Andai aja bisa, pasti seru. Arcello meratap dalam hati.

Tidak ada niat untuk menguping, tapi dengan pembicaraan yang begitu keras siapa pun akan mudah mendengarnya. Maka, dengan sengaja Arcello pun sedikit berdiri lebih dekat pada pintu, membuatnya mengetahui apa yang para malaikat tersebut bicarakan.

"Gabriel sangat cocok jadi manusia. Aku yakin jika dia keluar, jutaan umat akan terkesima padanya," ucap seseorang yang membuat Arcello tersenyum. Diam-diam dia mengangguk setuju.

"Sampai kapan kamu akan seperti ini?" Bisa ditebak, kalimat kaku ini berasal dari Azrael. Si malaikat yang tidak suka bercanda.

"Aku hanya merasa gagal kawan, aku takut pulang." Ada ketakutan dalam ucapan Gabriel.

"Tidak ada yang menganggapmu gagal, Gab." Mikhael berusaha menghapus keraguan sahabatnya.

"Aku sudah melakukan tugas ini selama bertahun-tahun, berat bebanku jika harus melepasnya pada yang lain." Ucapan Gabriel terdengar meninggi, sampai membuat Arcello yang tengah menguping sontak terperanjat.

Apa yang Phi katakan? benak Arcello tak percaya, ia semakin mendekatkan tubuhnya pada pintu. Obrolan semakin memanas.

"Tapi itu satu-satunya cara agar kamu bisa kembali, Gab. Penguasa langit tidak bisa menunggu lebih lama keputusanmu, paham?" Mikhael menimpali dengan sedikit emosi.

Malaikat yang seharusnya tidak memiliki emosi, entah kenapa saat itu tiba-tiba tersulut mendengar ucapan Gabriel yang keras kepala.

"Katakan pada penguasa langit, aku butuh waktu untuk berpikir. Lagi pula aku tak bisa meninggalkan Tuan Arcell begitu saja. Aku bahkan belum membicarakan apa pun padanya." Gabriel meminta sahabatnya untuk menyampaikan permohonannya pada penguasa langit.

"Sebaiknya kamu segera mengambil keputusan. Atau justru kamu yang akan terluka nanti. Bagaimana tubuh tanpa kekuatan seperti dirimu bisa melindunginya?" Mikhael mengingatkan konsekuensi apa yang akan terjadi jika Gabriel gegabah.

"Hmm ... aku sependapat. Ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang langit, tentang Raja Arash dan semesta, Gab. Kau tidak boleh egois." Perkataan Azrael berhasil membungkam mulut Gabriel.

Para malaikat itu mengerti bagaimana perasaan Gabriel, tapi dengan kondisinya seperti sekarang, membuat ketiga sahabatnya khawatir. Bukan hanya pada titisan Raja Arash, tapi pada sahabat yang paling mereka sayangi.

"Apa karena renjana?" tuduh Mikhael tiba-tiba yang membuat Gabriel tercengang tak percaya.

Tidak ingin perdebatan itu semakin melebar ke mana-mana, Rafael akhirnya memutuskan untuk melerai. "Sudahlah. Gabriel berhak atas keputusannya. Berikan dia waktu. Selama belum mendesak, kita tidak bisa memaksa," ucapnya terdengar bijak.

Mikhael dan Azrael hanya menghela napas lelah, sedangkan Gabriel hanya menunduk dalam dilema. Gemetar dalam gamang.

Pembicaraan keempat sahabat itu mungkin sudah berakhir, tapi ada sosok Arcello yang sedang berurai air mata di balik pintu. Pembicaraan itu terdengar jelas di telinganya, sukar untuk dia abaikan.

Arcello masih terdiam. Telinganya kini sudah tidak bisa mendengar pembicaraan apa pun dari dalam. Tapi yang terdengar saat ini adalah suara hatinya yang bergemuruh. Ketidakpercayaan, ketakutan, serta kekecewaan bergumul menjadi gumpalan yang bercokol di ulu hatinya. Mendesaknya untuk terisak dalam sesak.

Arcello tidak menyangka, pada sore yang ia pikir akan mengantarkannya pada kebahagiaan, justru malah berakhir dengan kepedihan. Pedih karena mengetahui kenyataan yang selama ini disembunyikan darinya.

Gabriello (Cetak ✅ │ Part lengkap) Where stories live. Discover now