BAB 1 (TERJATUH)

13.8K 720 42
                                    







Pagi hari seperti biasanya, sinar matahari masuk melalui celah celah kecil diatas jendela. Aku menutup mataku dengan telapak tangan saat cahaya silau menerpa kedua kelopak mataku.

"Siapa sih yang membuka gorden jendela?" Gumamku dalam hati sambil beranjak dari tempat tidur. Rasa malas karena bangun tidur masih menyelimuti tubuhku. Mata berat karna kekurangan tidur membuatku berjalan dengan menutup mata ke arah gorden yang terlampir ke sisi jendela.

Bruukkk.

"Awww" aku meringis kesakitan karna jari kelingking dikaki terantuk kaki meja yang tidak sesuai pada tempatnya.

"Sial!" Ucapku mengumpat.

Tanganku yang telah menggapai gorden langsung menutup kembali jendela sehingga memblokir cahaya yang masuk dari luar jendela. Aku tersenyum puas dan berniat untuk kembali tidur. Namun aku teringat hal lain yang membuat niat untuk tidur kembali buyar seketika.

"Astaga. Aku ada latihan untuk ice skating pagi ini". Gumamku tanpa sadar.

Aku terkejut tak percaya karena jam sudah menunjukkan pukul 09.45 "pantas saja sangat silau. " Aku membatin dalam hati.

Tak butuh beberapa lama untuk mandi dan bersiap siap. Waktu kurang dari 15 menit adalah Rekor yang cukup bagus untuk orang yang bangun kesiangan dan bersiap pergi dengan aroma wangi segar dari sabun mandi.

"Sudahlah, paling-paling pelatih hanya akan mengomeli ku sepanjang pelatihan". Ucapku dengan sendirinya tanpa orang lain.

Dengan langkah santai aku menuruni anak tangga. Aku tinggal sendiri semenjak kedua orang tua ku bercerai. Ibu memutuskan untuk menikah lagi dengan pria idamannya. Sedangkan ayah memilih untuk bunuh diri karena tekanan mental yang diterimanya.

Awalnya aku memiliki keluarga yang lengkap dengan penghasilan cukup mewah. Namun, saat bisnis Ayah invalid karena ditipu oleh rekan bisnisnya, keluarga kami mengalami kebangkrutan dan terlilit hutang di sana sini ibu yang selalu hidup mewah tidak dapat menerima kenyataan ini dan mulai berselingkuh dengan orang yang lebih kaya.

Ayah yang terpuruk semakin tertekan dengan hal ini dan bertengkar hebat dengan Ibu. Pertengkaran itu cukup hebat sampai aku hampir menjadi korban.

Ibu dengan sengaja mengambil pisau dapur dan menyandera leherku sambil berteriak teriak untuk meminta di ceraikan. Aku masih ingat betul rasa dari goresan tipis di leherku. Bahkan itu dilakukan oleh Ibuku sendiri.

Seakan tak percaya hatiku sangat sakit saat mengingat hal itu. Pada akhirnya Ayah menyerah dengan hidupnya. Dan aku hidup sendiri tanpa sanak saudara. Untunglah sebelum ayah meninggal, Ayah memberikanku sebuah kalung dengan kunci sebagai mainan kalungnya.

Ya benar, kunci itu adalah kunci rumah yang ku tempati sekarang. dan cukup cerdik menyisihkan 3 buku tabungan dengan jumlah cukup besar untukku.

Yah, itu adalah kejadian 3 tahun yang lalu saat aku masih kelas 1 SMA. Dan sekarang aku telah lulus. Tepatnya sudah 1 tahun sejak acara kelulusan sekolah. Namun aku memilih untuk tidak melanjutkan kuliah karna keterbatasan uang yang ku miliki.

Aku bekerja disalah satu minimarket dengan shif malam yang tak jauh dari rumahku, itulah kenapa aku sering bangun terlambat.

"Hari ini cuacanya cukup dingin, akankah turun hujan? Langit juga nampak mendung". Batinku saat menatap langit.

Dengan cepat aku masuk ke dalam bus saat bus berhenti tepat di halte pemberhentian. Aku segera duduk di kursi barisan belakang tepat di samping jendela. Entah kenapa aku sangat senang saat melihat pemandangan dari dalam bus yang bergerak.

Bus berhenti di halte dekat gedung yang ku tuju saat ini. Ini sangat menyenangkan saat kegiatan rutin latihan ice skating berjalan dalam 3x seminggu. Aku sangat senang bermain ice skating, Aku pikir ini adalah pengobat rasa sakit ku dari masa lalu.

"Selamat pagi pelatiiiihhhhh.... Hehehe. " ucapku menyeruak di dalam gedung sesaat Aku sampai di dekat lapangan ice skating. Dua buah bola mata melotot yang mengarah padaku Aku balas dengan senyuman klise karena aku tahu berbuat salah dengan datang terlambat.

Plakkkk, suara buku panjang yang telah digulung membentuk tongkat genggaman mendarat di lenganku.

"Aduhh." teriakku sambil mencoba menghindar. "Pelatih maafkan Aku. " Aku menggembungkan pipiku mencoba terlihat imut sambil memainkan jemariku sejajar dengan dada.

"Gak usah sok imut, kamu itu anak laki-laki. Jurus itu tidak mempan jika kamu yang memakainya". Kekeh pelatih sambil merusak tatanan rambut atasku.

"Cihhh." decihku sambil memanyukan bibir julid karena trik yang selalu dipakai Renata tidak bekerja untukku.

Biasanya saat Renata terlambat dia akan melakukan hal ini untuk menghindari amukan pelatih. Renata yang memperhatikanku dengan anak anak lain terkekeh geli melihatku.

"Kemari Lah". Panggil pelatih terhadapku. Aku yang telah melakukan pemanasan sebelum memasuki lapangan ice skating mendekat kearah pelatih.

"Iya, ada apa pelatih?"

"Ezra, Bapak akan memasukkan kamu kedalam seleksi Timnas Ice skating Indonesia"

"Hah? Aku?" Tanyaku tak percaya

"Iya kamu, bersama Renata dan Ilyas".

Senyum sumringah tidak dapat Ku tahan. Rasanya dadaku susah untuk bernapas sangking senangnya mendengar hal tersebut dari pelatih. Aku cukup percaya diri dengan kemampuan ice skating ku. Dan banyak sekali yang memuji ke ahlian ku ini. Mungkin ini yang disebut bakat dan keberuntungan. Apakah ini awal mula kehidupan baruku? Aku memulai latihanku dengan perasaan bahagia.

Brukkkk!

Aku tersadar dari lamunanku saat kepalaku terbentur lantai ice tersebut.

Rasanya aneh, apa yang tengah kupikirkan?

Apa aku tadi mengatakan keberuntungan?

Lama kelamaan tubuhku merasakan dingin tapi tidak dapat mendengar suara apapun. Hanya mataku yang menatap kosong kearah depan dimana orang-orang mulai panik menghampiriku dengan ekspresi ketakutan. Aku pikir begitu.

"Pipiku basah". Gumamku kecil.

Aku sedikit bingung, namun saat aku melihat cairan segar berwarna merah mengalir tepat di lantai searah mataku, aku sadar sepertinya apa yang barusan terjadi.

"Sial!"

__________________bersambung

.
.
.

Dancing On Ice In The Moonlight  [END] [PROSES REVISI] Where stories live. Discover now