CHAPTER 1 ; Is it the tea

Start from the beginning
                                    

"Ada hal yang ingin saya bicarakan dengan Tuan Putri"

Siana menatap Catherine meminta persetujuan.

Sedangkan Catherine yang mengerti bahwa Simon tidak akan mengganggunya di malam hari jika bukan karena hal mendesak pun menganggukan kepalanya.

Dengan sigap Siana meraih cardigan tidur Catherine dan memakaikannya pada sang nona sebelum membuka pintu dan mempersilahkan Simon masuk.

"Apa yang ingin kau bicarakan Simon?" tanya Catherine yang kini sudah duduk di sofa.

"Duke Emeric meminta saya untuk memanggil anda, Putri"

Kali ini, bahkan Siana yang sangat terampil dengan poker face-nya pun tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Semalam ini?" heran Catherine.

Simon mengangguk.

"Apa yang Duke Emeric perlukan?" tanya Catherine lagi.

"Sebaiknya anda menemui Duke Emeric untuk mengetahuinya"

**

Hanya tinggal beberapa langkah lagi hingga ia mencapai kamar pribadi milih pria nomor satu di manor ini.

Namun Catherine memilih untuk tidak melanjutkan langkahnya saat melihat pemandangan yang sudah terasa familiar di mimpinya.

Disana, didepan pintu kamar dan di Lorong yang sepi, Duke Emeric bersama seorang wanita.

Wanita yang biasa memakai seragam prajurit itu kini hanya terlihat memakai baju rakyat biasa.

Abigail Nawson.

Mereka terlihat sedang berbincang dan Catherine tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.

'Kenapa mereka tidak bicarakan di dalam? Jika rumor tersebar harga diriku akan tercoreng'

Tidak ada perasaan sedih maupun patah hati. Perasaan Catherine pada Edward sudah tidak se- spesial itu.

Tidak ingin mengganggu, Catherine memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

*

"Catherine?"

Si pemilik nama menghentikan langkahnya dengan wajah kesal.

Sial harusnya ia pergi lebih cepat.

Sudah tertangkap basah, mau tak mau gadis itu membalikkan tubuhnya menghadap kedua insan tersebut.

"Salam, Yang Mulia" hormat Abigail pada Catherine.

Gadis itu berjalan mendekat dan mengangguk sebagai tanda hormat wanita itu telah ia terima.

"Apa aku mengganggu?"

"Tidak sama sekali Putri"

Catherine hanya mengangguk singkat dan menatap Edward yang hanya diam.

"Masuklah terlebih dahulu, aku akan menyusul"

Tunggu....

'Apakah hanya aku saja, atau pria ini berbicara sedikit ambigu?'

'Haruskah aku bertanya urusan apa yang ia miliki denganku?'

Catherine menatap Abigail sesaat dan memutuskan untuk menuruti perkataan Edward.

**

"Bicarakan itu di pagi nanti saat rapat" ucap Edward sesaat setelah Catherine memasuki kamarnya.

Abigail mengangguk dan menatap pria dihadapannya. Tidak dapat dipungkiri ada perasaan takut dan segan saat ia memutuskan untuk menghampiri kamar tuannya di malam hari seperti ini.

Namun, Abigail juga tidak dapat menahan rasa khawatirnya.

"Saya mendengar anda sedang tidak sehat akhir-akhir ini"

"Pergilah,"

Tidak ingin menghabiskan waktu lagi, dengan aura dingin-nya Edward memasuki kamarnya.

Catherine yang bisa mencuri dengar perbincangan mereka semakin penasaran. Rasanya gadis itu ingin mendengar lebih dekat.

Sayangnya sebelum itu terjadi, Edward lebih dulu memasuki kamar dan menutup pintunya.

Tak tahu harus bicara apa, Catherine hanya bisa diam dan menatap Edward yang tampaknya kini justru terlihat sibuk sendiri dengan beberapa dokumen.

Di kamar pribadinya bahkan Edward memiliki meja kerja di sudut kamarnya, seakan semua pekerjaan yang ia lakukan di ruang kerja belum cukup sehingga harus dibawa kemari.

Tak tahu harus apa, Catherine merasa memiliki banyak waktu untuk memperhatikan Edward.

Rasanya memang tidak mungkin untuk tidak jatuh cinta pada pria gagah itu.

Dengan kulit yang sedikit gelap, rambut hitam dan netra biru terang dipadukan dengan tubuh yang luar biasa kekar dan rahang tajamnya membuat Catherine berasumsi bahwa tuhan sangat hati-hati dalam memahat seluruh bagian tubuh pria itu.

Sebenarnya banyak yang bisa Catherine perhatikan di ruangan ini, apalagi gadis itu pun baru pertama kali memasuki area tersebut. Namun Edward bagaikan magnet yang dapat membuat semua orang kesulitan untuk menoleh kearah lain.

Pria itu jarang bicara, namun akan mengeluarkan suara berat dan tegas sekalinya membuka mulut. Pria itu juga bukan tipe pemimpin yang sering mengeluarkan amarahnya namun sekalinya pria itu marah ribuan nyawa menjadi taruhannya.

Tanpa berusaha, Edward dapat membuat siapapun tunduk dihadapannya bahkan hanya dengan satu gerakan.

Rumor beredar mengatakan Edward sebagai monster kejam dari Utara yang sebenarnya adalah kenyataan. Namun itu tidak menghentikan siapapun untuk terpesona pada pria itu.

**

Catherine menghembuskan nafas dan bangkit dari duduknya.

Gadis itu melangkahkan kakinya menuju meja kerja Edward.

"Grand Duke?"

Edward menoleh dan menatap Catherine dengan tatapan yang berarti 'apa?'.

"Adakah yang harus kulakukan disini?"

'Tidak mungkin kau memintaku datang hanya untuk menatapmu kerja'

Edward terdiam sejenak seakan memikirkan sesuatu sebelum akhirnya membuka mulutnya.

"Bisakah kau membuat teh itu lagi?"

***
TBC

Published, 01-06-2023

DREAM [END]Where stories live. Discover now