"Oke," Singkatku tidak ingin memperpanjang masalah. Kulangkahkan kakiku keluar ruangan sambil menenteng tas, lebih baik aku pulang, kemudian tidur, hari ini sungguh menguras emosi.

Aku masuk ke dalam mobil, Valeron juga melakukan hal yang sama. "Kamu ngapain?" Kataku ketus.

Ia menatapku dengan tatapan bersalahnya, "dengerin penjelasan gue dulu," Valeron menarik tanganku yang dengan segera kutepis, enak saja sentuh-sentuh.

"Ngapain? Kenapa kamu harus repot-repot jelasin ke aku?"

"Karna gue salah," Lirihnya.

"Salah kamu apa emang?"

"Ga ngabarin lo dua minggu ini,"

"Kamu sengaja kan bikin aku marah?"

"Engga,"

"Boong,"

"Beneran Mona,"

"Tapi kamu sempet tuh ngehubungin mama kamu,"

Valeron terdiam, matanya menatapku penuh penyesalan.

"Jadi kamu tahu?"

Aku mengangguk.

"Maaf ya," Katanya dengan nada memohon, membuatku merasa muak. Enak saja dia menghilang dengan sengaja agar aku marah padanya, kemudian datang membuat kerusuhan, setelah itu meminta maaf begitu saja tanpa mempertanggung jawabkan emosiku yang sulit dibendung.

"Kenapa bikin aku marah?" Tanyaku kini dengan nada lebih bersahabat.

Valeron sesaat hanya bergeming, kemudian menggaruk belakang kepalanya canggung. Aneh sekali lelaki ini.

Lama.

Kudenguskan napas dengan kesal, apasi maunya.

"Jawab gitu doang aja lama,"

"Kenapa bikin aku marah?" Emosiku kembali membara, kualihkan pandangan ke depan. Kesabaranku sudah setipis tisu yang dibelah menjadi dua.

"Maaf, gue cuma mau liat reaksi lo kalau gue ga ngabarin lo, itu saran dari Alden sih, tapi selama dua minggu ini lo bahkan ga ngirim pesan apapun ke gue, akhirnya gue nyerah, gue kangen sama lo." Jelasnya.

Ingin tertawa tapi diriku kini sedang di selimuti emosi yang membara, hampir saja air mataku akan jatuh membasahi pipi, tapi sebelum kejadian memalukan itu terjadi lebih dulu aku mengusapnya dengan kasar.

"Keluar,"

"Monaa, pliss maafin gue,"

"Keluar, itu reaksi aku,"

Dengan perlahan Valeron membuka pintu mobilku, lalu keluar dengan enggan.

Aku menyalakan mesin mobil dan melenggang dari Moa Bakery, rasa kesalku sudah benar-benar diujung puncak, aku sedang salam mode senggol bacok.

Di kamar aku menatap langit-langit kamar dengan nelangsa, semudah itu ya Valeron memainkan perasaanku dengan sengaja membuatku marah. Kenapa dia kekanak-kanakan sekali. Andai waktu itu aku benar-benar menemuinya di apartemen, pasti ia sudah tersenyum kegirangan ketika melihatku khawatir mencari keberadaannya.

Aku tersenyum miris, meratapi keadaan, sampai kapanpun Valeron akan terus mempermainkan perasaanku. Mungkin saat di Lombok, saat ia menyatakan perasaannya padaku, itu juga termasuk salah satu kejahilannya membuatku baper kemudian menjatuhkanku sedalam-dalamnya.

Disela senyum yang sangat menyedihkan ini air mataku mengalir begitu saja, kurang ajar, aku tidak boleh menangis hanya karena lelaki sepele seperti Valeron. Iya sepele. Seperti dirinya yang menyepelekan diriku.

Sedari tadi teleponku berdering nyaring, karena sudah muak akhirnya handphoneku ku ganti dengan mode silent. Aku sudah tahu siapa yang sejak tadi menelponku.

Bunda mengetuk pintu kamarku, aku beranjak untuk segera membukanya.

"Kenapa? Kok kayak habis nangis?" Tanyanya sesaat setelah aku menampakkan diri dihadapan bunda.

"Gak, ada apa bun,"

Mata bunda menyipit menatapku, "Harusnya kamu seneng ga sih Mon, Moa Bakery hari ini katanya rame banget, kok kamu malah pulang?" Ucap bunda sambil menampilkan postingan instagram yang menampilkan pelanggan Moa bakery saat itu sangat ramai.

"Ini juga mungkin karena kamu sama karyawan kamu kemarin promosi kali ya Mon jadi rame banget,"

"Iya bun alhamdulillah,"

"Di tiktok nih tadi bunda liat, potongan live kamu sama karyawan kamu viral,"

Aku hanya tersenyum seadanya menanggapi keantusiasan bunda.

"Kamu kok kayak ga seneng gitu sih Mon, kenapa? Ada masalah?" Tanya bunda curiga, aku menggelengkan kepala.

"Mona seneng kok, Mona mau mandi dulu bun terus mau tidur, capek banget."

Physical Attack √Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα