📷 chapter t h i r t y o n e

Начните с самого начала
                                    

Sosok Radya belum tampak ketika Alsa tiba di tujuan. Alhasil gadis itu pun hanya bisa menunggu di salah satu sisi yang tentunya takkan menghalangi akses jalan. Matanya bergerak ke sekeliling, memerhatikan mahasiswa berlalu-lalang di area luar gedung. Jumlahnya tak begitu ramai mengingat jadwal kegiatan perkuliahan masih berlangsung. Kemudian, pandangan Alsa terjatuh pada taman fakultas di mana beberapa kursi panjang yang terdapat di sana terisi oleh mahasiswa yang tengah menikmati waktu santai.

Selama beberapa saat Alsa hanya terpaku ke arah sana, mendadak teringat bahwa tempat tersebut merupakan tempat di mana Alsa pertama kali menemukan sosok Radya--meskipun hanya dari satu sudut. Tampaknya sudah lama pula Alsa tak pernah menemukan laki-laki itu di sana, setelah mereka saling mengenal.

Tanpa sadar, kaki-kaki Alsa sudah membawanya menginjak rumput-rumput pendek yang tumbuh di permukaan tanah taman tersebut. Gadis itu lantas menengadah pada langit, matanya menyipit akibat serangan sinar terik sang surya. Jika Alsa membawa kamera, rasanya ia ingin pula mengabadikan pemandangan di saat cuaca tengah cerah seperti ini selayaknya apa yang Radya lakukan kala itu. Ia pun bertanya-tanya di mana keberadaan para kucing yang terkadang hadir, turut ingin dijadikan sebagai objek foto.

"Lo nggak takut kulit lo gosong?"

Suara familier itu terdengar bersamaan dengan munculnya sebuah tangan yang terangkat sedikit lebih tinggi dari kepala Alsa, menghalangi cahaya hingga menjadi teduh. Alsa seketika saja menoleh, dan ia menemukan Radya dengan ransel hitam di punggung sudah berada di dekatnya.

"Gue kira lo belum nyampe, taunya lagi di sini," lanjut laki-laki itu. Ia menurunkan tangan setelah Alsa tak lagi sembarangan menatap matahari. Rambutnya tersisir ke belakang dengan agak berantakan. Kedua matanya tampak sedikit memerah. "Lo ngapain?"

"Iseng aja sambil nungguin lo," Alsa menyahut. "Terus keinget kalau lo suka hunting foto di sini."

Kerutan samar pun terbentuk di dahi Radya. "Tau dari mana?"

Sejenak Alsa tergeming, berpikir apakah ia harus berkata jujur atau tidak. Ketika sedikit keyakinan berhasil diraih, Alsa pun membuka mulut, bersiap untuk bersuara. Namun, pada saat itu ia malah mendapati pandangan Radya tengah terarah pada satu titik di bawah, dengan ekspresi yang tak terbaca. Sebelum Alsa sempat bertanya, kedua mata laki-laki itu kembali terarah padanya.

"Alsa, dengerin gue. Lo jangan panik. Di sepatu lo ada--"

Tak mendengarkan sampai tuntas, Alsa yang sudah kepalang penasaran segera menunduk, menatap tepat pada sneakers putih yang ia kenakan. Dan, gadis itu betul-betul langsung menyesalinya.

Dengan cepat ia kembali mengangkat kepala. Ditatapnya Radya dengan sorot panik bercampur takut yang begitu nyata. Tubuhnya mulai gemetar, tetapi untuk bergerak pun ia tak sanggup. "Bang ... gue takut ulat bulu ...," lapornya dengan sedikit merengek, persis seperti bocah yang sedang mengadu pada orang dewasa.

Di situasi normal mungkin Radya akan tertawa geli lalu mengatai Alsa dengan sebutan "bocil" seperti biasanya. Namun, yang kali ini tentu tak bisa dianggap bercanda. "Iya, makanya gue bilang jangan panik," ujar laki-laki itu, berusaha menenangkan. Ia kemudian menoleh ke sekitar, seolah tengah mencari sesuatu. Usai berhenti pada satu titik, ia beralih pada Alsa dan berkata, "Lo tunggu sini bentar, oke? Gue mau ambil sesuatu dulu. Kan nggak mungkin gue usir ulatnya pake tangan kosong."

"Lo mau ke mana?"

"Itu, ke deket pohon. Nggak jauh dari sini."

"Aah, jangan tinggalin gue."

"Bentar doang, Alsa."

"Nggak, lo nggak boleh pergi."

"Lo kalau nahan-nahan gue terus, itu ulatnya keburu nemplok di kaki lo. Mau emangnya?"

Through the Lens [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя