"Kasihan dengan kalian berdua."

"Makasih, makasih...!" Dua permen Wiwid simpan di saku, sedangkan satu yang lain ia genggam. Mau ia buka, jari-jarinya licin.

"Sama-sama, sama-sama...!" balas Via.

"Tapi, Kak," lanjut Wiwid. "Walau gagal, Alwi tetap berhasil."

"Eh?" Via terkesima. "Gagal tetapi berhasil itu bagaimana ceritanya?"

Wiwid berpikir sejenak. "Gimana ceritanya, ya? Yang pasti begini. Alwi gagal dapat cintanya Kak Danti, tapi berhasil dapat hatinya Bu Mita. Gara-gara salah tembak."

"Salah tembak? Kok, bisa?"

"Ng..., nggak tahu. Jangan tanya. Pokoknya, Alwi rencananya mau nembak Kak Danti, tapi yang kena malah Bu Mita. Bu Mita malah terima."

Via mencoba mengingat-ingat. "Bu Mita ini maksudnya Bu Mita dosen baru? Bibi tirinya Dan...?"

Belum selesai ia bicara, Wiwid tiba-tiba melejit menarik tangannya. "Ayo, Kak! Cepat-cepat jalannya! Perpus nanti tutup!"

"Ada apa, sih? Perpus buka sampai sore!" Via kebingungan. Bukannya ikut diseret Wiwid, ia malah mengerem langkah.

"Aduuuh!" Wiwid terlihat gusar. Ia lalu mendekati Via dan berbisik, "Ada Alwi!" Ia lalu memberi tanda arah dengan memajukan bibirnya.

"Sama Alwi, kok, takut?" Dengan kening berkerut, Via berputar mengikuti telunjuk bibir Wiwid. Dilihatnya seorang pemuda berjalan lesu di lorong dengan kening bertempel plester. Pemuda itu bahkan sempat berhenti beberapa saat untuk menghela napas.

"Sudah berapa lama dia begitu? Dari semenjak ditolak Danti?" tanya Via kemudian.

"Tadi pagi masih bagus, Kak. Nggak parah-parah amat. Jadi begitu setelah masuk kuliah."

"Belum move on mungkin?" tebak Via.

Wiwid menggeleng. Penyebab Alwi seperti itu bukanlah Danti, melainkan dosen baru bernama Mita. Dari desas-desus yang ia dengar, dosen baru itu diincar oleh beberapa dosen lajang maupun yang sudah beristri. Gara-gara kejadian kemarin, mereka menganggap Alwi sebagai saingan.

"Teman-temanku bilang, dia sempat dikerjai di kelas."

"Ya, ampun...."

Dari jauh, tampak Alwi tiba-tiba menunduk. Kedua tangannya menutup wajah. Ia sepertinya bersin. Dan ketika wajahnya kembali mengangkat, ujung matanya tak sengaja menemukan Wiwid.

"Astagfirullah! Dia melihatku!" Wiwid seketika panik. Dirangkul dan ditariknya lengan Via. "Ayo, Kak! Kita kabur!"

Via terpaksa kembali mengayunkan langkah meski terkesan enggan. "Kok, kabur? Seperti ketemu hantu saja!"

"Aku tak mau kelihatan dekat-dekat dengannya selama di kampus, Kak. Aku masih ada kelas. Aku takut nanti ikut dikerjai juga. Dikira sekongkol."

***

"Siapa sekongkol?"

Wiwid terperanjat. Matanya baru meleng sedikit, tiba-tiba sudah ada orang yang berdiri menghadang jalan. Nyaris ia tabrak andai tak cepat mengerem langkah.

"Alwi...?" Ia pun gemetar. Kebingungan. Orang yang ia sangka masih jauh di belakang, sekarang sudah berdiri hadapannya sembari melipat tangan.

"Cepatnya...," gumam Via.

Orang yang menghadang jalan mereka itu, yang tak lain adalah Alwi, kemudian berucap, "Boleh saya tahu Anda hendak ke mana, Saudari Wiwid?"

Wiwid salah tingkah. Bukannya menjawab, ia malah melepas tangan Via dan memutar badan. "Maaf, Kak Via. Aku kebelet!" Ia pun bersiap untuk kabur. Namun baru kakinya hendak diayun, tangan kirinya sudah ditangkap oleh Alwi.

"Toilet bukan ke situ, Mbak."

Wiwid berbalik. "Alwi, kumohon!" Lebainya Wiwid pun keluar. Semua mahasiswa menoleh. "Kumohon, lepaskan aku! Aku tidak ingin terlibat dalam masalah ini lebih jauh!" Drama kolosal penuh darah dan air mata tersaji gratis di lorong kampus.

"Tidak bisa...!" Tatapan kedua mata Alwi bagai dua bilah pisau yang baru diasah. Sangat tajam menembus hingga sumsum tulang belakang. Seketika itu, Wiwid merasa dengkulnya lemas. Ia belum pernah setakut ini, terlebih di hadapan pemuda yang selama ini ia anggap tolol.

"Walau langit runtuh, bumi terbelah, aku tidak akan melepaskanmu!" sambung Alwi. Lebai Wiwid ternyata sejenis penyakit menular. "Bagaimana pun juga, kau ikut bertanggung jawab dalam masalah ini. Kita akan selesaikan masalah ini sekarang juga!"

"Ya, Tuhan.... Tak kusangka akan dipanggil begitu cepat!"

"Bicara apa kau? Ayo, ikut!" Alwi pun menyeretnya.

"Tidaaak! Dosaku masih banyak!"

Via yang ditinggal hanya menggeleng kecil. Senyum halus pun melintas setelah sekian lama sulit untuk bersinggah di bibirnya. Wiwid hari ini aneh, begitu pula Alwi.

Ingat akan Alwi, senyum itu perlahan bubar. Via menoleh ke arah Alwi datang, lalu menoleh lagi ke arah di mana pemuda itu tiba-tiba sudah di depan Wiwid. Jaraknya begitu lebar. Jika tak salah terka, kurang lebih lima puluh meter. Sempat ia berpikir keahlian berpindah tempat secepat itu adalah hasil menguntit Danti.

"Luar biasa...!" Via pun beranjak.

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now