03. Secarik Rasa

Mulai dari awal
                                    

"Aku akan tetap mencintainya secara diam-diam, dan berjuang secara diam-diam."

"Tapi, bagaimana jika ternyata orang tersebut tidak mencintaimu, Ka? Mencintai seseorang tanpa balasan itu sungguh menyakitkan. Apalagi berjuang sendirian, itu hanya akan membuang-buang waktu saja."

"Kia, mencintai seseorang itu tidak harus memiliki. Melihat orang yang kita cintai bahagia dengan orang lain saja sudah membuat kita senang. Karena mencintai seseorang yang tidak ditakdirkan untuk kita adalah bentuk dari pengorbanan. Jadi, lebih baik mencintai secara diam, berjuang secara diam, sekalipun patah hati secara diam, itu jauh lebih menyenangkan daripada harus terang-terangan menyatakan cinta dan mengemis. Tapi balasan yang didapat hanya luka yang mungkin akan berujung pada rasa."

Raka menghela napas panjang, ia tahu betul mengapa Kia mengatakan hal demikian, dan sudah tahu maksud itu untuk siapa. Karena pada hari-hari sebelumnya pernah ada satu temannya yang menceritakan bahwa Kia memiliki perasaan pada seseorang. Andai saja lelaki yang tengah Kia kagumi itu tidak bercerita padanya bahwa lelaki tersebut juga tengah mengaguminya dalam diam, mungkin Raka akan mengejek dan menyuruhnya untuk menjauh. Raka kembali melanjutkan dialognya.

"Kia, aku tahu maksud itu untuk siapa? Genji, Kan?"

Kia terkejut mendengar hal itu, ada perasaan malu yang kian membuncah. Yang Kia kira Raka tidak mengetahui maksud yang dibicarakan itu untuk siapa. Namun, ternyata ia lebih dulu tahu, bahwa maksud dari kode itu untuk sahabatnya. Kali ini Kia tidak bisa lagi menyembunyikan semua ini dari orang banyak, yang asalnya hanya teman sekelas saja yang tahu tentang perasaannya terhadap kakak kelas.

"Dari mana kamu tahu? Aku jadi malu, Ka, tolong jangan sampai Genji tahu tentang ini, maksudku tentang perasaanku padannya."

Raka tertawa terbahak, tentu saja tawa tersebut membuat para OSIS yang tengah fokus pada layar komputer itu seketika menoleh dengan wajah terheran-heran. Mungkin, jarang-jarang mereka melihat Kia duduk berdampingan dengan lelaki termasuk Raka.

"Hey, kalian kenapa?" sahut Rangga dengan suara yang cukup keras.

"Tidak, eh. Sorry, sorry!" ucap Raka. Ia kembali menoleh ke samping di mana ada Kia tengah duduk.

"Aku sudah tahu sejak itu karena Genji juga sudah tahu, kan? Dia sering cerita sama aku."

"Cerita apa?" tanya Kia penasara.

Sebenarnya dia memiliki perasaan yang sama. Hanya saja, dia memilih untuk mencintaimu dalam diam, sama seperti kamu, Kia. Bahkan, dia sudah berdoa meminta petunjuk tentang apa yang terbaik untuk dirinya. Kamu hanya perlu menunggu jawabannya pada waktu yang tepat."

"Genji mengatakan hal itu? Aku tidak percaya, Ka."

"Apakah kamu perlu mendengar rekamannya? Sayangnya, aku tidak memiliki rekaman untuk membuktikan semua perkataan Genji." Raka tertawa lagi, lalu melanjutkan percakapannya. "Baiklah, percaya atau tidak, itu terserah kamu."

"Oke-oke, kali ini aku percaya. Terima kasih, aku harus pulang sekarang, lagipula hari ini bukan jadwal piketku, apalagi aku harus mempersiapkan diri untuk menjadi pembawa acara besok."

Kia beranjak dari tempat duduknya dengan wajah yang sedikit berseri, merona merah di pipinya yang putih memancar dari kedua pipi tirusnya. Raka yang melihat hal itu hanya bisa mendengus kesal.

"Huh, wanita memang seperti itu, ya."

•••

['Selamat malam, Kia.']

Kia mengerutkan alisnya saat melihat pesan dari nomor asing. Dia meletakkan ponselnya kembali di atas meja, merasa pesan tersebut tidak begitu penting, apalagi pesan itu dari nomor asing yang mencoba berkenalan dan mengajukan berbagai pertanyaan. Kia bosan dengan hal tersebut.

Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang