkit dan berjalan keluar dari kamarnya.

"I know you love me, but you know I love her. Tapi bukan berarti aku tidak mencintai kamu. I love you to, tapi hanya sebagai adik." Ari mengatakannya dengan tenang. Aku hanya dapat terdiam, kemudian mengangguk. Aku tahu, itu lah alasan kenapa aku tak mau mengatakan perasaanku padanya.

"Aku pulang," ulangku. Dan aku menutup pintu kamar Ari, kemudian berlari keluar dari rumahnya.

Seharunya dari awal aku tahu, sejak awal tak seharusnya aku mengatakan hal ini. Karena tak peduli seberapa besar usahaku Ari tak akan melihatku sebagai perempuan. Dia selalu menganggapku sebagai adiknya. Padahal aku selalu berusaha keras agar ia melihatku, agar ia sadar keberadaanku. Tapi... dia tak pernah menyadarinya. Tak peduli seberapa berat usahaku, pada akhirnya dia takkan pernah memilihku.

* T R Y H A R D *

Done! Gue gak tau ini bagus atau gak, menurut gue ini gak banget. Terlalu banyak narasi dan bertele-tele, belum lagi typo dan lainnya. Intinya oneshoot ini gagal, tapi ya gue harap kalian enjoy. Moga gak benci lagi ya ama Gian x)

P.S: gue bikin oneshoot request based on song. Check di: sing a story.

Salam,
-Ritonella.

Diary of MeWhere stories live. Discover now